<strong>Oleh: Sukarijanto</strong> ADA kelakar yang sudah mendunia: jika ingin mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara instan dalam skala kecil dengan hasil yang mengglobal, datangkan superstar Taylor Swift. Musikus wanita Negeri Paman Sam idola kaum milenial itu kini menjadi incaran banyak negara untuk mendapatkan perhatiannya. Konsernya di berbagai belahan dunia selalu mengakibatkan ”gempa kecil”. Kemunculan fantastis penyanyi sekaligus pencipta lagu itu telah menciptakan ”sekte ekonomi baru”. Yakni, Swiftonomics. Tak heran jika Taylor Swift dinobatkan sebagai Person of the Year 2023 oleh majalah Time. Melansir Al Jazeera, kemunculan Taylor Swift sangat luar biasa dan merupakan kisah yang sangat disukai pengagum remaja. Penggemar dari segala usia pun tak malu-malu menahbiskan diri mereka sebagai Swifties. Lantas, faktor apa yang mendorong Swiftonomics menjadi fenomenal? Sebetulnya, istilah ”Swiftonomics” diperkenalkan para akademikus Universitas Northeastern, Amerika Serikat, untuk merujuk pada fenomena multiplier effect di sektor ekonomi dari penampilan penyanyi dan pencipta lagu Taylor Swift. Bukan sekadar aspek popularitasnya, kehadiran Taylor Swift di mana pun berada selalu menggerakkan semua sektor ekonomi dan pariwisata. Juga, sektor industri pendukungnya. Sebuah lembaga riset bisnis QuestionPro dari Amerika Serikat (AS) telah melakukan penelitian terkait penampilan artis wanita pujaan dunia tersebut dengan efek domino yang diciptakan ketika tampil di sebuah kota. Berdasar hasil riset tersebut, orang yang pergi ke konser Taylor Swift diperkirakan mengeluarkan sekitar USD 1.300 per event untuk biaya hotel, akomodasi transportasi, dan pakaian. Hasilnya, dalam satu kali rangkaian perjalanan tur musik di 2009/2010 dengan total 89 konser, tercatat 1.138.977 penonton hadir. Pun, telah dilaporkan bahwa estimasi keuntungan total bruto dari konser itu mencapai 65 juta dolar AS. Angka tersebut belum termasuk keuntungan para pedagang merchandise di saat konser, para pedagang makan dan minuman, naiknya omzet industri bisnis iklan billboard, melonjaknya okupansi hotel, omzet perusahaan taksi melesat, industri penerbangan untung besar, dan mendongkrak angka pariwisata setempat. Sihir magis Taylor Swift telah menempatkan figur penyanyi muda berbakat itu sebagai episentrum baru pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana diketahui, perekonomian AS saat ini sedang melambat karena dipicu bunga tinggi untuk menahan laju inflasi. Bahkan, ada kekhawatiran ekonomi AS terancam mengalami resesi. Namun, Swiftonomics menjadi titik terang bagi pergerakan ekonomi AS. Konser musik yang saat ini sedang dilakoni Taylor Swift berpotensi menghasilkan hingga sekitar USD 5 miliar (sekitar Rp 75,22 triliun) untuk ekonomi di AS. Konon, berbeda dengan saat pandemi, masyarakat sekarang mencari pengalaman baru sehingga rela mengeluarkan uangnya untuk konser itu sebagai kompensasi puasa hiburan selama pandemi Covid-19 yang telah berlalu. Tapi, di sisi lain, beberapa pihak dari lembaga ekonomi pemerintah negeri Paman Sam justru mengkhawatirkan naiknya pengeluaran masyarakat tersebut. Pasalnya, bank sentral tengah menaikkan suku bunga secara agresif demi membendung laju pengeluaran konsumsi. Namun, itu masih menjadi perdebatan apakah konser tersebut akan memengaruhi laju inflasi atau tidak. Majalah The Economist menjawab dalam risetnya dan telah melakukan investigasi terhadap tur Swift pada 2023 dan sesama bintang pop global serta temannya, Beyonce Knowles, untuk melihat apakah tur tersebut memicu inflasi. Kesimpulan hasil riset: ternyata tidak. Penghasilan dari konser yang sedang diadakan penyanyi berusia 33 tahun itu diprediksi menangguk sekitar USD 11 juta sampai 12 juta per konser melalui penjualan tiket. Sementara itu, analis dari The Wall Street Journal memperkirakan konser Swift bisa menghasilkan keuntungan sekitar USD 1 miliar saat sampai dengan konser itu selesai pada 16-17 Agustus 2024. Jika perkiraan tersebut benar, tur musik Swift bisa memecahkan rekor tur ”Farewell Yellow Brick Road Tour” tahun 2018 dari Elton John yang pernah menghasilkan keuntungan USD 887 juta dan dinobatkan sebagai konser paling menguntungkan hingga saat ini. <strong>ORIENTASI BARU</strong> Tak heran, pada kesempatan peresmian peluncuran digitalisasi layanan perizinan penyelenggaraan event di Jakarta 24 Juni yang lalu, Presiden Jokowi sempat menyinggung konser Taylor Swift di Singapura Maret lalu selama enam hari berturut-turut, yang dengan nada berkelakar, telah menyedot duit orang-orang Indonesia yang menonton ke sana. Tambahnya, dengan menggunakan indikator Spotify, penonton yang hadir untuk menyaksikan penampilan artis negeri Paman Sam mencapai 2,2 juta orang. Dengan begitu, berapa triliun devisa yang melayang ke negeri tetangga. Menurut catatan Singapore Tourism Board (STB), berkat konser Taylor Swift, Singapura mengalami lonjakan penerimaan devisa dari pemesanan hotel dan pariwisata sebesar 10 persen. Dampak ekonomi yang melonjak tajam memberikan keuntungan USD 260,3 juta hingga USD 371 juta atau sekitar Rp 4,09 triliun hingga 5,84 triliun (asumsi kurs Rp 15.715 per USD). Selama enam hari konser, roda perekonomian Singapura bergerak serempak seperti restoran, pusat perbelanjaan, hingga destinasi wisata, hingga industri penerbangan kecipratan ”rezeki nomplok”. Konser-konser besar telah membuktikan berhasil mendorong pemulihan ekonomi Singapura pascapandemi Covid-19. Strategi ekonomi dengan menggelar konser musik selebritas dunia telah mendongkrak daya tarik negeri jiran tersebut sebagai negara tujuan utama wisata hiburan dan menyumbang hingga 10 persen produk domestik bruto (PDB)-nya. Pergeseran orientasi dari wisata landscape view ke arah entertainment tourism berskala besar merupakan bukti kemampuan adaptasi negara kota itu mendiversifikasi penggerak perekonomiannya. Profesor Seshan Ramaswami dari Singapore Management University memaparkan perubahan orientasi strategi pariwisata negaranya dengan menanamkan citra bahwa pergelaran konser Taylor Swift dan band-band ternama di dunia telah menjadikan Singapura sukses menjelma sebagai panggung besar di dunia internasional dan pusat hiburan pariwisata pencinta musik generasi muda dari berbagai penjuru dunia, termasuk Timur Tengah. Bahkan, majalah bisnis Bloomberg memaparkan hasil investigasinya: sekali konser Swift Taylor di Kota Colorado, Amerika Serikat, telah berkontribusi mengatrol angka produk domestik bruto melalui pengeluaran belanja publik (public spending) sebesar USD 140 juta. Seiring dengan catatan The Federal Reserve Bank of Philadelphia, Swiftonomics itu berhasil menstimulasi melonjaknya angka okupansi hotel dan pariwisata. Bagaimana dengan Indonesia? Menurut catatan Kamar Dagang dan Industri Indonesia, penampilan musikus dunia di Jakarta –yakni Coldplay bulan November tahun lalu yang dipadati sekitar 81 ribu penonton– telah berhasil menciptakan perputaran uang sebesar Rp 1,2 triliun dalam sekali tampil. Perputaran uang tersebut berasal dari penjualan tiket online, penuhnya okupansi kamar hotel, hingga meningkatnya penggunaan transportasi umum dan sektor ekonomi lainnya. Oleh karena itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno pun pernah berujar dan membayangkan jika sehari saja konser Coldplay telah menggerakkan perputaran uang yang besarnya begitu fantastis, bagaimana kalau konser tersebut digelar enam hari berturut-turut. Di saat perekonomian global berada dalam situasi penuh ketidakpastian dan pertumbuhan angka investasi yang stagnan, pergeseran orientasi eksplorasi sumber-sumber ekonomi baru yang inovatif penting untuk dilirik. Sebagaimana fenomena Swiftonomics yang kini menjalar, pemerintah seyogianya tidak ragu untuk melirik sektor industri wisata hiburan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi baru, kenapa takut? (<strong>Sukarijanto</strong>)
Swiftonomics, Kutub Baru Pertumbuhan Ekonomi
Selasa 30-07-2024,07:00 WIB
Oleh: Muhammad Fadly
Kategori :