Memaknai Kemerdekaan Warga Kota Makassar

Memaknai Kemerdekaan Warga Kota Makassar

Arief Wicaksono --

Oleh: Arief Wicaksono, Akademisi Universitas Bosowa, Pemerhati Ruang

 

DI TENGAH hiruk-pikuk kehidupan modern, konsep kebebasan sering kali menjadi pusat perdebatan filosofis dan praktis. Meskipun sering diterjemahkan sebagai "kebebasan" dalam bahasa Indonesia, istilah _liberty_ dan _freedom_ memiliki nuansa yang berbeda secara mendalam. Seperti yang diuraikan oleh seorang tawanan Nazi di sebuah camp konsentrasi, Viktor Frankl dalam karyanya _Man’s Search for Meaning_ (1946), freedom adalah kebebasan yang lahir dari dalam diri manusia, sebuah otonomi pikiran dan tindakan yang tak bisa direnggut, bahkan di tengah penindasan. 

Ia berakar dari bahasa Inggris kuno, yang menekankan kekuatan untuk menentukan nasib sendiri, bebas dari perbudakan, dan sejalan dengan akar linguistik di bahasa Frisia, Belanda, serta Jerman. Sebaliknya, liberty adalah kebebasan yang dibangun dari luar, sebuah kondisi sosial dan politik yang membebaskan individu dari penindasan otoritas, sebagaimana diturunkan dari bahasa Latin _libertatem_, kebebasan sipil yang memungkinkan munculnya pandangan politik yang ekspresif tanpa ancaman.

Filsuf seperti John Locke menegaskan bahwa liberty adalah prasyarat manusia untuk dapat hidup bebas dari kekerasan dan intimidasi (lihat _Second Treatise on Government_, 1689), sementara itu Butler Shaffer membedakannya dengan lebih tegas, freedom adalah integritas internal, kondisi filosofis dan psikologis yang selaras dengan stoikisme, di mana pikiran tetap bebas meski tubuh terpenjara. Liberty, di sisi lain, adalah konstruksi sosial yang memungkinkan manusia menikmati hak-hak dasar seperti kepemilikan, kebebasan berbicara, berserikat, dan memilih secara politik (baca _Calculated Chaos: Institutional Threats To Peace And Human_, 2004). Sedangkan Sawedi menekankan bahwa penghapusan liberty oleh negara (pemerintah) dengan alasan ketertiban umum, memang dapat membatasi kebebasan sipil, tetapi tidak otomatis memadamkan freedom yang bersumber dari pikiran dan hati manusia (Sawedi Muhammad, 2021).

Dalam konteks ini, pemerintahan daerah sebagai entitas kuasa yang terdekat dengan warga, memainkan peran krusial dalam mewujudkan kedua bentuk kebebasan tersebut. Oleh karena itu, mari kita eksplorasi bagaimana program-program Pemerintah Kota (Pemkot) Makasssar dapat membebaskan warga secara substansial, tidak hanya secara formal, tapi juga dalam arti merdeka yang mendalam, dengan mengintegrasikan liberty sebagai fondasi sosial dan freedom sebagai pemberdayaan internal.

Liberty sebagai Fondasi Sosial Program Pemkot Makassar

Pemerintahan daerah, sebagai bentuk desentralisasi kekuasaan, idealnya menciptakan ruang liberty yang membebaskan warga dari penindasan struktural. Di Indonesia misalnya, Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU No. 23 Tahun 2014, termasuk perubahan kedua yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 2015) memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola urusan lokal, termasuk hak-hak sipil yang mendukung kebebasan politik dan ekonomi. 

Program-program seperti Gratis Iuran Sampah, Gratis Seragam Sekolah, Gratis Pemasangan Instalasi Air Bersih, yang telah diluncurkan, adalah sebuah contoh nyata. Program ini tidak hanya membantu, namun juga membebaskan kelompok masyarakat rentan secara langsung terhadap kebutuhan terhadap tata kelola lingkungan, pendidikan, dan tata kelola air bersih yang lebih baik dan lebih adil. Program ini seringkali dicap sebagai program setengah hati, karena tidak diberlakukan kepada seluruh warga kota Makassar. Namun pertanyaannya adalah, aspek keadilan mana yang kemudian dapat diambil dan diterapkan jika semua kelompok masyarakat ingin merasakan program-program tersebut?

