Imaji Perusuh
Oleh: Dahlan Iskan <strong>SALAH</strong> satu yang saya sesali bertemu dengan para "perusuh" Disway pekan lalu adalah: saya menjadi tahu nama asli mereka. Bahkan saya menjadi tahu lebih dalam lagi: ''apa-siapa'' 21 orang yang berkemah di Agrinex, Cikeusik, Pandeglang, Banten Selatan itu. Bahayanya: saya menjadi punya keterikatan emosional dengan mereka. Satu orang per satu orang. Terbayang terus wajah mereka, mimik mereka, gaya bicara mereka, kejenakaan mereka. Pun persoalan yang mereka hadapi. Sebenarnya saya sudah mencoba menyembunyikan identitas mereka. Di tulisan yang lalu saya tidak menyebutkan nama mereka. Biarlah semua pembaca mengimajinasikan sosok perusuh itu sesuai dengan imaji yang diinginkan masing-masing. Bisa lebih asyik. Lebih liar. Sebenarnya saya menginginkan hubungan imajinasi antar pembaca Disway itu seperti remaja yang lagi berpacaran lewat online. Kata-katanya lebih kuat dari gambaran wajah sebenarnya. Wajah bisa dibentuk oleh kata-kata. Bukan oleh penampakan sebenarnya. Atau biarlah penampakan itu diwakili oleh foto palsu. Atau nama palsu. Tapi yang palsu itu bisa lebih indah di imajinasi. Misalnya perusuh yang memunculkan penampakan dengan nama Viona itu. Saya menyesal sekali hahaha mengapa Viona terpilih ke Agrinex. Nama Viona itu, dikombinasikan dengan gaya komentarnya, telah menimbulkan ribuan imaji yang liar. Tapi begitu muncul di Agrinex ternyata Viona itu, Anda sudah tahu, bapaknyi. Maka seribu imajinasi berubah menjadi satu sosok. Maka saya bersyukur Prof Pry tidak jadi muncul di Agrinex. Dengan demikian saya masih terus bisa punya ribuan imaji tentang sosok Pry itu. Biarlah Leong tetap Putu. Biarlah mBediun tetap Aryo. Sutisna tetap Otong. Aena tetap Yea. Dan yang lainnya juga. Biarlah mereka tetap jadi Joker Disway. Menimbulkan teka-teki tapi melahirkan imajinasi. Pasca Agrinex ini, setiap kali membaca komentar Viona, saya tidak lagi punya imajinasi yang kaya. Yang saya ingat dari Viona justru persoalan yang ia hadapi. Yang begitu rumit. Yang saya juga sulit membantunya. Saya pun terus berpikir kapan bisa ikut membantu memecahkan persoalan yang dihadapi keluarganya. Saya terus membongkar catatan lama: adakah teman saya di Tiongkok yang bisa ikut menyelesaikannya. Tidak mudah: buyutnya punya rumah besar di Xiamen. Sang Buyut sudah lama meninggal di Xiamen. Kakeknya pun (anak sang buyut) sudah lama meninggal. Ayahnya yang masih hidup: di salah satu kota di Indonesia. Saudara ayahnya masih tiga yang hidup: semua tinggal di Indonesia. Saudara ayahnya yang lain, sudah meninggal. Salah satunya meninggal di Hong Kong. Yang di Hong Kong itulah yang memegang sertifikat rumah di Xiamen itu. Sebelum meninggal ia menyerahkan sertifikat itu ke putrinya. Sang putri juga tinggal di Hong Kong. Sendirian. Sudah tua. Sekitar 70 tahun. Masalah timbul dua tahun lalu: pemerintah Tiongkok ingin menggunakan rumah itu untuk museum. Yakni museum yang terkait dengan hubungan Tiongkok dan Indonesia. Kota Xiamen bukan ibu kota provinsi Fujian, tapi kota terbesar di provinsi itu. Juga kota pelabuhan yang indah. Modern. Dari pelabuhan Xiamen ini, duluuuuu, banyak penduduk Fujian merantau ke Asia Tenggara. Termasuk ke Indonesia. Pemerintah Tiongkok ingin membayar ganti rugi rumah tersebut. Senilai sekitar Rp 100 miliar. Tentu pemerintah Tiongkok menyerahkan uang itu ke pemegang sertifikat yang tinggal di Hong Kong. Masalahnya, bukan hanya yang di Hong Kong itu ahli waris Sang Buyut. Ahli waris lain kirim surat ke pemerintah Tiongkok. Agar pembayaran dilakukan ke semua ahli waris. Pemerintah Tiongkok ternyata merespons surat ahli waris itu. Pemerintah memberi waktu tiga tahun. Agar semua ahli waris bersepakat. Kalau dalam tiga tahun tidak ada kesepakatan, uang akan tetap dibayarkan ke pemegang sertifikat. Batas tiga tahun itu sudah terlewat dua tahun. AyahV iona tinggal punya waktu satu tahun. Maka sampai satu tahun ke depan, setiap kali membaca komentar Viona, persoalan itulah yang akan terus hidup di benak saya. Imaji yang luas menyempit menjadi satu persoalan warisan. Tentu saya tidak mau menanggung itu sendirian. Mulai hari ini Anda pun harus ikut memikirkannya. *** Belajar Menyikapi Kehilangan Thamrin Dahlan Ini dia kisah haru biru Kaum Perusuh di Agrowisata Agrinex Pandeglang Banten. Selama 2 hari 1 malam. Menutup akhir tahun 2022. Di perkebunan buah Desa Cikeusik milik Ibu Rifda Ammarina. Haru biru itu menyisakan kenangan terbaik sepanjang tahun. 20 Perusuh Disway pun mendapat hadiah terindah nan tiada disangka duga. Duka selama 2022 terbalas sudah. Menjelma jadi suka ria. Itulah pengalaman jasmani rohani bersebab berbagi duka sejujurnya mengurangi beban derita. Status sahabat dunia maya mengubah menjadi sahabat dunia nyata. Kebersamaan sejatinya tertaut karib ketika enerji hati tersambung. Kerendahan hati seorang mantan menteri BUMN mencairkan suasana. Hadirin terharu mendengarkan kisah hidup Abah. Beliau seorang survival andal. Di sana ada pelajaran penting tentang kehidupan. Abah berkisah bagaimana sikap Ayahanda ketika melepas putri sulung (nan patah hati) merantau ke Kalimantan. Kehilangan nan tidak ditangiskan. Belajar ikhlas menerima keadaan sesulit apa pun. Kehilangan harta, bahkan nanti nyawa, wajib hukumnya disikapi ikhlas. Tahun 2022 Abah merasakan duka sangat bersangat. Hanya 21 perusuh yang tahu berapa besarnya kehilangan harta benda. Kami tertegun. Wahai dikau seorang nan sangat terkenal. Betapa tegar kuatnya dirimu menahan derita. Seandainya kehilangan seperti itu kami alami (tanpa dibekali makna sejati kehilangan) entah apa yang akan terjadi. Sarasehan Disway yang tadinya sendu berubah menjadi ceria. Satu per satu perusuh diabsen. Pertanyaan sama ”Anda SMA di mana”. Qadarullah walaupun diundi, ternyata distribusi perusuh nyaris sempurna. Mewakili seluruh profesi, ras, agama, dan antar golongan. Berbaur berbagi pengalaman dan jati diri membuat kaum perusuh semakin menyadari keberadaan siapa dirinya. Kita bukan apa apa dibanding perjuangan berdarah darah Abah. Jadi teringat lagu lawas Farel Prayoga. Ojo dibanding–bandingke, Yo pasti kalah. *** Pak Mario Setyo perusuh pertama tiba di titik kumpul Swiss-Belhotel, Serpong. Saya orang kedua. Dari Kramatjati Jakarta Timur, datang pukul 10. 45. Pertanyaan pertama ”nama Anda di kolom komentar Disway siapa?” Komentator dari Semarang tergagap: ”Saya pakai nama putri, Viona”. Nah lho. Melihat penampilan Pak Mario dan tutur kata halus khas wong Jawa Tengah saya pikir tak pantas beliau dikategorikan perusuh. Pasti sanak saudaranya tidak percaya, bahkan warga se RT/RW pun pasti protes. Namun demikianlah nasib para komentator, digelari Abah sang perusuh. Lambat laun menjelang Salat Jumat, perusuh memenuhi lobi hotel. Apalagi kalau bukan salam salaman dan saling berkenalan. Ternyata hanya Pak M Arifin, Pekalongan dan Thamrin Dahlan yang nama di Disway dan di KTP sama. Lain perusuh pakai nama samaran alias palsu. Motif pakai nama beda? Beragam jawaban. Dari takut sama istri, biar nyaman, rahasia rahasiaan sampai motif menyamar agar keteledoran berkomentar tidak disentil admin atau pembaca Disway. Salut denagn dr Sandra dan suami, Mr Hady, namanya betulan. Pembicaraan perusuh terkait kamp lumayan seru. Apa apaan ini Abah memasukkan kita ke dalam kamp. Apakah ini sejenis hukuman karena sering usil. Anda tahu sendiri dari pelajaran sejarah bahwasanya kamp itu seram mencekam. Yuk Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia: kamp dan tenda (kemah dan sebagainya) yang didirikan di alam terbuka sebagai tempat perhentian serdadu, Pramuka, atau musafir; barak; 2 pengasingan: pada zaman penjajahan, tidak sedikit — untuk mengasingkan pemimpin kita yang tertawan; Nah ketika ditambah kosa kata — konsentrasi menjadi lebih seram: “tempat penahanan warga masyarakat (pada umumnya tanpa melalui proses pengadilan) yang dianggap membahayakan kedudukan pemerintah yang sedang berkuasa”. Pak Mario siap mental. Perusuh tak terpilih menakut-nakuti. Ada ular lah, ada badai lah ada …. Anda bisa nambahi sendiri. Akibatnya seorang perusuh gagal masuk kamp. Tampaknya termakan prank. Walaupun sudah di bujuk bujuk Mbak Pipit: aman, aman, dan nyaman, Bapak, jangan risau, ada saya,… Kami 21 pesuruh eh perusuh tidak ada nan risau. Niat ingin bertatap muka dengan Bapak Dahlan Iskan, mantan menteri BUMN yang fenomenal mengalahkan rasa cemas. Kapan lagi bisa bersua dan berbincang menimba ilmu sukses selama 48 jam terus menerus dari Abah. Para pemilik nama palsu semakin akrab selama perjalanan darat ke Desa Cikeusik Agrowisata Agrinex, Pandeglang, Banten. Makan siang di mobil. Mbak Dipa berbaik hati menyediakan 3 kotak kue maknyus. Air mineral lebih dari cukup. Bus bagus, sopir tambun. Mas Tomy, dirut Harian Disway, yang mengawal perusuh, berbaik hati membuat WAG Agrinex. Jadilah perjalanan, walaupun cukup jauh, namun terasa dekat bersebab ada hiburan. Berkomunikasi di dunia maya melalui WAG Perusuh. Saya pikir kenapa kok sesama perusuh di bus tidak bicara langsung saja ya. Oh ya fakta non hoax, ada penumpang tertidur pulas karena kecapaian. Itulah perusuh Pekanbaru, Palembang, Malang, Surabaya, dan Bali. Air langit, sahabat baik Abah. Tapi tidak bagi 21 perusuh. Pasalnya ketika akan senam hujan tetiba reda. Maunya perusuh hujan terus saja di Desa Cikeusik sehingga acara senam delay. Abah memimpin langsung kegiatan Sabtu pagi, 31 Desember 2022 di Agrinex. Setelah sapa sana sini. Sang instruktur mengajukan 1 kuis berhadiah. Siapa bisa jawab benar dapat kaos. "Apa yang dimaksud olahraga.?" Perusuh berebutan menjawab. Semua dapat nilai 5 - 49 persen. Tidak ada jawaban benar 100 persen. Si anak muda jago yel yel, Riki Gana dimenangkan. Olahraga versi Abah wajib memenuhi 3 syarat. 1. Gerak tubuh terus menerus, 2. Paling tidak 15 menit, 3. Nadi di atas 110 per menit. Lagu pengiring senam pertama dari Tiongkok. Setelah ditunggu tunggu akhirnya di menit ke 61, lagu Maumere terdengar. Tampak wajah perusuh kembali ceria. Anda sudah tahu ini lagu pop ada teks ke ke kiri ke kiri ke kanan ke kanan. Terus terang, saya 70 tahun dan Pak Arifin 71 tahun, terengah-engah nyaris memisahkan diri. Abah (71 tahun) gerakan senam dari awal sampai akhir tidak ada bedanya. Tetap tangkas gesit seperti Mbak Pipit dan Mbak Nicky, pemandu senam Disway. Abah sebenarnya menyiapkan 50 judul lagu. Namun untuk perusuh 19 lagu saja. Itu pun para perusuh cukup kelabakan. Terucap tak terdengar (suara hati) timbul syak wasangka apakah senam ini merupakan hukuman bersebab jahil berkomentar. Hanya Bu Jenni Wijaya, si Sagu yang bisa mengimbangi keperkasaan Abah. Sedangkan 20 perusuh Anda sudah tahu. Gerakan senam seadanya. Mengikuti iringan lagu dangdut pun tidak bersemangat joget. Terus terang hanya kejahilan berkomentar saja yang bisa mengalahkan gerakan senam si Abah. Hahaha. Senam usai hujan turun deras di kampung Cikeusik. Acara dilanjutkan breakfast setelah mengelap cucuran keringat bagi yang tadi sungguh sungguh olahraga. Ibu Rifda Ammarina, owner Agrinex sengaja menghidangkan menu khas. Waduh kecapaian tidak ketulungan. Benar benar tersiksa ini jiwa raga. Hanya karena gengsi saja tadi tidak mengundurkan diri. Abah sih tampak tenang tenang saja. Bisa jadi kebiasaan senam setiap hari membuat fisik terbentuk langsing dan selalu bugar. Di tengah hujan gerimis perusuh beranjak ke villa. Ganti busana pakai baju kaos hitam seragam bertulisan Perusuh. Sesuai jadwal acara akan dilanjutkan sarasehan. Inilah agenda yang ditunggu-tunggu. Jauh-jauh bela belain datang ke Pandeglang pasti perusuh sudah menyiapkan pantun curhat. (*)
Sumber: