Mengais Rezeki di Tengah Keras Arus Kota

Mengais Rezeki di Tengah Keras Arus Kota

<strong>DiswaySulsel, Makassar</strong> - Lampu merah di bilangan Jalan Veteran Utara, Kota Makassar tampak ramai, malam itu. Bising, semrawut, padat dengan kendaraan. Di tempat itu Putri saban hari menghabiskan waktunya, untuk mengais rezeki. Putri adalah salah satu dari sekian banyak badut pengamen, yang belakangan muncul di Kota Daeng. Putri berumur 14 tahun. Jika bersekolah, mungkin sekarang dia duduk di bangku kelas 8 (kelas 2 SMP, red). Sayangnya, dunia pendidikan sudah ia tinggalkan sejak lima tahun silam. Lantaran ayahnya meninggal dunia. Waktu itu Putri masih umur 9 tahun, dan sedang bersekolah kelas tiga SD. Putri terpaksa tak bisa lagi sekolah sejak saat itu. Jangankan sekolah, untuk makan dan bertahan hidup saja susah. Keadaan itu juga memaksanya harus bekerja. Suka atau tidak, Putri sudah harus bertahan hidup dengan hasil keringat sendiri, tak lama setelah ayahnya meninggal dunia. "Pernah ji (sekolah). Sampai kelas 3 (SD) ji, karena meninggal bapakku. Pas ki meninggal bapakku baru putus sekolah," kata Putri, sambil menenteng kepala badutnya. Putri adalah anak bungsu. Kakaknya ada lima. Kata Putri, ibunya tidak bekerja. Aktivitas sehari-harinya hanya kerja serabutan. Tapi tak menentu. Kadang ada, kadang tidak ada. Sehingga Putri tidak bisa sepenuhnya bergantung pada ibunya. Putri sebenarnya sangat ingin untuk sekolah lagi. Tapi apalah daya. Memang tidak ada daya. Sekalipun SPP-nya gratis, tetap saja Putri butuh biaya lainnya. Misalnya, biaya seragam, perlengkapan belajar, dan kebutuhan lainnya. Kecuali ada crazy rich Makassar yang mau membiayai. Semoga ada. Putri mengatakan, setiap hari ia ngamen selama 12 jam, dari jam 10 pagi sampai jam 10 malam. Dari hasil ngamennya, Putri biasanya mengumpulkan uang mulai dari Rp50 sampai Rp100 ribu. Putri sadar pekerjaannya tak luput dari resiko. Tapi balik lagi, kalau tidak kerja berarti tidak makan. Bagi gadis remaja sepertinya, hidup sebagai anak jalanan bukanlah perkara mudah. Kerap kali ia harus ‘kucing-kucingan’ dengan aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Disergap oleh petugas sudah bukan hal yang baru bagi gadis bertubuh semampai ini. Putri dan sesama badut pengamen serta anak jalanan lainnya, kerap kali ditahan Satpol PP. "Kalau dilihat sama Satpol, nda bisa tong ki lari. Diambil ki badut (kostumnya, red), nda dikasih pulang mi. Baru dikasih bermalam ki, lima hari," keluhnya. Menjadi badut pengamen adalah murni keinginan Putri. Melakukan pekerjaan itu, diakui Putri dilakukan tanpa ada dorongan siapapun. Terkadang jika petugas melakukan razia, Putri dan teman-teman badutnya terpaksa harus pura-pura jadi pemulung. "Biasa kalo jalan (razia, red) Satpol ka, bawa karung sama bawa dos," tuturnya. Respon Masyarakat Kehadiran badut pengamen tentunya menimbulkan pro kontra bagi warga Kota Makassar. Ada yang iba dan terhibur dengan aktivitasnya, namun ada pula yang merasa terganggu. "Nda masalah sih kalau menurut saya. Mencari kehidupan, uang, bisa ji. Nda menganggu rezekinya orang toh," ucap Rizal, pelaku ojek online saat ditemui di wilayah Jalan Perintis Kemerdekaan. Rizal berharap, mereka bisa mendapat kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya. Ia juga mendoakan, agar anak-anak jalanan ini bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik kedepannya. Sedikit berbeda dikatakan Dams, salah seorang pengajar di salah satu institusi Islam di Makassar. Menurut perempuan ini, fenomena anak jalanan ini adalah urusan negara. Sebab yang pertama yang harus diatasi yaitu menekan angka kemiskinan. Dams menilai fenomena anak jalanan ini terjadi lantaran tidak adanya jaminan kesejahteraan masyarakat. Sehingga anak-anak jalanan ini tidak bisa mengakses dunia pendidikan, karena minimnya kesejahteraan keluarga. “Pertanyaannya, kok bisa begitu? Tidak ada jaminan kesejahteraan dari keluarga? Berarti kan ada masalah terkait dengan akses lapangan kerja mungkin, atau kurang gajinya, kurang pemasukannya. Jadi yah memang ini kesimpulannya, anak anak jalanan ini hasil dari pengaturan yang tidak maksimal dari negara,” pungkas perempuan 30 tahun ini. Terlepas dari pro dan kontra yang ada di masyarakat, Merdeka Belajar yang digaungkan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim rasa-rasanya ‘belum sepenuhnya merdeka’. Masih banyak anak-anak di usia yang seharusnya tengah mengenyam pelajaran di sekolah, tapi dunia pendidikannya justru direnggut oleh masalah kemiskinan. Masalah ini menjadi masalah bersama, yang butuh kontribusi dari seluruh pemangku kepentingan sebagai agen perubahan (agent of change). Para pemangku kepentingan tersebut meliputi keluarga, guru, institusi pendidikan, dunia industri, dan masyarakat. Semoga motivasi Putri untuk kembali mengecap ilmu pengetahuan dapat segera terwujud. Sehingga sejalan dengan tema Hardiknas tahun ini, yaitu ‘Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar’. (sri/nisa)

Sumber: