Dewa Ngluyur

Dewa Ngluyur

Umat Konghucu saat beribadah di Kelenteng Tuban-DISWAY.ID-

"Untuk apa Anda begitu ingin jadi ketua kelenteng Tuban (Kwan Sing Bio)?" tanya saya kepada Tjong Ping kemarin.

"Saya ingin agar dewa kelenteng Tuban cepat pulang. Sekarang ini kelenteng dalam keadaan kosong. Dewanya ngeluyur terus. Berkelana. Tidak pulang-pulang," ujar Tjong Ping.

Dalam pembicaraan kemarin itu Tjong Ping bisa menerima apabila bentuk kepengurusan kelenteng nanti yayasan. Seperti yang digagas Soedomo Mergonoto, pemilik kerajaan bisnis Kapal Api. Tjong Ping tidak ngotot lagi bentuknya harus perkumpulan.

Ia juga sudah menyadari, baik yayasan maupun perkumpulan dua-duanya sudah lama mati. Maka untuk menghidupkannya tidak ada jalan lain kecuali rukun kembali. Sama-sama sepakat menghidupkan kembali yayasan.

Sebenarnya Alim Sugiantoro, lawan Tjong Ping, tidak ingin jadi ketua. Keinginannya hanya satu: jadi penilik keuangan kelenteng.

Istilah ''penilik'' sebenarnya tidak ada. Itu istilah peninggalan zaman Belanda: penilik sekolah. Artinya pengawas.

Maka kalau itu keinginan Alim seharusnya bisa langsung dikabulkan. Saya mengusulkan namanya jangan lagi ''penilik'' tapi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Alim yang menjabat Badan Pemeriksa Keuangan di yayasan.

Alim adalah orang Tuban yang sukses sebagai pengusaha konstruksi. Ia seorang kontraktor. Proyeknya banyak di Jawa Tengah.

Tjong Ping ternyata setuju dengan gagasan saya itu. Alim jadi ketua BPK kelenteng. Bahkan Tjong Ping juga setuju kalau ia cukup menjabat satu periode saja: tiga tahun.

"Toh mungkin dua tahun lagi saya meninggal dunia," katanya. "Jantung saya bermasalah. Sudah operasi bypass," tambahnya. Usianya kini 71 tahun.

Tentu saya juga usul agar untuk sementara Soedomo, Alim Markus, dan Wei Fan jadi dewan pembina di yayasan. Mereka adalah tokoh-tokoh utama Tionghoa Jatim. Tjong Ping pun sependapat.

Dalam hal keuangan rasanya Tjong Ping bisa dipercaya. Apalagi Alim yang jadi ketua BPK-nya.

Tjong Ping sudah teruji waktu jadi anggota DPRD Provinsi Jatim. Tiga periode --bukan dua periode seperti yang saya tulis di Disway kemarin.

Tidak ada berita buruk selama ia di DPRD. Padahal teman-temannya sesama anggota DPRD banyak yang masuk penjara karena korupsi.

Ketika Soedomo, ketua pengurus sementara, minta agar beberapa tanah yang masih atas nama Tjong Ping segera dibalik nama menjadi atas nama kelenteng, ia pun langsung tanda tangan. Tidak sedikit pun ada gejala ia ingin mempertahankannya.

"Coba saja saya terpilih kembali jadi anggota DPRD, saya tidak ingin jadi ketua kelenteng," katanya.

"Kenapa tidak terpilih lagi?"

"Saya kalah uang. Semua main uang," katanya.

"Kenapa tidak ikut main uang?"

"Saya tidak punya uang. Mobil saya saja hanya Innova tahun 2009," katanya.

Tjong Ping merasa politik telah menyakitkan hidupnya. Ia pun berhenti dari partai PDI-Perjuangan. Besarnya cintanya kepada partai tidak sebanding dengan besarnya cinta partai kepadanya. Itu menurutnya.

Sebelum masuk politik, Tjong Ping seorang pengusaha sukses. Ia berhasil di bisnis hasil bumi. Armada truknya 50 buah. Ia masuk politik karena ''jatuh cinta'' kepada Megawati Soekarnoputri.  Tidak ada orang yang seberani Mega melawan Orde Baru, Soeharto, dan Golkar. Itu anggapannya.

Di era 1998-an, Tjong Ping membuat patung banteng terbesar di Indonesia. Bisa diarak ke mana-mana. Ia kerahkan tujuh orang untuk membuat kerangka banteng. Mereka kerja siang-malam. Seminggu penuh.

Kerangka banteng itu terbuat dari bambu. Tingginya sembilan meter. Kulitnya terbuat dari kertas bekas kantong semen. Kertas itu direndam di cairan semen. Lalu dibalutkan ke kerangka bambu. Setelah kering dicat warna hitam.

Sejak menjadi anggota DPRD Jatim, usahanya tidak terurus. Lalu mati. Kini ia tidak punya kesibukan politik. Maka ia ingin mengurus kelenteng.

"Apa yang pertama akan Anda lakukan di kelenteng?"

"Saya akan lakukan upacara khusus untuk bermohon agar dewa kami kembali ke kelenteng Tuban," katanya.

"Bagaimana kalau tidak mau kembali?"

"Pasti mau. Kami memohonnya dengan sungguh-sungguh," katanya.

Kelenteng Tuban menghadap ke laut Jawa. Di depan kelenteng melintas jalan pantura –peninggalan Gubernur Jenderal Daendels. Itulah jalan jurusan Semarang-Surabaya yang menempel ke laut Jawa.

"Apa yang membuat kelenteng Tuban begitu dipercaya banyak orang?"

"Banyak orang kaya merasa berhasil setelah sembahyang di Tuban," ujarnya.

Rasanya, dari tempat keluyurannya, dewa Kelenteng Tuban kini sedang mengamati orang-orang di sana. Kalau dilihatnya pertengkaran masih akan lama bisa-bisa sang dewa memilih ''kabur aja dulu". (DAHLAN ISKAN)

Sumber: