Dua Caleg Muda Gerindra Tolak Proporsional Tertutup
<strong>DISWAY, MAKASSAR —</strong> Dalam upaya mendorong transparansi dan partisipasi demokratis yang lebih luas, sejumlah calon legislator (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari berbagai partai politik secara tegas menolak sistem pemilihan proporsional tertutup yang saat ini menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Termasuk diantaranya dua caleg muda asal Partai Gerindra. "Sistem proporsional tertutup adalah sistem yang tidak berkeadilan bagi perempuan. Sudah pasti target afirmasi 30 persen perempuan di DPR akan sulit tercapai. Selama ini caleg perempuan selalu hanya dianggap pelengkap syarat administrasi," kata Caleg DPR RI Dapil Sulsel 3, Aisyah Tiar Arsyad, Rabu (7/6/2023). Dosen Universitas Al-Azhar Indonesia lulusan University of Groningen, Belanda ini menjelaskan, dalam sistem pemilihan proporsional tertutup, partai politik memiliki kendali penuh terhadap daftar calon mereka. Hal ini dapat menyebabkan keterwakilan yang tidak merata dari berbagai kelompok dan pandangan dalam partai politik. Beberapa kelompok masyarakat atau pandangan politik yang tidak populer mungkin diabaikan atau kurang diwakili. "Sangat penting mempertahankan sistem proporsional terbuka yang inklusif, yang memungkinkan wakil rakyat terpilih untuk mewakili beragam pandangan dan aspirasi masyarakat. Dengan sistem pemilihan proporsional terbuka, caleg dapat dipilih berdasarkan kualitas dan rekam jejak mereka secara individual, bukan hanya sekadar identitas parpol yang mereka wakili," tegasnya. Terpisah, Caleg DPRD Sulsel Dapil Makassar A, Fadel Muhammad Tauphan Ansar juga berpendapat sama. Menurut Ketua HIPMI Kota Makassar ini, dalam sistem pemilihan proporsional tertutup, caleg akan cenderung mempertanggungjawabkan aspirasi partai politik daripada aspirasi konstituennya secara langsung. "Caleg terpilih tentu akan lebih fokus pada kepentingan parpol yang menempatkannya dalam daftar calon daripada memperhatikan kebutuhan dan aspirasi rakyat yang mereka wakili. Hal ini dapat mengurangi akuntabilitas wakil rakyat terhadap pemilih," tandasnya. Selain itu, sistem tersebut juga akan berefek pada rendahnya partisipasi publik dalam proses politik. Sistem proporsional tertutup cenderung mengabaikan preferensi pemilih secara langsung dan lebih menekankan pada kepentingan partai politik. Dalam konteks ini, Fadel percaya bahwa memperkenalkan sistem pemilihan proporsional terbuka dapat memberikan ruang yang lebih besar bagi partisipasi aktif pemilih dan menguatkan hubungan antara wakil rakyat dan konstituennya. "Pemilih tentu merasa kurang terlibat karena mereka tidak memiliki pengaruh langsung dalam menentukan calon individu yang mereka pilih. Ini dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik dan mengurangi minat mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik. Disamping itu, pemilih juga tidak dapat melihat dan mengevaluasi secara langsung kualifikasi dan rekam jejak calon individu yang mereka pilih," lanjutnya. Dalam menyuarakan penolakan terhadap sistem pemilihan proporsional tertutup, para caleg muda ini juga mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam mendiskusikan perubahan sistem pemilihan yang lebih baik. Mereka menyadari pentingnya melibatkan publik dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi masa depan negara. Dukungan terhadap penolakan sistem pemilihan proporsional tertutup ini juga mulai muncul dari berbagai pihak, termasuk kelompok masyarakat sipil, aktivis politik, dan pemilih. Mereka berharap bahwa perubahan ini dapat menjadi langkah awal menuju sistem pemilihan yang lebih demokratis dan representatif. Pengamat politik dari Universitas Pancasakti, Sakral Wijaya Saputra mengatakan sistem proporsional tertutup adalah bentuk kemunduran demokrasi di Indonesia. Sistem demikian hanya menguntungkan partai penguasa, sebagaimana Golkar senantiasa menjadi pemenang pemilu di era Soeharto. Parahnya lagi, hanya orang-orang tertentu yang dekat dengan penguasa yang akan mendapatkan jatah nomor urut 1 dan 2. "Dalam sistem pemilihan proporsional tertutup, partai politik memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan siapa yang masuk dalam daftar calon dan posisi mereka di dalamnya. Hal ini seringkali mengakibatkan keputusan yang subjektif dan berpotensi melanggengkan patronase politik serta kurangnya akuntabilitas kepada pemilih," tandas Sakral. Dia mengingatkan, kebijakan afirmasi 30 persen perempuan di parlemen tidak akan pernah tercapai bila sistem proporsional tertutup di berlakukan. Dengan sistem proporsional terbuka saja, keterwakilan perempuan di DPR belum pernah tercapai. "Apalagi dengan sistem proporsional tertutup yang seringkali tidak transparan, tidak akuntabel, dan tidak representatif. Tentu caleg perempuan akan selalu menjadi anak bawang. Ditempatkan pada nomor urut paling bawah. Kecuali jika sistem proporsional tertutup mewajibkan perempuan harus menempati nomor urut 1, baru bisa disebut adil bagi perempuan. Tapi apa mungkin pembuat undang-undang kita mau?" imbuhnya. (*)
Sumber: