Tanpa Sakit

Rabu 25-05-2022,07:52 WIB
Reporter : admin
Editor : admin

<!-- wp:paragraph --> <p>Oleh: Dahlan Iskan</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p><strong>diswaysulsel.com</strong> -- IA dokter. Ia tidak mau jadi spesialis. Kakak adiknya, 4 orang, sudah menjadi dokter spesialis semua. Mereka pun mendesaknya agar ia sekolah lagi: untuk menjadi spesialis.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dokter Agus Fahrudin Farid bergeming. "Untung saya tidak mau sekolah lagi," ujarnya bercanda.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Kalau saya jadi spesialis, saya tidak bisa bisnis seperti sekarang," tambahnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Agus memilih tetap jadi dokter umum saja. Tapi bisa berbisnis. Yang penting akhirnya tidak kalah sukses dengan saudara-saudaranya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kini dr Agus memiliki 5 rumah sakit. Bulan lalu ia membeli rumah sakit yang ke-5 itu. Terkenal sekali. Di Sidoarjo: RS Delta Surya. Dekat pintu tol.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Langkahnya di Delta Surya itu sekaligus sebagai pertanda sejarah.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Yakni berakhirnya sejarah perkongsian bisnis antar dokter. Khususnya di bisnis rumah sakit.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di zaman masih menjadi wartawan di lapangan dulu, saya sering mendengar ini: sejumlah dokter bergabung mendirikan rumah sakit.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya mengikuti pembicaraan mereka ketika itu. Yakni pembicaraan kegelisahan: mengapa dokter selalu hanya diperalat oleh pemodal.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mereka pun ''berontak''. Ingin mandiri.<br>Maka mereka mencari jalan agar dokter tidak hanya jadi ''buruh''. Rumah sakit tanpa dokter bukanlah rumah sakit.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kenapa bukan dokter sendiri yang jadi pemilik rumah sakit. Kesadaran itu begitu tinggi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tapi mendirikan rumah sakit perlu modal besar. Tidak ada dokter yang mampu. Sendirian. Kala itu. Dicarilah jalan keluar: perkongsian. Antar dokter sendiri.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dalam hal Delta Surya ada 18 dokter yang bergabung sebagai pemegang saham. Ditambah 4 pejabat tinggi setempat. Rupanya, hanya untuk menambah kelancaran perizinan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di zaman itu.<br>Model kerja sama seperti itu tidak hanya di Sidoarjo. Bahkan bisa jadi Sidoarjo bukan yang pertama. Sudah banyak di kota-kota lain. Di Bogor. Di Tuban. Dan mungkin juga di kota Anda.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Zaman itu adalah musim semi dokter berkongsi untuk menjadi juragan di dunianya sendiri. Musim semi pindah ke musim panas.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di negara-negara 4 musim, perpindahan musim semi ke musim panas terjadi dalam empat bulan. Musim semi perkongsian antar dokter lebih panjang. Lebih lima tahun.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tapi perubahan musim di perkongsian itu tidak hanya di udara, juga di cuaca. Cuaca di dalam hati.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Hati mereka menjadi panas. Terutama karena bisnis ternyata punya hukumnya sendiri.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mendiagnosis sakitnya rumah sakit ternyata tidak bisa dengan stetoskop.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kerukunan di masa bulan madu pun berubah menjadi cekcok. Di mana-mana. Ada yang sampai ke polisi. Ke jaksa. Ke pengadilan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Perlu ''dokter spesialis'' yang sangat spesial untuk bisa menyehatkan RS Delta Surya. Yang sudah parah. Saling gugat.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di sinilah spesialisasi dokter umum seperti dr Agus diperlukan. Ia turun tangan. Ia membeli rumah sakit itu. Lebih dari Rp300 miliar.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Semua pemegang saham pun senang. Dapat harga baik. Dan yang penting tidak bertengkar lagi. Tidak makan hati lagi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Untungnya, dr Agus masih dokter. Lulusan Unair, 1990. Satu almamater dengan semua saudara kandungnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di Bogor lain lagi. ''Dokter spesialis'' yang menyelamatkan RS milik para dokter di Bogor adalah Mayapada.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Jadilah RS Bogor Medical Center, yang terkenal itu, milik konglomerat Datuk Tahir –menantu konglomerat Mochtar Riyadi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dalam hal membeli rumah sakit dr Agus ternyata telah benar-benar menjadi spesialis. Sebelum membeli Delta Surya (110 bed) ia sudah membeli dua rumah sakit lebih kecil.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Yang satu juga dimiliki para dokter. Di kota Krian. RS Krian Husada. Satunya lagi dimiliki pengusaha di sisi barat Sidoarjo: RS Arofah Medika Sukodono –kini jadi RS Arofah Anwar Medika.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Anwar adalah nama kakek dr Agus. Sang kakek adalah kiai kampung di situ. Juga petani dengan sawah yang luas.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sedang ayah dr Agus seorang guru SD. Juga pemilik toko mracangan di rumahnya yang juga rumah sang kakek. Yakni rumah tepi sawah di Desa Balongbendo, dekat Krian.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Belakangan sawah itu dilewati jalan baru. Lebar sekali: by pass Krian. Posisi sawah itu berubah drastis. Menjadi sangat strategis.