Program KPU Mengajar: Investasi Masa Depan Demokrasi

Komisioner KPU Gowa, Dr Suardi Mansing--
Oleh : Dr. Suardi Mansing, S.Pd.I., M.Pd.I Komisioner KPU Gowa (Ketua Divisi Sosdiklih, Parmas, & SDM)
Demokrasi yang berkualitas tidak dibangun dalam semalam, melainkan melalui proses pendidikan politik yang berkelanjutan dan sistematis. Dalam konteks Indonesia, fase pasca pemilu (post-election stage) merupakan momentum strategis untuk melakukan konsolidasi dan evaluasi sistem demokrasi.
Di sinilah program KPU Mengajar yang menyasar siswa SMA memiliki peran krusial sebagai investasi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas Pemilu 2029 mendatang. Program ini bukan sekadar transfer pengetahuan tentang tata cara pemilu, tetapi merupakan upaya sistematis membentuk generasi pemilih yang cerdas, kritis, dan bertanggung jawab.
Periode pasca pemilu seperti masa sekarang ini merupakan waktu yang sangat tepat untuk melakukan refleksi dan edukasi pendidikan politik lanjutan bagi masyarakat, lebih khusus lagi untuk calon generasi baru pemilih pemula/muda pada helatan politik di masa mendatang.
Post-election stage ini tentu sangat jauh berbeda dengan saat masa tahapan kampanye sedang berlansung yang hampir semua ruang sangat sarat dengan kepentingan politik praktis karena masyarakat sudah terpolarisasi sejak awal, fase post-election saat ini lebih memberikan ruang yang netral untuk mendiskusikan demokrasi secara objektif.
Siswa SMA, yang sebagian besar akan menjadi pemilih pemula di Pemilu 2029, berada pada usia emas untuk membentuk kesadaran politik yang sehat. Peluang itu menjadi dasar lahirnya "Program KPU Mengajar", yang hadir untuk mengisi kekosongan pendidikan pemilu yang selama ini kurang mendapat perhatian memadai dalam kurikulum formal.
Meski Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) mengajarkan dasar-dasar demokrasi, pemahaman teknis dan praktis tentang sistem pemilu, hak dan kewajiban pemilih, serta dampak partisipasi politik terhadap kehidupan berbangsa masih perlu pendalaman. KPU, sebagai lembaga penyelenggara pemilu, memiliki legitimasi dan kompetensi untuk memberikan edukasi yang akurat dan komprehensif.
Pemilihan siswa SMA sebagai target program ini didasari pertimbangan strategis yang matang. Pertama, secara demografis, sebagian besar siswa SMA saat ini berusia 15-18 tahun, yang berarti mereka akan berusia 19-22 tahun pada Pemilu 2029. Ini menjadikan mereka sebagai pemilih pemula atau pemilih muda yang jumlahnya signifikan dan berpotensi mempengaruhi hasil pemilu.
Kedua, dari aspek psikologis dan kognitif, siswa SMA berada pada tahap perkembangan di mana mereka mulai berpikir abstrak, kritis, dan mampu memahami isu-isu kompleks termasuk politik dan demokrasi. Mereka sudah memiliki kemampuan analisis yang cukup untuk memahami sistem pemilu, membedakan informasi valid dari hoaks, dan membuat keputusan politik yang rasional.
Ketiga, siswa SMA masih berada dalam lingkungan pendidikan formal yang terstruktur, sehingga lebih mudah dijangkau secara sistematis. Berbeda dengan kelompok usia lain yang sudah tersebar di berbagai aktivitas, siswa SMA dapat dikumpulkan dalam forum-forum pendidikan yang terorganisir.
Tiga dasar tersebut pula yang membuat Program KPU Mengajar dirancang dengan pendekatan yang interaktif dan relevan dengan kehidupan siswa. Materi yang disampaikan meliputi sejarah dan perkembangan sistem pemilu Indonesia, tahapan penyelenggaraan pemilu, hak dan kewajiban pemilih, cara mencegah politik uang dan kecurangan pemilu, literasi media dan informasi untuk menangkal hoaks politik, serta pentingnya partisipasi politik bagi masa depan bangsa.
Olehnya karena itu, pendekatan pembelajaran tidak bersifat top-down dan doktriner, melainkan dialogis dan partisipatif. Simulasi pemilu seperti dengan melalui pendampingan pemilihan ketua osis, diskusi kasus, serta debat, dapat membuat siswa tidak hanya memahami teori tetapi juga mengalami praktik demokrasi secara langsung melalui ruang miniatur demokrasi secara riil tersebut. Penggunaan dan interpretasi terhadap teknologi dan media sosial pendukung tahapan pemilu dalam pembelajaran juga penting menjadi bagian materi diskursus karena mengingat generasi Z dan generasi alfa sangat akrab dengan platform digital.
Investasi pendidikan demokrasi jangka panjang melalui program KPU Mengajar diyakini akan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi peningkatan kualitas pada Pemilu 2029 yang akan datang. Keyakinan itu berdasarkan hipotesis yang kuat seperti: Pertama, akan terbentuk pemilih yang lebih rasional dan tidak mudah termobilisasi oleh politik identitas, money politics, atau kampanye hitam, karena pemilih yang teredukasi akan membuat keputusan berdasarkan program, rekam jejak, dan kompetensi calon, bukan sekadar fanatisme buta seperti yang disaksikan dengan kasat mata selama ini pada setiap helatan pesta demokrasi, baik nasional maupun tingkat regional dan lokal.
Kedua, partisipasi pemilih muda diharapkan meningkat secara kuantitas dan kualitas. Selama ini, golput di kalangan pemilih pemula cukup dominan karena ketidakpahaman tentang pentingnya hak pilih, sehingga dengan proses edukasi yang baik, mereka akan menyadari bahwa suara mereka penting dan dapat membawa perubahan bagi kehidupannya. Ketiga, program ini akan menciptakan kultur politik yang lebih sehat di masyarakat. Siswa yang teredukasi akan berorientasi sebagai influencer demokrasi dan pada akhirnya menjadikan dirinya sebagai agen perubahan di lingkungan mereka dengan menyebarkan pengetahuan dan sikap demokratis kepada keluarga dan komunitas. Efek multiplier ini dianggap dapat mengubah landscape politik Indonesia secara bertahap.
Sumber: