Di Balik Kematian Haniyeh

Kamis 01-08-2024,06:30 WIB
Oleh: Muhammad Fadly

<strong>Oleh: </strong><strong>Probo Darono Yakti (Dosen Hubungan Internasional FISIP UNAIR ) dan M Aly Azka (Mahasiswa S2 Sejarah UGM)</strong> <strong>KEMATIAN</strong> Ismail Haniyeh, Kepala Biro Politik Kelompok Hamas Palestina pada Selasa 31 Juli 2024 sontak mengejutkan khalayak internasional mengingat peran pentingnya di Timur Tengah. Ia juga sempat menjabat mantan Perdana Menteri Palestina pada tahun 2006 meskipun tidak diakui oleh kubu Fatah di bawah Mahmoud Abbas. Kematian ini diklaim oleh Hamas sebagai tindakan Israel mengirimkan rudal ke rumah pribadinya di Ibukota Iran, Teheran. Haniyeh yang berada di Iran sedang menghadiri acara Pelantikan Presiden Baru Iran. Ia tewas bersama seorang pengawal dari Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran. Petinggi Hamas pun bersumpah akan membalas tindakan Tel Aviv tersebut, Iran juga telah mengibarkan bendera merah untuk mendukung langkah Palestina. <strong>Peran Sentral Haniyeh</strong> Haniyeh bukanlah nama baru dalam percaturan politik di Palestina dan Timur Tengah. Ia adalah politisi ulung yang sudah aral melintang di dalam mengonstruksi perlawanan terhadap Israel yang mendapatkan banyak simpati dari pendukung Hamas dan warga Palestina di Gaza. Retorika-retorikanya pada publik yang kuat disertai posisinya yang tegas terhadap Israel memperluas pengaruhnya tidak hanya di jalur Gaza, namun juga di wilayah Tepi Barat. Terutama warga Gaza yang solid memberikan dukungan pada aksi-aksinya karena sejauh ini merasa diabaikan oleh Otoritas Palestina di Tepi Barat. Haniyeh menekankan pada ideologi kepanjangan nama organisasi “Harakat al-Muqawamah Al-Islamiyah”, yakni perlawanan yang dikedepankan dengan memegang penerapan syariah dan jihad yang berkaitan dengan Islamisme. Selain itu, Hamas terus memperjuangkan pembebasan dan pendirian negara Palestina secara jalan bersenjata. Hamas konsisten menolak proses Perdamaian Oslo pada tahun 1990an. Kendati arah perjuangannya berbeda dengan Fatah, Hamas di bawah kepemimpinan Haniyeh mendorong semangat Piagam Hamas pada tahun 1988. <strong>Transformasi Dokumen Kebijakan Hamas</strong> Sikap Hamas saat ini memang terlihat sedikit melunak, khususnya setelah Ismail Haniyeh menginisiasi revisi atas dokumen kebijakan Hamas saat ia masih menjadi Wakil Kepala Biro Politik Hamas. Perbedaannya terletak pada fleksibilitas dalam pendekatan politik, khususnya menekankan pada sikap Hamas pada perbatasan hasil kesepakatan pada tahun 1967. Hamas yang mulanya sangat berkonfrontasi karena perbedaan ideologi, mendadak lebih melunak dan membentuk pemerintahan koalisi bersama Fatah. Hamas saat ini mendominasi Palestinian Legislative Council dengan menduduki 74 kursi, yang mengungguli Fatah yang tergabung dalam kelompok oposisi Palestinian Liberation Organization dengan hanya 45 kursi. Langkah politik Palestina ke depan tentunya akan ditentukan oleh langkah politik Hamas di bawah Haniyeh, meskipun lagi-lagi upaya ini belum mendapatkan dukungan politik penuh dari Presiden Mahmoud Abbas dari Fatah belum dikantongi. Hal ini ditengarai antara lain karena: Pertama, Hamas dan Fatah masih memiliki jurang ideologi yang mendalam, sehingga masih terdapat mosi tidak percaya dari kubu Fatah terhadap Hamas yang cenderung akan mendominasi pemerintahan. Kedua, perbedaan strategi peningkatan citra internasional Fatah dan Hamas tentu menjadi jurang di antara keduanya. Hamas tidak mengakui two-state solution, sedangkan kubu Fatah justru sebaliknya. <strong>Peningkatan Eskalasi di Tingkat Lebih Tinggi</strong> Gencatan senjata antara Palestina-Israel sepertinya akan berakhir lebih cepat. Kematian Ismael Haniyeh membawa duka yang mendalam bagi Hamas. Wajar memang, ketika tokoh sentral serta kerabat-kerabatnya telah gugur di “medan pertempuran”. Solidaritas Iran terhadap konflik Palestina-Israel terlihat pada saat beberapa jam setelah gugurnya Ismael Haniyeh direspons Hamas. Sikap Hamas lantas diteruskan dengan pernyataan Pemerintah Iran untuk mempersalahkan Israel atas kematian Ismael Haniyeh. Hal ini mengindikasikan keberlangsungan dari konflik di Timur Tengah, antara lain karena Iran adalah salah satu negara yang menyuplai Hamas dengan alutsista untuk melawan Israel. Selain alutsista, dukungan Iran berupa pelatihan militer khususnya dari Pasukan Quds yang merupakan unit elite IRGC. Selain itu kondisi ini juga akan mendorong Mesir untuk menunjukkan simpatinya, karena dugaan yang berkembang selama ini terjadi pengiriman senjata melalui jalur terowongan rahasia dan jalur laut ke Jalur Gaza. Masih segar di ingatan kita, Israel terus berbalas roket dengan Iran yang mana sebelumnya menewaskan Brigadir Jenderal Mohammad Reza Zahedi dan jajaran. Tidak kalah dengan Iran, Palestina sendiri juga telah berimprovisasi dalam teknologi persenjataan roket Qassam, mortir, dan bahan-bahan peledak menggunakan bahan-bahan yang dapat diakses di Gaza atau diselundupkan dari luar. Haniyeh yang bergabung Hamas sejak intifada pertama 1980an memiliki peran penting dalam mendorong Brigade Izz ad-Din al-Qassam, untuk menggunakan produk-produk yang dihasilkan sendiri oleh Hamas. <strong>Timur Tengah Semakin Panas</strong> Setidaknya, ada beberapa indikasi ke depan jika Ismail Haniyeh tidak lagi menjadi kompas moral dari pergerakan Hamas. Pertama, perubahan kepemimpinan yang tentu akan mengubah karakter dari kebijakan. Wakil Kepala Biro Politik Saleh Al-Rouri juga telah meninggal awal Januari 2024, sehingga menghasilkan kevakuman dalam kepemimpinan Hamas di level puncak elite. Strategi tentu akan berubah berkaitan pada rekonsiliasi dengan Fatah yang sebelumnya telah dicoba untuk dibangun oleh Haniyeh sendiri yang menduduki tampuk organisasi tertinggi. Kedua, hubungan Hamas dengan dunia luar akan berubah setidak-tidaknya mengingat citra Hamas yang sejauh ini telah dibangun lebih kooperatif daripada sebelumnya. Ketiga, potensi ketegangan dan pengaruh perlawanan tentu sedikit banyak juga berpengaruh dalam konteks konflik dan negosiasi Hamas dan Fatah ke depan dalam merepresentasi Palestina. Keempat, dinamika perubahan aliansi dan tingkat ketegangan ke depan tidak dapat dipastikan secara konkret dengan kealpaan Haniyeh di tampuk kepemimpinan. Selamat jalan Ismael Haniyeh, From The River to The Sea, Palestine Will Be Free! (*)

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler