Angka Stunting di Maros Turun 12 Persen

--
Berdasarkan data per Juli 2025, prevalensi stunting di daerah ini turun menjadi 22,4 persen atau 3.700 kasus dari total 29.201 balita.
Padahal, pada 2023, angka stunting Maros sempat berada di posisi 34,7 persen atau 3.876 kasus dari sekitar 30 ribu anak.
Bupati Maros, AS Chaidir Syam, menyebut capaian tersebut sebagai hasil kerja kolektif seluruh pihak, mulai dari pemerintah daerah hingga masyarakat.
“Ini penurunan tertinggi di Sulsel, sekitar 12,3 persen. Kita sudah di bawah rata-rata provinsi 23,3 persen, tapi target nasional 19,8 persen belum tercapai. Percepatan akan terus kita lakukan,” katanya saat konferensi pers di Korpri Lounge, Senin (11/8/2025).
Tahun ini, kata dia, Pemkab Maros mengalokasikan anggaran Rp60 miliar atau 4 persen APBD untuk program percepatan penurunan stunting.
Dana tersebut tersebar di sepuluh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), dengan porsi terbesar pada Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum (PU), dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A).
“Jadi anggaran itu termasuk program UHC di Dinas Kesehatan. Juga pemberian makanan tambahan, standarisasi alat ukur antropometri. Di dinas PU fokus pada perbaikan sanitasi dan penyediaan sarana air minum,” terangnya.
Selain itu, DP3A melaksanakan pelayanan KB, distribusi alat kontrasepsi, pelatihan kader pendamping keluarga, serta program Dapur Sehat Atasi Stunting.
“Penanganan kita lakukan dari hulu hingga hilir, mulai dari edukasi gizi pranikah hingga intervensi langsung ke anak,” paparnya.
Sekretaris Daerah Maros, Andi Davied Syamsuddin, menjelaskan penurunan angka stunting tak lepas dari perubahan strategi layanan. Jika sebelumnya pelayanan terpusat di tingkat kabupaten, kini intervensi dilakukan langsung di kecamatan dan desa.
“Kita mendata, memberi intervensi gizi, membantu administrasi kependudukan, mempercepat rujukan anak yang punya penyakit penyerta. Semua lebih dekat ke masyarakat,” terangnya.
Pemkab juga memanfaatkan sistem Electronic Pelaporan Pendataan Gizi Masyarakat (EPPGM) untuk memastikan data akurat.
Berdasarkan sistem ini, kasus stunting tertinggi berada di Kecamatan Tanralili (530 kasus) dan Turikale (529 kasus), diikuti Bontoa (274 kasus), Marusu (241 kasus), Maros Baru (164 kasus), dan terendah di Simbang–Mallawa (55 kasus).
“Tahun lalu Bontoa dan Mandai yang tertinggi, sekarang sudah turun. Fokus kita bergeser ke Tanralili dan Turikale,” tambah Davied.
Meski angka stunting turun, Wakil Bupati Maros, Muetazim Mansyur selaku ketua Tim penanganan Stunting Kabupaten, menilai tantangan terbesar masih pada kesadaran masyarakat.
“Banyak keluarga tidak menerapkan pola hidup sehat, sanitasi buruk, jarang memeriksakan tumbuh kembang anak ke posyandu. ASI eksklusif enam bulan pun sering tidak diberikan,” ujarnya.
Data Pemkab mencatat, 74 persen kasus stunting di Maros dipicu kebiasaan merokok di rumah. “Ibu hamil terpapar asap rokok, anak lahir, bapaknya masih merokok. Dampaknya nyata,” kata Davied.
Kurangnya asupan gizi selama kehamilan, konsumsi makanan instan yang menggantikan pangan lokal, serta sanitasi buruk memperparah situasi.
Selain intervensi gizi, pencegahan pernikahan dini juga menjadi fokus. Plt Kepala DP3A, Andi Riswan Akbar, menyebut pihaknya rutin memberikan konseling kepada calon pengantin di bawah usia 19 tahun.
“Sepanjang 2024, kami tangani 11 kasus, tujuh di antaranya batal menikah setelah konseling. Hingga Juli 2025, ada sembilan kasus baru,” jelasnya.
Riswan menegaskan, pernikahan dini meningkatkan risiko kelahiran anak stunting karena kondisi fisik ibu belum siap.
Kepala Dinas Kesehatan Maros, Muhammad Yunus, menambahkan pencegahan stunting dilakukan sejak remaja melalui pemberian tablet tambah darah, edukasi gizi, dan penimbangan rutin balita di posyandu.
“Kalau semua intervensi berjalan konsisten, kita optimistis target nasional 19,8 persen bisa tercapai pada 2026,” katanya.
Sumber: