Buah Simalakama Rakyat di Negeri Utang

Kamis 18-12-2025,19:33 WIB
Oleh: Andi Muhammad Jufri

Indonesia pernah mengalami tumpukan menggunung utang luar negeri. Pada saat krisis moneter (1998) itu, kondisi ekonomi, sosial dan politik Indonesia porak poranda. Utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar. Hal itu membuat Presiden Soeharto harus menandatangani Letter of Intentatau LoI dengan IMF dan  Indonesia pun menjadi pasien IMF selama bertahun-tahun (cnbcindonesia.com, 8/01/2024)

Pada era kekinian, proyek Kereta Cepat Whoosh menjadi isu serius, karena  PT KAI terbebani utang Rp116 triliun, yang tidak bisa dibayar. Opsi penyelesaian dengan restrukturisasi utang (perpanjangan tenor jadi 60 tahun) oleh Danantara dan  Pemerintah Indonesia telah memulai pembicaraan dengan China untuk merestrukturisasi utang perusahaan kereta cepat tersebut (idnfinancial.com, 25/10/2025). 

Di tengah negara sedang ingin melompat menjadi negara maju, kita juga telah menciptakan budaya rakyat berutang. Sistem ekonomi gotong royong, memandirikan rakyat agar berdiri di kaki sendiri, gagal terbangun. Kita telah membiarkan rakyat berjuang sendiri, di tengah belantara kepentingan pihak-pihak tertentu mengambil keuntungan ekonomi secara instan di negeri ini. 

Korupsi, kolusi, nepotisme telah menghancurkan budaya asah,  asih  dan asuh di antara rakyat. Kesetiakawanan meluntur. Terjadinya kesenjangan ekonomi yang begitu lebar telah memanaskan suhu (protes/demo) rakyat. Di perkotaan, konsentrasi pengeluaran didominasi kelompok atas (20% penduduk terkaya menguasai hampir setengah (45,56%) dari total pengeluaran nasional).

Sementara, pendapatan buruh stagnan ditengah biaya hidup meningkat.  Ketimpangan akses ke peluang (investasi, pendidikan, jaringan) juga  yang lebih banyak dimiliki kelompok kaya. Kemudian, ketimpangan dan kemiskinan di wilayah pedesaan dan timur Indonesia juga masih lebih tinggi dibandingkan perkotaan dan wilayah barat. (Kompas.id, 3/09/2025).

Rakyat yang butuh mengisi "kampung tengah" (perut) dan menghidupi anak-anak dan keluarga mereka, ditengah keringnya "jerami sosial" (modal sosial/jaringan yang dapat membantu secara tulus), maka dewa penolong yang bernama "lembaga peminjaman" berbagai jenis dan bentuk, offline dan online, formal dan informal, legal dan tidak legal, bergerombolan  mengambil peran penyuplai pasar "kebutuhan" rakyat. Dengan sentuhan hati dan kata yang manis, bergaya rakyat kekinian, dengan mudah jutaan rakyat terbius "berutang". 

Namun, sistem peminjaman yang berbunga itu, tidaklah se-ramah ketika meminjamkannya. Ketika tandatangan pencairan sudah dilakukan, dana sudah ditangan peminjam, maka "mata" seperti  burung elang dari dewa penolong akan segera memelototi kelancaran komitmen pengembalian. Seminggu sebelum pembayaran utang jatuh tempo, deringan telpon mulai secara reguler berbunyi.

Ketika hari jatuh tempo tiba, intensitas deringan itu semakin tinggi. Kiriman penyampaian informasi dan ancaman sanksi terkirim ke peminjam.  Bila peminjam mengacuhkan dan melalaikan komitmen pembayaran tersebut sampai melewati 30 hari (satu bulan), lembaga peminjam yang legalitas akan menggunakan tenaga penghubung langsung ke sang peminjam. Tenaga ini biasa disebut  "debt collector". 

Hanya "debt collector" seringkali menyalahi cara kerja yang prosedural dan tekhnikal  dalam menagih utang. Gaya yang menekan, mengancam, meneror secara verbal, bahkan melakukan perampasan aset peminjam, seringkali menimbulkan korban luka dan jiwa di kedua belah pihak. Tindakan kekerasan akan memicu kekerasan lain. Inilah yang terjadi pada peristiwa kalibata yaitu pengeroyokan "debt colecctor" sampai terbunuh satu orang oleh enam orang oknum penegak hukum yang salah satu temannya menjadi sasaran perampasan sepeda motor oleh " debt collector". 

Kita menghadapi "buah simalakama" atau dilema sosial (social dilemma)  karena budaya utang yang menggerogoti rakyat dan negeri ini. Utang menjadi berguna, bila digunakan secara produktif dan penuh disiplin. Sebaliknya, utang akan merusak modal sosial rakyat, menimbulkan permusuhan dan kebencian, merusak persatuan dan kesatuan bangsa, bila pembiaran prilaku "debt collector" yang tidak ramah, tidak solutif dan mengedepankan intimidasi dan kekerasan. Rakyat yang meminjam juga perlu edukasi sistematis akan pentingnya memahami manajemen keuangan secara sederhana agar bila meminjam berada pada pengelolaan keuangan yang sehat.

Negara harus hadir ditengah kondisi darurat rakyat berutang. Kita memaklumi dan mengapresiasi, kebijakan pemerintah atas penghapusan utang rakyat yang terdampak bencana. Namun, negara perlu memetakan kehidupan rakyat secara umum dan dinamika kehidupan yang  ditemui oleh mereka. Seringkali seorang individu peminjam, mengalami kesulitan atau bayar gagal karena bukan kemalasan, bukan juga karena sengaja tidak mau bayar, tapi memang kondisi pendapatan yang menurun dalam kurun proses pinjam meminjam itu terjadi. Bisa juga karena sakit atau kecelakaan tunggal yang membuat sang peminjam tidak produktif. 

Kecermatan dalam pemetaan kehidupan rakyat terkait utang,  diharapkan memunculkan kebijakan "bantuan pelunasan utang" secara lunak oleh pemerintah dan juga mendirikan lembaga mediasi dan solutif yang pro aktif mendidik rakyat yang berprofesi  "debt colecctor" & rakyat pengutang. 

Bila ini, dilakukan, kita berharap perang dengan situasi tanpa pemenang (zero-sum game) di antara rakyat yang sama-sama mencari rejeki untuk kehidupan layak bagi diri dan keluarga " Debt Collector" Vs "Rakyat Pengutang" yang semakin menjadi-jadi di era kekikinian, dapat tercegah dan tertransformasi secara produktif yang berdampak pada  keharmonisan  dan kedamaian negeri.

Kategori :

Terkait

Kamis 11-12-2025,13:05 WIB

Menata Negeri Pasca Bencana