Konsep Belum

<!-- wp:paragraph --> <p>_{Oleh: Dahlan Iskan}</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p><strong>WUJUD</strong> TNI sekarang adalah hasil pemikiran para cendekiawan TNI itu sendiri.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Pemikiran itu awalnya sulit berkembang. Maklum di tengah politik sentralistis Orde Baru. Tapi pikiran itu tetap hidup. Otokritik terus disuarakan. Sampai akhirnya menemukan momentumnya: reformasi di tahun 1998.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Momentum serupa datang ke dunia Polri. Lewat peristiwa Duren Tiga.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Apakah Polri akan berubah setelah Duren Tiga?</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kelihatannya belum. Setidaknya publik belum pernah mendiskusikannya secara serius. Terutama mengenai bentuk ideal Polri di masa depan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Apakah diskusi seperti itu pernah terjadi di lingkungan internal Polri? Terutama di lingkungan cendekiawan Polri?</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kita sudah melihat semakin banyak perwira menengah Polri yang meraih gelar akademik tinggi-tinggi. Demikian juga di lingkungan perwira tinggi. Tak terhitung gelar SH, MH, dan Dr. Sampai ada yang tumpuk-tumpuk.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tapi saya belum pernah mendengar adakah di antara tesis dan disertasi mereka itu yang membahas wujud Polri ideal masa depan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kini kita mulai mendengar suara perlunya reformasi Polri. Itu baru terdengar setelah peristiwa Duren Tiga. Tentu keinginan itu terlalu mendadak. Mana mungkin. Rasanya, saat ini, belum ada konsep reformasi Polri yang sudah matang. Bahkan yang setengah matang sekali pun.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Rasanya tidak mungkin bisa dilakukan reformasi. Keinginan untuk ke sana belum cukup kuat. Bahkan belum cukup ada. Yang tersuarakan baru keinginan untuk bersih-bersih.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Itu pun masih banyak pertanyaan. Siapa yang harus bersih-bersih? Pakai sapu apa? Berapa lama? Bisa seberapa bersih?</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Pun untuk sebatas bersih-bersih. Juga belum ada konsep yang matang. Apalagi kalau info di skema yang disusul dengan info skema berikutnya itu benar. Terlihat suram sekali.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Maka perbaikan yang bisa diharapkan setelah peristiwa Duren Tiga kelihatannya masih akan sebatas pada tambal sulam.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kalau dari internal sulit diharapkan, apakah lembaga seperti Lemhanas pernah membahas bentuk masa depan Polri?</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya juga belum pernah mendengarnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tanpa agenda pembahasan model Polri masa depan dari mana konsep itu datang? Tanpa disiapkan konsep itu tidak akan pernah ada.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Maka Presiden Jokowilah yang paling diharapkan untuk mengambil inisiatif. Misalnya menugaskan lembaga tertentu untuk menyiapkan konsep masa depan Polri.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Itu saja mungkin perlu waktu satu tahun. Rasanya Lemhanas paling tepat untuk mendapat tugas itu. Dari sini konsep tersebut masih perlu dibahas mendalam di sekolah-sekolah pimpinan Polri. Tahap ini pun perlu waktu satu sampai dua tahun. Lalu balik lagi ke Lemhanas.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Bentuk akhir konsep itu nanti bisa saja tidak yang paling ideal. Harus disesuaikan dengan kenyataan di lapangan. Termasuk disesuaikan dengan budaya dan kearifan lokal.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dari kalangan Polri kita sering mendengar sulitnya menegakkan hukum. Itu karena penegakan hukum dilakukan bukan di ruang hampa. Penegakan hukum itu harus dilakukan di tengah masyarakat dengan berbagai budaya lokal. Terutama budaya menaati perintah pimpinan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Begitu banyak kejadian: harusnya A, pimpinan mintanya B.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kalau yang seperti itu jadi faktor yang terbesar maka memangkas banyaknya tingkatan komando memang harus dilakukan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Bentuk ekstremnya: tingkatan tertinggi dalam struktur Polri adalah Polres. Tidak perlu ada Polda, apalagi Mabes. Namanya pun mungkin bukan Polres. Maka sistem kepangkatan di Polri juga berubah total.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Lantas siapa atasan Kapolres?</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tidak ada. Atasan Kapolres adalah siapa yang mengangkatnya. Sampai di sini mulailah rumit. Tapi bukan tidak mungkin. Beberapa negara maju bisa. Ada negara yang rakyat setempatlah yang memilih kepala sheriff di daerah itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tentu itu rumit sekali. Dan karena itu tidak bisa mendadak –hanya karena mumpung ada momentum Sambo. Mungkin perlu lima tahun menyiapkan semua itu. Agar yang tahun ini mendaftar jadi Polri sudah membuang jauh-jauh keinginan jadi Kapolda atau Kapolri.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kalau pun ide reformasi seperti itu bisa diterima, kita tetap perlu Polri yang berskala nasional. Namanya saja mungkin bukan Polri. Atau tetap Polri –sedang yang satunya tadi jangan disebut Polri lagi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di Tiongkok yang nasional tadi disebut ??. Sedang yang lokal disebut ???Di Amerika yang nasional tadi disebut FBI. Sedang satunya disebut Polisi dan Sherif.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tentu kita tidak harus meniru mereka. Bisa saja pemikir-pemikir kita punya konsep yang khas Indonesia.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Urusan terorisme, obat bius, kriminalitas tertentu akan menjadi urusan polisi nasional. Brimob akan pindah ke polisi nasional ini. Dengan batalyon yang lebih menyebar.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Maka peristiwa Duren Tiga jangan terlalu diharap untuk bisa melahirkan reformasi. Harusnya Ferdy Sambo melakukan pembunuhan atas Brigadir Yosua lima tahun yang akan datang. Agar konsep reformasinya matang dulu. (*)</p> <!-- /wp:paragraph -->