AI: “Mesin yang Menyebut Dirinya Jelmaan Dewa”
Faisal Hamdan--
Oleh: Faisal Hamdan (Jurnalis Senior)
Arindra menatap layar ponselnya kala itu, dengan wajah yang kaku, ia menscrol sebuah email yang baru saja masuk, email itu berisikan surat pemecatannya. Marah, takut, dan sedih menjadi bayangan emosionalnya, dia merasa baru saja diperlakukan layaknya data yang bisa dihapus tanpa konsekuensi emosional. "Padahal ia adalah manusia yang punya mimpi dan kehidupan," gumamnya. Tapi tiba-tiba "disederhanakan" menjadi baris data yang bisa dihapus.
Belum sempat ia memahami keadaannya, sebuah notifikasi dari aplikasi pinjaman online berbunyi: “Limit lebih tinggi, proses mudah.”
Ponsel itu, pikir Arindra, selalu tahu apa yang menimpanya, ponsel itu tahu bahwa dirinya membutuhkan sejumlah uang untuk mencari pekerjaan baru, bahkan ketika ia tidak tahu bagaimana cara membayar cicilan pinjaman online itu bulan depan.
Tak lama berselang rekomendasi demi rekomendasi berserakan dari aplikasi belanja, pakaian, jam tangan, buku motivasi dan sepatu lari. Semuanya tampak “tepat”, bahkan terlalu tepat.
Seakan-akan ponsel itu sedang mengatakan, engkau adalah konsumen yang stabil, orang yang masih punya kemampuan membeli, seseorang yang baik-baik saja. Padahal, Arindra tahu ia sedang tidak baik-baik saja.
Ponsel itu terkesan ingin mengubah sebuah cerita mitologi yunani kuno, bahwa Dewa Apollo tidak lagi memilih mulut manusia untuk menyampaikan kebenaran, tapi kini memilih "mesin" untuk menyampaikan kebenarannya. Ponsel itu ingin mengatakan,"Kini aku adalah jelmaan Dewa,".
Arindra tersadar, bahwa apa yang algoritma lihat dari dirinya? Dia membayangkan aktivitasnya di ponsel, ada riwayat pembelian, jam tidur, langkah kaki, detak jantung, dan kata-kata yang ia cari semalam. Ia merasa direkam, dipetakan, dikonstruksi.
Dalam benaknya, Arindra teringat diskusi semiotika Roland Barthes soal mitos, tentang bagaimana sesuatu yang dibentuk oleh sejarah dianggap “alami”. AI membuatnya merasa bahwa rekomendasi itu muncul dari dirinya sendiri.
Arindra memejamkan mata sejenak. Ia menarik napas panjang, mencoba menahan gemuruh dalam dadanya.
Namun ponsel itu tidak pernah berhenti. Seolah-olah mesin itu tahu kapan manusia berada di titik paling rapuh, dan disanalah ia masuk, menyusup, menawarkan “jalan keluar” yang tak pernah benar-benar keluar.
Notifikasi lain muncul, “Kursus kilat: Cara mendapat kerja hanya dalam 7 hari!”, “Akun premium diskon 40%—khusus untukmu.”, “Ingin hidup lebih teratur? Coba aplikasi manajemen waktu.”. Tiga notifikasi dalam tiga detik. Semua dikemas dengan kalimat yang menghibur, tetapi juga menuntut.
Seolah-olah kegagalan Arindra bukan tragedi manusia, melainkan “glitch” kecil yang bisa diperbaiki lewat aplikasi berbayar. Di kepalanya muncul pertanyaan, "Siapa yang lebih cepat membaca hidupnya, dirinya sendiri atau algoritma?"
Ponsel itu terus bergetar, getaran yang dulu terasa biasa, kini terdengar seperti suara langkah kaki yang sedang mengejarnya. Arindra menatap layarnya, di sana algoritma seperti sedang mengukir ulang identitasnya untuk menjadi seseorang yang “harus” tetap mengonsumsi agar tetap menjadi bagian dari dunia.
Sumber:

