<strong>Oleh: </strong><strong>Djono W. Oesman</strong> <em><strong>Orang heran, kok ada bullying di pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang membuat dr Aulia Risma Lestari, 30, bunuh diri. Ternyata Menkes Budi Gunadi Sadikin di rapat Komisi IX DPR RI Kamis, 29 Agustus 2024, mengungkap data. ”Ada 234 laporan kasus bullying peserta PPDS yang masuk ke Kemenkes,” katanya.</strong></em> DATA tersebut masuk ke Kemenkes sampai dengan 23 Agustus 2024. Jumlah kasus bullying itu dari ribuan peserta PPDS yang dirangkum sampai dengan tanggal tersebut. Artinya, jumlah kasus bullying di PPDS sangat banyak. Mirip dengan bullying di SD, SMP, dan SMA. Tidak disebutkan Menkes Budi, apakah kasus almarhumah dr Aulia sudah masuk data tersebut? Tidak disebutkan. Anggota DPR peserta rapat itu juga tidak bertanya. Namun, yang mengejutkan adalah pernyataan menkes yang ini: Dokter Aulia (ketika masih hidup) terpantau oleh pihak Kemenkes sebagai pengidap depresi ringan. Depresi akibat mengikuti atau jadi siswa PPDS. Bukan sejak sebelum mengikuti PPDS. Itu diketahui karena Kemenkes melakukan cek psikologis terhadap peserta PPDS secara berkala. Menkes Budi: ”Berdasar data kami, ada 399 dokter peserta PPDS (baik yang di-bully maupun tidak) yang menurut survei, mengalami depresi berat dan ingin mengakhiri hidup mereka (bunuh diri). Ini jadi fokus perhatian kami untuk ditangani. Dan, sedang ditangani.” Dilanjut: ”Unfortunately, dr Aulia Risma yang kemarin, itu dia masuk depresi ringan. Sehingga belum menjadi fokus perhatian kami.” Ternyata, justru pengidap depresi ringan itulah yang bunuh diri (berdasar hasil investigasi Kemenkes terhadap kasus Aulia yang diumumkan Menkes Budi Gunadi kepada wartawan, Rabu, 28 Agustus 2024). Budi: ”Sementara saat itu, Kemenkes RI memberi layanan (psikologis) untuk yang depresi berat dulu, yang lebih urgen. Jadi, dia (dr Aulia) lolos dari perhatian kami. Sungguh sangat disayangkan.” Menkes Budi tergolong pejabat tinggi negara yang suka bicara blak-blakan. Terbuka. Sesuai data Kemenkes, juga hasil investigasi Kemenkes terhadap suatu kasus. Walaupun, fakta sesuai data itu memprihatinkan. Ia tipe pejabat yang ”mengungkapkan kebenaran walaupun itu pahit”. Tapi, itu belum menjawab rasa kepo masyarakat, mengapa ada bullying di pendidikan dokter spesialis? Bukankah mereka sudah dewasa dan orang berpendidikan tinggi? Kok bisa? Rasa kepo tersebut tak terjawab. Sebab, belum ada riset soal itu di Indonesia. Belum ada penelitian, mengapa dokter senior tega memrundung dokter peserta PPDS, sampai ada yang bunuh diri? Jangankan riset. Di kasus Aulia, Menkes Budi sudah mengumumkan hasil investigasi tim Kemenkes, bahwa Aulia memang dirundung senior. Bukti hukum bullying senior terhadap Aulia sudah diteliti Menkes Budi. Dan, bukti hukum tersebut sudah diserahkannya kepada polisi untuk tindak lanjut. Dikutip dari jurnal ilmiah Singapore Medical Journal, 29 April 2024, berjudul Bullying among medical students and doctors in Ghana: a cross-sectional survey, disebutkan bahwa bullying di pendidikan kedokteran umumnya terjadi di negara-negara miskin atau negara berkembang. Bukan di negara maju (kaya). Riset yang dimuat di jurnal ilmiah itu dilakukan di Ghana, Afrika Barat. Berdasar data PBB tahun 2021, Ghana masuk negara miskin, dengan 24,2 persen populasi, hidup di bawah garis kemiskinan (sangat miskin). Tentang mengapa perundungan di pendidikan dokter pada negara miskin dan berkembang ada, atau banyak? Jawab peneliti di situ (mungkin bersifat spekulatif) karena profesi dokter di negara miskin dan berkembang sangat menegangkan. Mengapa menegangkan? Sebab, rasio jumlah dokter dan jumlah penduduk sangat jauh. Dalam arti, jumlah dokter terlalu sedikit. Disebutkan, di Ghana rasio jumlah dokter banding penduduk 1 banding 8.481 (data pemerintah Ghana tahun 2016). Dengan begitu, para dokter kewalahan. Disebutkan di sana, kerja dokter menegangkan. Metode riset, kuesioner dengan responden anonim yang meneliti prevalensi perundungan dalam hierarki medis, melalui wawancara. Di semua rumah sakit pendidikan (teaching hospital) di sana, dengan 2 mahasiswa kedokteran, 2 petugas rumah sakit, 2 petugas medis, 3 residen, dan 2 dokter spesialis. Respons itu dianalisis dan tema yang berulang dimasukkan kuesioner. Pengumpulan data berlangsung 6 pekan, dari 24 September 2018 hingga 4 November 2018. Izin etis tidak diperlukan untuk penelitian itu karena tidak ada informasi yang dapat diidentifikasi responden yang dikumpulkan. Jumlah dokter publik terdaftar di Ghana adalah 3.365, dengan 1.869 mahasiswa kedokteran pada saat penyebaran kuesioner. Margin error 5 persen. Hasilnya, mayoritas responden (82 persen) menyatakan mereka pernah dirundung, direndahkan, atau dilecehkan. Pelakunya sebagian besar adalah staf medis senior, biasanya dokter spesialis (82 persen), diikuti petugas medis (23,7 persen), dan perawat (22,8 persen). Sebagian besar bentuk perundungan berupa kekerasan verbal atau ancaman atau intimidasi (94,1 persen). Diikuti pelecehan seksual (5,3 persen) dan penyerangan fisik (1,5 persen). Para korban, hanya sebagian kecil (20,7 persen) yang melaporkan perundungan itu ke lembaga pemerintah atau polisi. Sisanya diam saja. Mengapa korban diam? Alasan yang paling banyak disebutkan adalah ”itu tampak normal. Jadi, saya bertahan, seperti orang lain” (40,7 persen). Alasan kedua tidak melaporkan perundungan adalah ”tidak yakin, kepada siapa harus mengadu? Sebab, kalau salah tempat pengaduan justru membahayakan” (33 persen). Akibat perundungan di kalangan dokter dan dokter spesialis, perawatan pasien di sana buruk. Imbasnya, hal itu berisiko terhadap keselamatan pasien. Bagaimana dengan di Indonesia? Apakah termasuk negara yang kekurangan jumlah dokter? Jawabnya: pasti, Indonesia sangat kekurangan jumlah dokter. Apalagi, jumlah dokter spesialis jauh di bawah standar internasional. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada sambutan di acara Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) tahun 2024, Rabu, 24 April 2024, mengatakan: ”Saat ini jumlah dokter di Indonesia masih kurang. Di mana rasionya hanya 0,47 dan menempati urutan 147 di dunia. Kami akan kejar.” Sementara itu, di jumpa pers Rakerkesnas 2024 itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, kekurangan dokter di Indonesia telah menjadi masalah sejak masa kemerdekaan Indonesia (sudah 79 tahun). Terlebih, jumlah dokter spesialis masih sangat minim. Bahkan, berdasar perhitungan, Indonesia membutuhkan waktu 20 tahun ke depan untuk mencapai standar jumlah dokter spesialis yang menjadi acuan dunia. Menkes Budi: ”Dokter spesialis sangat sedikit karena biayanya sangat mahal. Di Indonesia untuk menjadi dokter spesialis, dokter harus berhenti praktik terlebih dulu. Kemudian, daftar kuliah, kemudian ikut kuliah, dan setelah selesai kuliah empat tahun, baru boleh praktik lagi.” Menurutnya, pendidikan kedokteran di berbagai negara di dunia menggunakan hospital based atau dilakukan di rumah sakit. Menkes mengatakan, Indonesia menerapkan konsep yang sama untuk pendidikan dokter spesialis. Budi: ”Untuk pendidikan dokter spesialis akan dilakukan berdasarkan collegium based bekerja sama dengan hospital based. Dokter umum tetap akan bekerja sama dengan perguruan tinggi.” Sampai di sini, masyarakat bisa tambah bingung. Kepo belum terjawab juga. Jika jumlah dokter dan dokter spesialis sangat kurang, terus mengapa justru peserta PPDS di-bully dokter senior? Bahkan, mengapa jumlah kasus bullying sampai sebanyak itu? Jawabnya: belum ada riset soal itu di Indonesia. Belum ada jawaban akurat. Mungkin, para dokter senior pelaku perundungan berpikiran sama dengan rerata pemikiran masyarakat miskin Indonesia: ”Enak aja lu… mau jadi dokter spesialis. Gak gampang, tau….” (Djono W. Oesman)
Bullying ala Dokter Spesialis di Kasus Bunuh Diri dr Aulia Risma Lestari
Minggu 01-09-2024,06:30 WIB
Oleh: Muhammad Fadly
Kategori :