<strong>Oleh: Dahlan Iskan</strong> <strong>SUDAH</strong> lama saya menanti: teladan apa yang akan diberikan oleh Tiongkok untuk mengatasi kelesuan ekonomi mereka. Kian banyak saja yang khawatir akan ekonomi Tiongkok. Pertumbuhan ekonominya tidak kunjung tinggi. Kredit macet di real estate-nya gila-gilaan. Ekonomi mulai lesu. Ibaratnya Tiongkok mulai meriang. Salah-salah bisa batuk-batuk: kita pun akan ikut kena flu. Saya begitu penasaran menanti jurus baru yang ditemukan Tiongkok. Tidak kunjung muncul. Saya mulai khawatir: akankah Tiongkok menemukan jalan keluar? Kalau tidak, betapa bahaya negeri itu? Akhirnya, pekan lalu, saya melihat langkah baru di sana. Saya memang belum yakin itu sebagai obat mujarab tapi itulah ilmu lama yang sudah terbukti ampuh di masa nan lalu: Tiongkok membiarkan nilai mata uangnya, yuan, melemah. Sepanjang 10 hari terakhir kurs yuan terhadap dolar merosot pelan-pelan. Terus-menerus. Terakhir kurs yuan sudah turun 5,7 persen. Ini kurs paling lemah selama 16 tahun terakhir. Sehari sebelum saya ke Kamar 48 lalu, satu dolar Amerika sudah setara dengan 7 yuan 36 sen. Bulan Mei 2016, satu dolar masih 6 yuan 16 cen. Kalau dalam beberapa waktu ke depan Tiongkok masih melemahkan kurs yuan-nya berarti benar: inilah jurus yang dipakai Tiongkok untuk keluar dari kesulitan ekonomi. Melemahkan yuan dipercaya bisa meningkatkan kembali ekspor Tiongkok. Selama ini negeri itu bisa maju karena ekspornya luar biasa. Ke seluruh dunia. Empat bulan terakhir ekspor Tiongkok terus merosot. Penurunan ekspor itu sudah terlihat sejak 13 bulan lalu. Padahal kekuatan ekspor Tiongkok adalah segala-galanya. Agustus lalu ekspornya ''tinggal'' USD 284 miliar. Dibanding bulan yang sama setahun sebelumnya. Turun hampir 9 persen. Dengan melemahkan mata uang yuan, ekspor Tiongkok akan bisa naik lagi. Tanpa ekspor yang tinggi Tiongkok akan mengalami overcapacity di industrinya. Para pemuja Tiongkok, seperti saya, juga ikut deg-degan: bisakah negeri itu rebound. Atau akan terhambat di level ini. "Tanpa pertumbuhan, Tiongkok bahaya," ujar Dr Michael J. Hicks. Ia ahli ekonomi papan atas di Amerika Serikat. Keahliannya di bidang ekonomi regional dan industri. Alirannya Keynesian. Lulusan University of Tennessee di kota Knoxville. Ia pernah aktif di militer dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Jangan jumbuh-kan dengan Mayjen Mark J. Hicks. Ia adalah adiknya. Michael Hicks tahu: 40 tahun terakhir Tiongkok tumbuh pesat. Itu mengingatkannya pada tingkat pertumbuhan di Amerika setelah tahun 1930-an. Itu yang membuat Amerika digdaya sampai sekarang. Bedanya, kata Hicks, pertumbuhan tinggi di Tiongkok kurang sehat. Pertumbuhan itu bersumber dari urbanisasi penduduk desa ke kota yang luar biasa. Melebihi yang terjadi di Amerika kala itu. "Industri di Tiongkok pun kurang efisien. Produktivitas 7,5 tenaga kerja di Tiongkok sama dengan 1 orang di Amerika kala itu," ujarnya. Itu karena industri dijalankan dengan tenaga yang berlatar belakang petani lama. Hicks mengatakan, para petinggi Tiongkok juga tahu kelemahan itu. Maka Tiongkok mengubah orientasi pendidikannya: menjadi lebih mengutamakan sains, teknologi, matematika, fisika, kimia, elektro dan seterusnya. Menurut Hicks urbanisasi besar-besaran di Tiongkok itu menyebabkan sektor pertanian tetap tertinggal jauh. Tidak terjadi modernisasi pertanian seperti yang terjadi di Amerika. "Pertanian di Tiongkok masih di era pra-industrialisasi," katanya. Sebagai militer ia pun mengingatkan: angkatan udara Tiongkok masih ketinggalan puluhan tahun dari AU Amerika. Tiongkok sudah begitu maju, tapi masih begitu banyak yang harus dilakukan. Semuanya sulit. Perlu kerja lebih keras lagi. Apalagi kita. Itulah teladan yang kita tunggu, ternyata. (Dahlan Iskan)
Jurus Teladan
Minggu 17-09-2023,06:28 WIB
Editor : Muhammad Fadly
Kategori :