Anggaran Tinggi, Partisipasi Pemilih di Makassar Paling Rendah
Ilustrasi Anggaran KPU Makassar tertinggi tapi partisipasi pemilih rendah.--Harian Disway Sulsel-Anton--
MAKASSAR, DISWAYSULSEL - Rendahnya partisipasi Pemilih pada Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali (Pilwali) Kota Makassar menjadi sorotan. Pasalnya, partisipasi di Kota Makassar mengalami penurunan cukup signifikan dibandingkan Pilwali 2020 lalu.
Bahkan dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, Kota Makassar menjadi daerah dengan partisipasi paling rendah.
Sorotan ini timbul, sebab anggaran besar di Pilwali yang telah digelontorkan dianggap tidak dapat digunakan untuk mendongkrak angka partisipasi pemilih.
Padahal, anggaran Pilkada untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar berdasarkan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dari Pemerintah Kota sebesar Rp 64 Miliar. Kucuran anggaran tersebut mengacu pada jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sekitar 1 juta jiwa lebih.
Pemerhati Pemilu, Nurmal Idrus menilai, rendahnya partisipasi pemilih di Kota Makassar perlu pertanggungjawaban KPU. Sebab, kata Nurmal, salah satu tugas pokok KPU yakni mendorong peningkatan partisipasi pemilih.
“Maka tentu ini jadi catatan tersendiri bagi KPU, kenapa kemudian ini menjadi sangat rendah. Yang kedua, partisipasi pemilih ini dipengaruhi oleh semua stakeholder baik itu pemerintah dan kelompok civil society yang lain,” terangnya, Rabu, 11 Desember 2024.
Meski KPU telah melakukan usaha maksimal untuk mendorong partisipasi pemilih, Nurmal menilai, belum cukup jika stakeholder terkait tak ikut turun langsung. Begitu pun keterlibatan masyarakat sipil sendiri. Sehingga butuh adanya sumbangsih peran kelompok civil society dalam meningkatkan partisipasi pemilih.
“Meskipun KPU mendorong dengan berbagai program tapi kemudian civil society dan pemerintah tidak mendukung, itu sulit juga. Jadi ini kesalahan bersama, walaupun tanggung jawab terbesarnya tetap di KPU,” ujar mantan Ketua KPU Makassar ini.
“Jadi ini sebenarnya yang harus dijelaskan kepada masyarakat, kenapa partisipasi di Makassar ini rendah. Apa alasannya, apakah alasan teknis missal ada orang yang tercatat tapi tidak ada orangnya, atau memang lebih banyak orang tidak mau ke TPS karena jauh misalnya,” sambungnya.
Nurmal mengatakan faktor tidak menetapnya lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) juga menjadi alasan rendahnya partisipasi pemilih. Sebab, banyak dari masyarakat yang mengeluh karena lokasi TPS yang tidak terjangkau. Hal ini, kata dia, harus menjadi salah satu pertimbangan bagi KPU untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat ke depannya.
“Artinya menurut saya TPS harus dipermanenkan, kadangkala masyarakat kalau ditanya di mana TPS-nya mereka tidak tahu. Hal-hal seperti ini yang mestinya dievaluasi dan dijelaskan oleh teman-teman KPU. Karena partisipasi yang turun ini juga menggambarkan legitimasi kepala daerah yang terpilih,” terangnya.
Sebagai orang yang berpengalaman sebagai komsioner KPU, Nurmal mengakui anggaran sosialisasi KPU sangat terbatas. Sehingga KPU harus mengatur strategi sebaik mungkin untuk mensosialisasikan pentingnya hak pilih pada Pilkada.
“Memang dari awal harus direncanakan terkait dengan strategi sosialisasi, dan kemudian mendorong orang lebih banyak ke TPS. Mungkin di situ yang harus dievaluasi. Begitu juga civil society dan pemerintah, harus juga punya strategi untuk mendorong partisipasi ini. Jangan hanya melimpahkan tanggung jawab sepenuhnya ke KPU,” tukasnya.
Komisioner KPU Makassar, Muhammad Abdi Goncing mengakui, persentase partisipasi menurun dari Pilkada sebelumnya. Dia mengatakan, pihak KPU Makassar telah berupaya dengan maksimal untuk mendorong partisipasi pemilih, namun hasilnya masih jauh dari target.
Sumber: