Pemakzulan Wapres Gibran dan Kasus Ijazah Jokowi: Sebuah Psikologi Politik

Rabu 14-05-2025,07:24 WIB
Oleh: Anto Pattah

SETELAH  Pemilu 2024, Indonesia tidak hanya mewarisi hasil elektoral, tetapi juga residu psikologis yang belum terselesaikan. 

Dua isu yang mengemuka dalam beberapa hari terakhir –wacana pemakzulan  Wapres Gibran dan kebangkitan kembali isu  ijazah palsu Jokowi –tidak bisa dibaca semata sebagai reaksi terhadap prosedur hukum atau norma konstitusional. 

Bagaimana tidak, kita tahu proses pemakzulan wakil presiden tidak bisa dilakukan secara gegabah, tetapi hanya bisa dilakukan jika presiden atau wakil presiden terbukti melanggar hukum berat seperti korupsi, pengkhianatan negara, atau tindakan pidana lainnya (UUD 1945 Pasal 7A dan 7B). Prosesnya pun berlapis, melibatkan tiga institusi antara DPR, MK dan MPR (Asshiddiqie, 2006). 

Sementara itu, isu ijazah palsu Jokowi sejatinya kasuistis ”klise” sejak 2022 dan telah berulang kali terbantahkan, baik melalui Pengadilan Negeri Solo, Mahkamah Agung, maupun UGM yang memberikan klarifikasi ( Kompas, 2025). 

Artinya, memahami wacana di atas tidak sekadar melalui kacamata normatif-prosedural, tetapi juga menyangkut beban psikologis yang belum tuntas.

 
Tuntutan pemakzulan Gibran lebih dilandasi desakan moral dan simbolis untuk ”mengoreksi sejarah”. 

Sebagian masyarakat belum begitu saja melepaskan rasa kekecewaan terhadap berbagai kontroversi saat kontestasi Pemilu 2024, baik pilpres maupun pilkada, yang diwarnai manuver-manuver politik yang sarat dengan relasi politik dinasti Jokowi. 

Di dalam psikologi politik, itu dikenal sebagai r etrospective political justice. Yakni, keinginan masyarakat untuk membalas atau menebus pengalaman politik yang dirasa tidak adil. 

Melemparkan wacana pemakzulan menjadi mekanisme katarsis politik, untuk mengembalikan rasa keadilan yang diyakini hilang akibat proses pemilu yang cacat secara etika.

  Menurut David Patrick Houghton (2009), psikologi politik berakar dari reaksi publik yang digerakkan oleh persepsi terhadap ketidakadilan, pengkhianatan nilai-nilai, dan kehilangan fungsi kontrol atas proses demokrasi. 

Ketika sebagian rakyat percaya bahwa Pilpres 2024 telah ”dirusak” oleh putusan Mahkamah Konstitusi (terkait syarat usia capres/cawapres) dan menganggap keterpilihan Gibran sebagai hasil konspirasi konflik kepentingan elitis, wacana pemakzulan sekali lagi bukanlah hanya tentang hukum, melainkan simbol perlawanan atas ketidakadilan.

Usulan pemakzulan Gibran, yang mencuat pada April 2025 dan didorong oleh elemen masyarakat sipil, termasuk Forum Purnawirawan TNI, lahir dari situasi psikologis tersebut. 

Gibran menjadi persoalan bukan semata kualitas personal atau program kebijakan yang ia bawa, melainkan karena relasi genealogis –anak dari Presiden Joko Widodo –yang kemudian dihubungkan dengan dugaan intervensi kekuasaan (cawe-cawe) dalam proses konstitusional dan elektoral yang telah kita lalui bersama tahun lalu. 

  Tidak cukup sekali, tapi juga terkait Pilkada 2024, saat putra bungsunya –Kaesang Pangarep– tiba-tiba saja menjadi ketua umum PSI dan digadang-gadang masuk kontestasi pilkada melalui skenario perubahan regulasi terkait usia yang akan digedok di DPR, meski akhirnya dibatalkan oleh sejumlah aksi massa.

  Norma di dalam pemilu sebagaimana yang disampaikan Robert Dahl (1971) mencakup keadilan prosedural dan akses setara terhadap kekuasaan. 

Maka, ketika prosedur konstitusional dimanipulasi untuk melayani kepentingan keluarga penguasa, kita sedang menyaksikan gejala oligarki dalam bentuk demokrasi elektoral yang dikendalikan elite. 

Hadiz dan Robison (2013) juga mengelaborasi fenomena dalam banyak negara pasca-otoriter seperti Indonesia, oligarki tidak menghilang, tetapi bertransformasi melalui institusi demokrasi. 

  Publik kemudian membaca bahwa politik dinasti adalah manifestasi dari proses itu, keluarga politik membentuk jaringan kekuasaan yang mereproduksi dirinya sendiri melalui pemilu, hukum, dan demokrasi. 

Lalu, bagaimana demokrasi menyelesaikan‘”beban” traumatik psikologi politik tersebut ?

MENYEMBUHKAN DEMOKRASI

  Elster (1993) dalam karyanya,  Political Psychology, menyatakan bahwa fenomena ”trauma politik” atau  collective trauma dapat terjadi ketika masyarakat merasa terancam oleh perubahan struktural atau keputusan politik yang tidak mereka setujui. 

Masyarakat merasa ”kehilangan kontrol” terhadap proses politik yang dianggap makin dikendalikan kekuatan-kekuatan tertentu, termasuk dinasti politik. 

Pengalaman politik, khususnya yang mengandung unsur pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokrasi seperti manipulasi hukum, penyalahgunaan kekuasaan, atau konflik kepentingan, dapat menciptakan trauma kolektif. 

Trauma itu tidak hanya membekas di ranah emosional masyarakat, tetapi juga merusak kepercayaan pada institusi. Demokrasi sebagai sistem politik tidak hanya harus prosedural, tetapi juga harus memberikan ruang pemulihan psikologis sebagai upaya untuk penyembuhan kolektif ( healing space).

Memunculkan wacana di atas adalah sebagai sebuah upaya penyembuhan terhadap kondisi demokrasi yang memburuk, ”mengembalikan kendali” atas politik Indonesia yang kini dirasa telah dikuasai relasi politik dinasti maupun oligarki. 

Demokrasi harus menyediakan ruang katarsis politik, yaitu keterbukaan ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan kekecewaan mereka, baik melalui forum publik, media independen, jalur hukum, maupun gerakan sosial. 

  Ketika suara-suara kekecewaan itu direpresi atau dicap sebagai ”antidemokrasi”, luka itu justru makin dalam. Meski demokrasi pun tidak harus mengamini semua tuntutan (seperti pemakzulan tanpa dasar hukum), tapi harus mendengar dan mengakomodasi proses ekspresif rakyatnya. 

Prinsipnya adalah seperti yang disampaikan Juergen Habermas dalam  Between Facts and Norms (1996), yakni legitimasi demokrasi hanya mungkin tercapai bila keputusan politik lahir dari komunikasi yang rasional, terbuka, dan inklusif. 

Dengan kata lain, demokrasi tidak boleh menutup ruang diskusi hanya karena kritik dianggap mengganggu stabilitas.

  Wacana pemakzulan Gibran dan ijazah palsu Jokowi, meskipun problematik secara hukum, tetap perlu dipahami sebagai ekspresi keresahan politik yang valid. 

Menyelesaikannya bukan dengan kriminalisasi wacana, melainkan dengan memperkuat ruang publik deliberatif –baik melalui parlemen, media independen, maupun forum-forum masyarakat sipil. 

Maka, benar yang sudah dilakukan Presiden Prabowo dalam merespons isu tersebut, yaitu tidak menaruh curiga secara berlebihan dan tetap memberikan ruang komunikasi yang deliberatif dengan forum purnawirawan TNI tersebut. 

  Hal itu menunjukkan bahwa elite negara belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa represi terhadap ekspresi politik justru bisa menjadi bahan bakar perlawanan yang lebih besar. 

Di dalam tradisi demokrasi deliberatif ala Habermas, ruang diskursif yang rasional dan terbuka adalah syarat bagi legitimasi politik yang tahan krisis. Bukan hanya kontrol atas narasi, melainkan juga kemampuan untuk menerima kritik sebagai bentuk cinta terhadap republik. 

Sembari demokrasi harus direvitalisasi pada etos etis dan moralitas publik ke dalam praktik politik. Pemerintah dan elite politik perlu membangun rekonsiliasi melalui pengakuan bahwa demokrasi akhir-akhir ini tidak sedang baik-baik saja. 

 
Kategori :