Ulama Dilarang Cawe-cawe, Sanksi Pemecatan Menanti

Ulama Dilarang Cawe-cawe, Sanksi Pemecatan Menanti

<strong>DISWAYSULSEL, MAKASSAR</strong> - Sanksi tegas menanti para ulama yang kedapatan berpihak kepada salah satu peserta Pemilu. Tak tanggung-tanggung, sanksi bisa berujung pada pemecatan. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Makassar Syekh AG KH Baharuddin menegaskan, bahwa ulama khususnya di Kota Makassar yang ketahuan terlibat dalam politik praktis, akan mendapatkan sanksi teguran hingga pemecatan dari MUI. "Pertama akan peringati, nanti kalau agak berat pelanggarannya bisa dipecat," tegasnya. Baharuddin memberi contoh, bahwa ulama dilarang terlibat menjadi juru kampanye atau masuk menjadi tim sukses, salah satu peserta Pemilu baik calon legislatif atau kepala daerah. Ulama boleh untuk mendatangi pejabat atau pemerintah, dalam hal memberikan nasihat dan masukan. Sebab Ulama, kata Baharuddin, ialah pelayan ummat. Sehingga tidak boleh menjadi masalah dan menimbulkan masalah. "Kalau ada masalah, ulama harus berusaha menyelesaikan masalah itu tanpa menimbulkan masalah lain," imbuhnya. Dengan terlibat dalam politik praktis, sambung Baharuddin, Ulama menjadi tidak menjalankan dirinya sebagai ulama, melainkan hanya memperkeruh situasi. Senada ditekankan Bendahara Umum MUI Kota Makassar HM Yunus. "Ndak boleh cawe-cawe, ndak boleh mencampuri mengenai masalah urusan urusan pilihan rakyat," tegasnya kepada Harian Disway Sulsel usai menghadiri Diskusi Publik yang diselenggarakan MUI Makassar, di Hotel Horison Ultima, Sabtu 3 Mei 2023. Ulama, kata Yunus, harus menghadirkan kesejukan dan netralitas khususnya di tahun politik. Jika ada caleg atau calon pemimpin yang datang meminta restu, siapapun itu dan dari partai manapun, harus ia perlakukan sama. "Jangankan antara masyarakat, antara kelompok, antara bersaudara saja bermusuhan karena perbedaan pilihan. Olehnya ulama harus datang memberikan semacam pengertian, bahwa namanya perbedaan pilihan merupakan rahmat bagi kita semuanya, jadi tidak ada persoalan kalau pilihan kita berbeda," terangnya. Anggota DPRD Makassar ini menambahkan, bahwa meskipun tidak boleh memperlihatkan keberpihakan dan harus menyamaratakan perlakuan terhadap siapapun tokoh politik, Ulama tetap memiliki hak secara konstitusional untuk memilih dan dipilih. "Ulama harus netral dalam arti yang nampak. Tetapi tentu memiliki hati nurani yang tidak bisa berbohong," jelas Politisi Partai Hanura ini. Terpisah, Pengamat Politik Nurmal Idrus menilai, perosalan tersebut menjadi ranah MUI sebagai pembina Islam termasuk di Makassar. Namun karena regulasi pemilu tak melarang ulama untuk berpihak, maka tentu tidak salah jika ada ulama yang menunjukkan keberpihakannya. "Jadi, semua dikembalikan pada individu ulama itu sendiri. Apakah menaati imbauan itu atau tidak," tukasnya sembari menambahkan, ulama berpolitik bukan sebuah hal baru di Indonesia. Namun Mantan Ketua KPU Makassar ini juga memberi catatan, agar para ulama bisa membatasi diri dalam melakukan aktivitas politik. "Dengan tidak menjadikan agama secara identitas politik, maka semua sah - sah saja," tandasnya. (*)

Sumber: