SETELAH Pemilu 2024, Indonesia tidak hanya mewarisi hasil elektoral, tetapi juga residu psikologis yang belum terselesaikan.
Dua isu yang mengemuka dalam beberapa hari terakhir –wacana pemakzulan Wapres Gibran dan kebangkitan kembali isu ijazah palsu Jokowi –tidak bisa dibaca semata sebagai reaksi terhadap prosedur hukum atau norma konstitusional. Bagaimana tidak, kita tahu proses pemakzulan wakil presiden tidak bisa dilakukan secara gegabah, tetapi hanya bisa dilakukan jika presiden atau wakil presiden terbukti melanggar hukum berat seperti korupsi, pengkhianatan negara, atau tindakan pidana lainnya (UUD 1945 Pasal 7A dan 7B). Prosesnya pun berlapis, melibatkan tiga institusi antara DPR, MK dan MPR (Asshiddiqie, 2006). Sementara itu, isu ijazah palsu Jokowi sejatinya kasuistis ”klise” sejak 2022 dan telah berulang kali terbantahkan, baik melalui Pengadilan Negeri Solo, Mahkamah Agung, maupun UGM yang memberikan klarifikasi ( Kompas, 2025). Artinya, memahami wacana di atas tidak sekadar melalui kacamata normatif-prosedural, tetapi juga menyangkut beban psikologis yang belum tuntas.Pemakzulan Wapres Gibran dan Kasus Ijazah Jokowi: Sebuah Psikologi Politik
Rabu 14-05-2025,07:24 WIB
Oleh: Anto Pattah
Kategori :