Batuk Flu

Batuk Flu

<strong>Oleh: Dahlan Iskan</strong> "Bila Tiongkok batuk-batuk, Asia bisa kena flu. Tentu termasuk Indonesia". Lagi batuk-batukkah Tiongkok? Mungkin belum. Tapi ekspornya mulai terus menurun. Juni lalu menurun 12 persen. Juli kemarin menurun lagi 15 persen. Memang masih harus dilihat perkembangan bulan-bulan mendatang. Tapi antisipasi dini bisa dipikirkan. Daripada kena flu di kemudian hari. Perdagangan dunia memang kian ''menasionalistik''. Amerika terus menekan Tiongkok. India dua pekan lalu mengeluarkan aturan baru: melarang impor laptop, handphone dan sejenisnya. India harus melindungi industri dalam negeri. Dari berbagai sumber yang saya ikuti Tiongkok lagi berusaha untuk tidak sampai batuk-batuk. Caranya: memperkuat ekonomi dalam negeri. Di berbagai bidang. Industri pesawat terbang komersialnya akan digenjot. Yakni pesawat jet yang bisa mendarat di landasan pendek. Nama pesawatnya: COMAC. Tempat duduknya dua di kiri, dua di kanan. Isinya 150 sampai 160 penumpang. Mesinnya dua buah. Boeing pernah punya jet untuk landasan pendek: B 737-500. Anda pernah menaikinya. Pun saya. Garuda pernah mengoperasikannya. Lion Air yang memiliki begitu banyak Boeing 737, tidak mau membeli yang seri 500. Dianggap kurang efisien. Beda dengan 737-800, yang seri 500 ini tidak terlalu laku. Kalah efisien. Kanada pernah memproduksi ARJ Bombardier. Juga untuk landasan pendek. Garuda membelinya. Atau menyewanya: 18 buah banyaknya. Tahun lalu dua di antaranya dikembalikan. Masih akan ada lagi yang dikembalikan. Produk Bombardier ini tidak sukses. Tempat bagasi di atas penumpangnya kecil sekali. Tidak cocok untuk konsumen Indonesia. Rasanya Garuda tidak sepintar Lion: untuk jarak pendek memilih lebih banyak beli pesawat baling-baling, ATR. Belakangan Garuda ikut mengoperasikannya. COMEC kelihatannya akan mengambil pasar ATR yang laku keras itu: bisa untuk landasan pendek, tapi jet. Tempat bagasinya normal. COMEC diproduksi di Shanghai, Tiongkok paling timur. Bagian-bagiannya diproduksi di Xian di barat dan di Jiangxi di selatan. Yang lain lagi: tiga kota besar di selatan akan dihubungkan dengan kereta yang lebih cepat: maglev. Yakni Guangzhou, Shenzhen dan Hongkong. Targetnya dari Guangzhou ke Hongkong hanya akan 30 menit. Kecepatan keretanya 650 km perjam. Memang Tiongkok sudah sukses melakukan uji coba kereta berkecepatan 1000 km/jam, tapi untuk itu harus dibuat terowongan khusus. Terowongan yang udaranya bisa di-vacum. Sedang untuk kereta maglev hanya perlu membangun rel 'normal'. Dan lagi Tiongkok sudah punya pengalaman panjang mengoperasikan maglev. Sudah 20 tahun. Di Shanghai. Sejauh hampir 30 km, antara bandara Pudong dan kota bagian timur sungai. Maglev di situ sudah dioperasikan sejak 2001. Untuk menandai datangnya milenium baru. Lalu masih ada satu jalur maglev lagi. Lebih pendek. Di Changsha, ibu kota provinsi Hunan. Yakni antara bandara Changsha ke pusat kotanya. Sejauh ini tidak pernah terjadi kecelakaan. Kecepatannya: 431 km/jam. Akan dinaikkan menjadi 650 km/jam. Kuncinya: roda kereta mengambang di atas rel. Dengan sistem magnet. Persentuhan roda dan rel membuat kecepatan kereta terhambat. Rupanya kereta cepat 350 km/jam sudah dianggap lambat. Ketika negara lain baru mulai mengejarnya, Tiongkok sudah kw era 650 km/jam. Pokoknya ekonomi dalam negeri Tiongkok akan terus dipompa. Kalau itu berhasil mungkin Tiongkok tidak akan batuk-batuk. Dan kita tidak jadi terkena flu. (<strong>Dahlan Iskan</strong>)

Sumber: