Shaffer menekankan bahwa freedom adalah kondisi tanpa konflik internal. Ketimbang memperhadap-hadapkan warga, akan menjadi lebih baik jika Pemkot memberikan pelatihan dan pemberdayaan bagi warga untuk memperkuat aspek mitigasi dan resiliensi kota ketika misalnya terjadi bencana kekeringan, kebakaran, atau bencana alam. Itu semua memungkinkan warga menikmati freedom secara psikologis di tengah tekanan urban.
Mengintegrasikan Liberty dan Freedom untuk Kemerdekaan Warga
Pemerintahan yang efektif harus dapat mengintegrasikan keduanya, dimana liberty dimaknai sebagai prasyarat sosial yang memungkinkan freedom berkembang. Tanpa liberty, freedom hanyalah ilusi, tanpa freedom, liberty malah menjadi kosong. Pada akhirnya, kebebasan sejati yang terkandung dalam program-program Pemkot, tidak lagi tampil sloganistik, melainkan sebagai strategi sekaligus komitmen untuk membebaskan warga secara holistik.
Seperti halnya harapan Tan Malaka ketika menulis _Naar De Republiek Indonesia - Menuju Republik Indonesia_. Tan Malaka, mengatakan bahwa selama ini kita salah mengartikan kemerdekaan. Hakikat kemerdekaan sejati tidak hanya diukur dari bebasnya suatu bangsa dari penjajahan fisik atau kekuasaan asing, tetapi dari pembebasan pikiran dari segala bentuk penindasan dan kebodohan. Menurutnya, bangsa yang benar-benar merdeka adalah bangsa yang memiliki kemampuan berpikir secara bebas, kritis, dan berlandaskan pada kebenaran, bukan sekadar mengikuti arus atau tunduk pada doktrin yang menyesatkan (Tan Malaka, 1924).
Seperti kata Frankl, semua bisa direnggut kecuali kebebasan memilih. Pemkot Makassar, melalui program-programnya, harus bisa menjadi katalisator yang membuat pilihan itu benar-benar merdeka. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya hidup merdeka, bebas, tapi juga bermakna.***