Indonesia Gelap

Rabu 26-02-2025,11:04 WIB
Oleh: Akbar Nur Qadri

Oleh:  Armin Mustamin Toputiri

 

Teriak riuh redam terbelam/ Dalam gelap gempita guruh/ Kilau kilat membelah gelap/ Lidah api menjulang tinggi

Hari ini, seantero negeri -- tak kecuali di Kota Makassar -- berlangsung gelombang massa, unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat sipil. 

Saat sama, saya duduk santai di salah satu warkop sederhana. Di temani seorang teman baik, juga secangkir kopi, saya melumat buku ditulis guru besar Harvard Extension School, Tom Nichols. “Matinya Kepakaran” (The Death of Expertise), 2024.

Nichols, meski mengulas matinya empati para pakar dalam urusan sosial -- menyentuh substansi diperjuangkan pengunjuk rasa -- tapi saya memilih, sementara menutup. Saya beralih mengintip layar hape. 

Di seantero negeri, terlihat gelombang massa. Terlihat lidah api, kepulan asap membumbung. Faktanya, nyaris serupa dinukil penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah dalam sajaknya “Hanya Satu”, (penggalannya saya kutip di awal catatan ini). 

“Indonesia gelap”. Frasa ini, jargon seragam disuarakan pengunjuk rasa di seantero negeri. Tapi sungguh, isi pesan frasa itu, tak saya mengerti. Saya, sama saja mantan menteri utama Jokowi, Opung Luhut. Di manakah di negeri ini, dilanda kegelapan yang memicu protes?

Ketakmengertian itu, saya tanyakan pada teman baik saya di warkop. Dijawabnya malah cengengesan. “Gelap, itu majaz. Metafora saja” ujarnya. Saya, tetap saja bingung. Panjang kali lebar, ia mengurai. Coba meyakinkan saya, kondisi Indonesia mutakhir. Sekurangnya, seperti ditakar oleh mereka yang bersuara, “Indonesia gelap”.

Amboi, diksi “gelap” itu, rupanya bukanlah antonim “terang”. Tak ada cahaya, sebersit sinar penerang. Gelap dimaksud, “gloomy”. Suram, KBBI di bidang kehidupan, menyebut suatu kondisi tak tentu arah, nasibnya di masa depan.

Itu dalihnya, tapi saya masih sangsi. Toh, di buku otobiografi; "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" (1965) ditulis Cindy Adams. Bung Karno bertutur; “Bangsa Indonesia di abad ke-19, merupakan zaman gelap. Sedangkan zaman sekarang, zaman terang-benderang, menaiknya pasang revolusi kemanusiaan”.

Nah loh, cobalah tutur Bung Karno itu, lamat dieja. Meski telah wafat 55 tahun lalu, tapi seolah ia tahu, kelak sekelompok anak bangsa, mengklaim “Indonesia Gelap”.

Gelap, suram Indonesia di mana? ”Cermatilah pidato Prabowo saat milad partainya, sekian hari lalu”, tegas teman saya. “Ndasmu...!”, ia meniru ujaran Prabowo kala berpidato. “Hidup Jokowi!”. Seru Prabowo di hadapan Jokowi itu, riuh disambut gegap gempita ratusan kader parpol didirikan dan dipimpinnya.

Konon, seruan itulah yang memicu unjuk rasa seantero negeri. Ditafsir cara kritis, “Indonesia Gelap”. Bersimpang seruan masyarakat sipil, “Tangkap Jokowi”. Jika sebelumnya, Prabowo di banyak pidatonya, bertekad memburu koruptor hingga ujung langit misalnya, melegakan masyarakat sipil. Namun, narasi pidatonya kali ini, dicap gelap..

Hmm, rupanya Prabowo semula diharap sosok Ratu Adil. Pembawa obor penerang kegelapan. Anti-tesis Jokowi, dinilai menyisih banyak prahara kegelapan. Tapi ironisnya, Prabowo di masa 100 hari kepemimpinannya, ditakar tak lebih kurang, sama saja Jokowi.

Kategori :

Terkait

Rabu 26-02-2025,11:04 WIB

Indonesia Gelap

Jumat 24-01-2025,08:01 WIB

Laut Tak Suka Dikekang

Senin 20-01-2025,14:11 WIB

Tak Ada Makan Siang Gratis

Senin 13-01-2025,16:05 WIB

JIMMY

Rabu 08-01-2025,07:31 WIB

Lampu Stronking di Pambusuang