Sungguh benarlah, "no such thing as a free lunch". Memang tak ada dinamai "makan siang gratis". Idiom ini tak semata elegori, majas menyisip makna terselubung, justru faktual. Depan mata, telanjang apa adanya. Demi merealisasi MBG, janji pemilu, seisi negeri dilarung untuk ditarung.
Mereka menjanji gratis, kita senang. Naif, kita tak ubahnya pengunjung resto dan bar di Amerika abad-19 (seperti diurai di bagian tengah catatan ini). Kita bahagia melihat anak-anak diberi makan gratis oleh negara, taunya hasil "palak" sana sini. Semoga anak-anak kita, tak "keselek" saat melahap makanan gratis itu.
APBN kita mestinya se-efektifnya digunakan untuk pemenuhan hajat rakyat banyak, yang masih meringis tentang banyak soal. Dan APBD kita era otda, idialnya fiskal menutup banyak lubang soal di daerah, pula di APBD-P September nanti, pula akan ikut dicubit demi MBG.
Jelang menutup catatan ini, saya serasa tak kuasa membayangkan kesibukan memasak, tiap hari di seantero negeri. Tentu, kita butuh mengimpor dua juta ekor sapi, buat daging dan susu. Butuh berton-ton beras, telur, sayur, cabe, garam, terasi, piring, sendok-garpu, dan lainnya.
Mengingatkan saya, pada karib saya pedagang beras. Sejak MBG dilansir, telah bersiap ikut tender pengadaan beras. "Saya ikut tender tusuk giginya saja" ujar saya. "Wah!" Dia bingung. "Untungnya, besar Bos" kata saya. "Kok?" Masih bingung. "Tusuk gigi, kan bisa cuci ulang Bos!". Hi hi hi...