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kini lebih hebat lagi. Tidak jauh dari ujung by pass itu ada mulut jalan tol baru: Mojokerto-Gresik/Lamongan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Yang di tengahnya lagi dibuat akses tambahan. Agar bisa terhubung dengan tol Surabaya-Jakarta yang melintas di bawahnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kiai Anwar punya sawah 5 hektare di desanya itu. Sawah itulah yang berubah menjadi aset berharga: di pinggir by pass. Di situlah dr Agus membangun tempat praktik. Di dekat rumah kakeknya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Pasiennya luar biasa banyak. Ia disenangi masyarakat. Sejak lahir, SD sampai SMP ia memang sekolah di desa itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>SMA-nya pun di Krian. Bahkan ketika kuliah di Unair Surabaya, ia tetap tinggal di Krian –pulang pergi ikut kereta komputer.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Itu lebih murah daripada kos di Surabaya. Dan lagi ia memang sudah menyatu dengan desa itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Istrinya pun dari desa itu. Sang istri juga kuliah di Unair: ekonomi. Juga naik kendaraan umum seperti dr Agus.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Hubungan dr Agus dengan masyarakat desa itu sudah seperti keluarga besar. Ia tahu siapa yang harus digratiskan ketika ke tempat praktiknya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Suatu saat ia melirik salah satu pasiennya membuka laci mejanya. Si pasien mengambil uang dari laci itu. Dokter Agus pura-pura tidak melihat. Pasti orang itu sangat perlu uang.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Toh yang diambil uang kecil," ujarnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Kalau diambil semua, ya, saya ngamuk," tambahnya lantas tertawa.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dari sekadar tempat praktik, dr Agus bikin klinik kecil. Berkembang ke klinik besar. Akhirnya berdiri rumah sakit: 120 bed. Type C.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Awalnya dr Agus ingin mencantumkan nama ayahnya sebagai nama rumah sakit: Adzim Medika. Abdul Adzim.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tapi ayahnya itu, ketika itu, masih hidup. Nama RS, aturan saat itu, tidak boleh diambil dari orang yang masih hidup.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kebetulan Sang Kakek sangat memuji cucu yang bernama Agus itu. Diam diam. Dokter Agus pernah mencuri dengar omongan kakeknya kepada neneknya. Tentang pujian sang kakek itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kelak, di awal tahun 2000-an, ketika dr Agus membangun masjid di kompleks rumah sakit itu, nama sang ayah jadi nama masjid itu: Al Adzim.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sebagai rumah sakit di pinggir jalan by pass, Anwar Medika sering menerima korban kecelakaan. Itu merangsang dr Agus untuk melengkapi rumah sakitnya dengan fasilitas forensik.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Jadilah korban kecelakaan di seluruh kawasan Sidoarjo, Krian, Mojokerto diforensik di Anwar Medika.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kelebihannya: hasil forensik di situ bisa keluar dalam 1 atau 2 jam. Tidak lagi 24 jam seperti ketika terpusat di Surabaya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Musim semi dan musim panas sudah lewat. Masuklah musim gugur. Rumah-rumah sakit hasil kerja sama para dokter berguguran.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Orang seperti dr Agus tinggal menadahi guguran-guguran itu. Demikian juga konglomerat seperti grup Mayapada.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dokter Agus memang mengajak 4 dokter lain menjadi pemegang saham di Anwar Medika. Tapi 4 orang itu kakak-adiknya sendiri.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dan lagi saham di situ tidak dibagi rata. Dokter Agus memegang 52 persen. Dengan demikian tidak akan ruwet. Ada pemegang veto di rumah sakit itu: dr Agus sendiri.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Setelah membeli 3 rumah sakit dr Agus mendirikan universitas. Di tanah sawah lima hektare itu: Universitas Anwar Medika. Ia merintisnya sejak beberapa tahun lalu. Wujud awalnya sekolah tinggi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Semua jurusannya di bidang kesehatan: keperawatan, farmasi, laboratorium, dan kebidanan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dengan menjadi universitas ia menambahkan jurusan bisnis, informatika, manajemen dan segera membuka fakultas kedokteran. "Izinnya lagi diurus," katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ke depan, dr Agus akan mengembangkan program "Sehat Tanpa Sakit". Ia masih merahasiakan sistem baru yang akan dikembangkan itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tapi ia sudah mulai mencoba metode pengobatan untuk rambut, kulit dan peremajaan sel tanpa stem cell.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Tidak takut jadi masalah seperti dokter Terawan?" tanya saya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Saya tidak menemukan obat baru kok. Saya hanya menemukan cara mengatasi semua itu," katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tentu saya ingin menjelaskan semua itu. Suatu saat nanti. Terutama kalau saya sudah menjalaninya sendiri.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kapan-kapan. (*)</p> <!-- /wp:paragraph -->

Tags :
Kategori :

Terkait