Program Mulia Berbagi Jaminan Sosial dan Mulia Super Apps adalah contoh lain diprioritaskannya kebutuhan masyarakat akan intervensi Pemkot terhadap berdinamikanya data jaminan sosial yang senantiasa berubah-ubah, serta jaminan Pemkot terhadap berjalannya pelayanan publik yang lebih disederhanakan dan  terintegrasi dalam sebuah aplikasi. Selama ini data jaminan sosial tidak pernah _reliable_ karena penerima manfaatnya tidak pernah _by name by address_. Demikian pula dengan pelayanan publik yang selama ini dirasakan masih jauh, rumit, dan mahal oleh masyarakat, lebih didekatkan dan relatif dapat dijangkau oleh warga.

Begitu pula dengan program Makassar Creative Hub dan juga rencana pembangunan Stadion bertaraf Internasional. Kedua program ini sebenarnya bertujuan memberikan kebebasan warga kota, terutama generasi muda untuk mengembangkan kreativitas yang otentik, original, bermanfaat, dan tidak hanya sekedar mengikuti tren yang sedang terjadi diluar. Pembangunan Stadion yang bukan hanya sekedar menjadi markas atau basecamp PSM Makassar, namun juga memiliki fasilitas olah raga yang memadai sekaligus inklusif bagi seluruh warga kota tanpa kecuali. Ketujuh program Pemkot ini dari awal telah disusun, dirumuskan, dan dievaluasi dengan melibatkan partisipasi banyak pihak, warga masyarakat, sehingga membebaskan kita semua dari ketergantungan pada otoritas pusat yang sering kali bersifat _top-down_.

Dalam arti liberty, program-program semacam ini memungkinkan warga untuk bebas dari "kekangan" birokrasi yang terlalu berlebihan. Warga diharapkan tidak lagi terikat pada intervensi pemerintah pusat yang lambat, melainkan dapat menentukan prioritas sendiri tanpa ancaman sanksi irasional. Hal ini sejalan dengan pandangan Locke, di mana liberty melindungi individu dari perbuatan yang melukai, seperti korupsi atau intimidasi lokal. Di tingkat global, kota seperti Barcelona di Spanyol menerapkan _Barcelona en Comú_, sebuah platform partisipatif yang memungkinkan warga ikut serta dalam kebijakan kota, mempromosikan kebebasan berbicara dan berserikat tanpa dominasi elit politik. Hasilnya? Warga merasa bebas menikmati hak-hak sipil, dari akses perumahan hingga kebijakan lingkungan, menciptakan masyarakat yang lebih inklusif. Nilai liberty pada pemerintahan daerah, idealnya bukan sekadar kebijakan, ia harus diwujudkan melalui program yang konkret, tepat sasaran, dan berkelanjutan. 

Freedom sebagai Pemberdayaan Internal Program Pemkot Makassar

Sementara liberty membangun kerangka eksternal, freedom adalah kebebasan yang tumbuh dari dalam, sebuah otonomi yang membuat individu bertanggung jawab atas nasibnya sendiri, seperti yang digambarkan Frankl sebagai kebebasan memilih jalan hidup meski dalam keterbatasan. Pemkot Makassar dapat memupuk ini melalui pendekatan yang lebih inklusif.  Warga difasilitasi untuk mengelola emosi dan membuat keputusan otonom melalui reformulasi, penataan ulang, penguatan, dan pemberdayaan RT/RW sebagai sebuah organisasi akar rumput yang sangat berperan. Sehingga meskipun menghadapi tantangan perkotaan yang khas, mereka tetap bisa bebas dan adil sejak dalam pikiran.

Sumber: