<strong>Oleh: Taufik Lamade</strong> BOLEH TIDAK prajurit aktif TNI berbisnis? Kalau boleh, jarum jam akan berputar terbalik. Kembali ke orde sebelum reformasi. Itulah yang lagi hangat dalam pembahasan revisi Undang-Undang (UU) TNI Nomor 34 Tahun 2004. Ada upaya ingin menghapus pasal 39 ayat 3 yang menjadi benteng pelarangan bisnis TNI. Adalah anggota DPR Mayjen (purn) T.B. Hasanuddin yang membocorkan upaya menggusur pasal larangan bisnis itu. Ceritanya, ada perwira bintang dua di Mabes TNI yang khawatir bisnis istrinya membuka warung di kompleksnya. Khawatir kalau aktivitas sampingan itu dianggap melanggar UU. T.B. Hasanuddin, legislator asal PDIP, menilai, kalau sekadar membuka warung yang omzetnya sekitar Rp 400 ribu sehari, tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah bisnis berskala besar yang bisa memengaruhi tugas pokok TNI itu. Coba kita bayangkan, kalau benteng pelarangan bisnis anggota TNI tidak ada, akan banyak tentara yang terjun ke dunia dagang. Paling sederhana saja, para perusahaan besar akan memanfaatkan perwira untuk mengelola usahanya. Para perwira akan bertebaran menjadi komisaris dan direksi di sejumlah raksasa bisnis. Tak hanya berpotensi konflik kepentingan dengan dunia militer. Itu juga akan memunculkan potensi persaingan tak sehat antar perusahaan. Memang kalau kita tengok ke sejarah, TNI dan bisnis seperti dua sisi mata uang. Para prajurit harus mencari pendapatan untuk membiayai operasi militer. Harus mencari dana mandiri untuk bergerilya melawan penjajah kolonial. Indria Samego, doktor politik, dalam bukunya, Bila ABRI Berbisnis (1998), mengungkapkan bahwa TNI terpaksa mencari sumber dana sendiri di awal kemerdekaan karena tidak ada dukungan dari pemerintah. Dukungan finansial militer di daerah juga terputus dari pusat. Munculnya istilah jalan tengah di era Jenderal Abdul Haris Nasution juga tak lepas dari posisi militer yang terlibat dalam ranah sipil dan bisnis. Dan, itulah yang melahirkan dwifungsi. Era rezim Soeharto, bisnis militer makin meluas. BUMN raksasa seperti Pertamina dipimpin tentara aktif Ibnu Sutowo. Bukan hanya jenderal, Sutowo juga dikenal sangat dekat dengan Soeharto. Bulog (Badan Urusan Logistik) juga dikenal lumbung dana militer di era Orde Baru. Selama bertahun-tahun dipimpin Bustanil Arifin yang juga jenderal. Banyak lini bisnis di era Orde Baru (Orba) yang bersentuhan dengan jaringan ABRI. Beberapa institusi bisnis milik militer berbentuk koperasi dan yayasan. Termasuk Kobame (Koperasi Baret Merah), Inkopad, dan Inkopal. Sejumlah konglomerat seperti Tommy Winata menjadi besar karena kedekatannya dengan sejumlah jenderal. Bank Propelat yang lahir di Kodam Siliwangi menjadi cikal bakal Bank Artha Graha yang dikuasai Tommy Winata. Seiring jatuhnya Orde Baru, bisnis TNI meredup. Mulai mundur teratur karena desakan publik yang menginginkan TNI kembali ke barak (menjadi militer profesional). Puncaknya, lahir UU TNI 34/2004. UU itu secara tegas mengunci bisnis TNI dan anggota TNI. Di pasal yang sama, TNI juga dilarang terlibat politik praktis. Setelah 20 tahun, ada upaya membuka gembok bisnis. Upaya itu bakal menjadi kontroversial. Sebab, bila pintu bisnis buat TNI dibuka, perhatian TNI sebagai alat pertahanan akan terpecah. Yang paling berbahaya, ada potensi penyalahgunaan kekuasaan. Yang pada akhirnya menurunkan kepercayaan rakyat. Romantisme masa lalu, yakni prajurit mencari dana untuk operasional militer, sudah tidak relevan. Sebab, nilai APBN yang mengalir ke Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sudah sangat besar. Apalagi, di era Prabowo jadi menteri pertahanan, Kemenhan selalu mendapat pagu anggaran jumbo. Sejak 2019, Kemenhan dan Kemen PUPR secara bergantian mendapat anggaran terbesar. Tahun 2023, Kemenhan kebagian Rp 123,4 triliun dan untuk 2024 meningkat menjadi Rp 139,27 triliun. Dengan demikian, sudah tak ada alasan kekurangan finansial. Jadi, untuk apa TNI kembali berbisnis? (*)
Militer Indonesia di Pusaran Bisnis
Rabu 07-08-2024,07:00 WIB
Oleh: Muhammad Fadly
Kategori :