Jerat Utang Desa!

Najamuddin Arfah. --
Penulis : Najamuddin Arfah, SE., M.Si (Analis Kebijakan Ekonomi Publik Polinet/Alumni S2 Ekonomi Pembangunan Unhas)
DANA DESA, sebuah kebijakan pemerintah sebagai bentuk keberpihakan kepada rakyat di daerah yang digulirkan sejak tahun 2015, awalnya hadir sebagai angin segar bagi pembangunan di pelosok negeri.
Pemberian Dana Desa menjadi kontribusi nyata pemerintah pusat dan komitmen desentralisasi fiskal, sebuah upaya visioner untuk mengembalikan otonomi dan kekuatan pembangunan ke tangan masyarakat akar rumput.
Dana ini diharapkan menjadi modal vital bagi desa untuk membangun infrastruktur paling dasar, memberdayakan ekonomi lokal, dan memenuhi kebutuhan dasar warganya, sehingga mampu mengurangi ketimpangan yang selama ini menganga antara pusat dan daerah, antara kota dan desa.
Semangat awal Dana Desa adalah untuk mendorong kemandirian dan inovasi di tingkat lokal, mewujudkan cita-cita pembangunan yang berpusat pada manusia. Dengan anggaran yang langsung mengalir ke rekening desa, masyarakat diharapkan dapat merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka.
Ini adalah langkah maju yang signifikan dalam upaya menjadikan manusia tidak hanya menjadi objek pembangunan, tapi juga subjek pembangunan. Ini sejalan dengan gagasan Amartya Sen tentang perluasan kapabilitas, di mana masyarakat memiliki kebebasan substantif untuk menentukan jalan hidup yang mereka nilai.
Namun kini kebijakan tersebut dihadapkan pada sebuah kebijakan baru yang berpotensi menyeret desa ke dalam jurang risiko yang dalam - penggunaan Dana Desa sebagai jaminan pinjaman untuk Koperasi Desa Merah Putih (KDMP).
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 49 Tahun 2025 yang baru-baru ini diterbitkan mengubah lanskap ini secara fundamental. Aturan tersebut menyatakan 30% dari Dana Desa dapat dijadikan jaminan untuk pinjaman KDMP dari bank pemerintah, dengan plafon hingga Rp 3 miliar dan bunga 6% per tahun.
Poin paling krusial dan mengkhawatirkan adalah klausul dana talangan, jika KDMP gagal bayar, Dana Desa (atau Dana Alokasi Umum/Dana Bagi Hasil untuk Koperasi Kelurahan Merah Putih/KKMP) dapat digunakan untuk menalangi utang tersebut.
Kebijakan ini, meskipun mungkin digagas dengan niat baik untuk memacu ekonomi desa melalui koperasi, justru menempatkan desa dalam ancaman. Dana yang seharusnya menjadi modal pembangunan desa, kini berpotensi menjadi liabilitas yang mengancam stabilitas fiskal desa itu sendiri.
Risiko Moral Hazar
Penggunaan Dana Desa sebagai jaminan pinjaman tentu juga berpeluang menciptakan risiko moral hazard yang serius. Dengan adanya back-up dari pemerintah melalui skema dana talangan, koperasi, dan pihak-pihak yang mengelolanya, akan cenderung menjadi kurang berhati-hati dalam mengelola pinjaman.
Asumsi bahwa pemerintah akan selalu menanggung risiko kegagalan dapat mendorong pengambilan keputusan yang ceroboh, penyaluran pada program-program yang tak layak, atau bahkan praktik-praktik yang tidak transparan. Ini adalah jebakan yang bisa menyeret koperasi dan desa ke dalam lingkaran utang yang tidak sehat.
Sumber: