Presiden, Hukum dan Etika: Panggung Sandiwara Kekuasaan
<strong>Oleh: Fahrul Dason</strong> NEGARA Indonesia merupakan negara hukum, dimana segala sendi kehidupan masyarakat serta tata kelola pejabat dan pemerintah diatur oleh hukum baik yang tertulis maupun norma moralitas yang bersumber dari nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia, baik yang telah diakui secara resmi oleh negara melalui hukum formal maupun yang belum. Meski demikian seperangkat norma tersebut sangat berlaku dan dianut di negara berbudaya ini, sebab itulah corak hukum Indonesia tidak terlepas daripada aspek etika dan moralitas. Oleh karenanya baik masyarakat maupun pejabat dan pemerintah harus selalu merujuk pada hukum, terlebih pada seorang pejabat negara, terkadang untuk menentukan kebijakan tidaklah boleh melenceng dari aturan hukum dan etika. Hal itu sebagai upaya dalam menjaga kestabilan negara. Sehingga, tidak menimbulkan sikap otokrasi dalam bernegara. Contoh kasus yang sangat hangat diperbincangkan hari ini adalah dalam pemilu, walaupun ini sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat bahwa presiden berpihak pada anaknya dengan menggunakan salah satu lembaga negara yakni Mahkamah Konstitusi dengan melabrak etik. Lalu tentunya sebagai seorang presiden yang diberikan mandat oleh masyarakat sebagai pengurus negara harus bersikap dan memperhatikan etika sesuai dengan nilai luhur dan adat ketimuran, perjalanan masa transisi kepemimpinan presiden di Indonesia yang akan kita saksikan hari ini sangat memprihatinkan bagi demokrasi, pasalnya ketidaknetralan presiden pada pemilu bisa merusak demokrasi dan memicu sumbu panas bagi masyarakat. Merujuk pada kasus pelabrakan etika yang dilakukan oleh Presiden melalui MK sejatinya mencoreng wajah demokrasi. Bila bangsa ini mendeklarasikan dirinya sebagai bangsa yang demokratis maka kasus tersebut tidak mesti terjadi. Disamping itu jika demokrasi betul-betul ditegakkan akan menakutkan bagi para kapitalis yang kadang menjadi penyokong para pemangku kepentingan, seperti halnya proses dukung-mendukung yang terjadi pada pencalonan presiden dan wakil presiden. Tampak itu menghalalkan segala cara demi kemenangan pada kontestasi politik yang akan datang, presiden, menteri-menteri dan seluruh pemangku kepentingan serta konglomerat yang memberikan dukungan hanya ordo-ordo monastik (ordo-ordo ini adalah orang-orang bodoh yang sakit akal), yang sangat sedikit mengamalkan nilai-nilai, tetapi "amat mencintai diri sendiri, dan mengagumi kebahagiaannya sendiri" tanpa memperhatikan aturan dan etika, bisa dilihat berbagai sikap presiden dan seluruh kubuh ini mencoba menetralisir isu-isu dengan menggunakan alih-alih lembaga survei untuk menaikkan elektabilitas untuk dapat kepercayaan publik, bahkan presiden sebagai homo ludens membenarkan sikapnya melalui selembaran undang-undang, secara psikis presiden mencoba menunjukkan kebenaran, orang-orang yang berusaha untuk menunjukkan kebenaran sebenarnya ada kecenderungan kebohongan dalam mempolitisasi sesuatu untuk memastikan bahwa "presiden memiliki hak untuk berkampanye", yang artinya kedepannya dengan dasar UU No. 7 Tahun 2017 pada pasal 299 bahwa presiden bisa saja berkampanye dengan terang-terangan walaupun memang dari awal sudah dilakukan dengan memasang fotonya di pelbagai flyer-flyer yang bertebaran di jalan-jalan. Pasal 299 ini bukan menjadi patokan untuk presiden telah memiliki hak sepenuhnya untuk berkampanye, sebab banyak pra-syarat yang harus dipenuhi. <strong>Hukum Dijadikan Sebagai Homo Ludens Kekuasaan</strong> Hukum adalah aturan yang dibuat secara filosofis yang harus kita dudukkan pada standar etika, secara konseptual penalaran hukum memang sangat diperlukan sebab ada standar epistemologi yang harus ditarik pada kondisi ini, bisa kita melihat pada konsep hukum bahwa problematik yang terjadi pada kita adalah ketidakpahaman terhadap hukum. Hukum dalam pandangan Friedman memiliki 3 elemen dalam penegakan hukum yang harus dibedakan diantaranya legal structure, legal subtance dan legal culture , pertama yang harus dibaca adalah bagaimana legal structure itu bekerja, legal structure atau struktur hukum adalah pembagian dari eksekutif, legislatif dan yudikatif, perlu tentunya kita melakukan distingsi pada Trias demokrasi untuk membagi tupoksinya masing-masing, eksekutif (presiden) sebagai episentrum utama dalam melaksanakan aturan perundangan-undangan yang dibuat oleh legislatif (DPR) tidak hanya berbentuk tekstual semata. Tetapi, memiliki berbagai kajian yang mendalam secara filosofis, yuridis dan sosiologi. Tentunya presiden sebagai pelaksana tidak boleh bersikap normatif terhadap undang-undang, karena untuk menjaga nilai-nilai yang terkandung didalamnya sebagai beban moral bersama. Akan tetapi, pada hari ini justru kecenderungan presiden untuk melaksanakan amanah konstitusi kurang diilhami dan hanya sebatas sampai pada tekstual. Lalu, legal substance adalah output dari struktur hukum atau sistem hukum, yang berupa peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak mengatur maupun yang diatur [Friedman, The Legal System A Social Science Perspective], komponen substansi juga tidak kalah penting, sebab dalam filsafat metafisika Aristoteles telah menekankan bahwa selain dari forma, juga yang terpenting adalah substansi dari forma tersebut. Pasal 299 yang dijadikan presiden sebagai patokan telah memiliki hak sepenuhnya untuk berkampanye, jika ditinjau dari pasal 301 "Presiden atau wakil Presiden yang telah ditetapkan secara resmi oleh KPU sebagai calon Presiden atau calon wakil presiden dalam melaksanakan Kampanye Pemilu presiden atau wakil presiden memperhatikan pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai Presiden atau Wakil Presiden." Alias Petahana, atau dengan sederhana presiden bisa saja melakukan kampanye jika dia mencalonkan lagi sebagai presiden. Namun, karena konstitusi sudah memberikan ultimatum bahwa presiden hanya bisa sampai 2 periode, sehingga diambillah anaknya untuk melanggengkan kekuasaan dinastinya. Pasal 269 ayat (1) UU Pemilu tersebut mengatur "pelaksana kampanye yang menyebutkan bahwa pengurus partai politik (parpol) atau gabungan parpol pengusung, orang-seorangan, dan organisasi penyelenggara kegiatan yang ditunjuk oleh peserta pilpres. juga menjadi ketentuan dan kepastian hukum yang harus dijalani sebagai presiden untuk melakukan kampanye, dari sini bisa dilihat bahkan secara politik presiden sangat pragmatis dan amoral jika mendukung kubuh parpol yang tidak mengusungnya pada pilpres 2019 dan tergolong presiden keluar dari jalur Parpolnya. Bahkan jika presiden sebagai kepala negara dan memenuhi prasyarat ini, juga secara etis dan kenegarawanan tidak pantas dilakukan. Sebab, ada hal yang lebih urgent untuk diurus dalam negara dan presiden seharusnya memberikan sikap nasionalis yang baik di masa akhir periode kepemimpinannya. Adapun, Legal culture bagian terpenting dalam komponen Friedman yang mana legal culture atau budaya hukum ini adalah penyikapan masyarakat terhadap nilai-nilai, opini dan perilaku hukum, budaya hukum tidak lagi berbicara tekstual seperti yang tertulis dalam undang-undang atau legal substance. Tetapi, menguak fakta kongkret pada masyarakat dengan artian sebuah abstraksi dikontekskan pada sosiologi, atau biasa disebut dalam Teori The Mirror Thesis, bahwa seharusnya presiden sebagai produk masyarakat dan struktur hukum harus mampu menjalankan hukum sesuai dengan kultur masyarakat, ketika budaya hukum itu sehat maka bisa memberikan kontribusi sehat bagi sistem hukum dan jika budaya hukum itu sakit bisa memberikan dan mendorong sistem hukum yang tidak sehat bagi negara, jika hari ini presiden memperlihatkan dan mempertontonkan perlakuan yang tidak etis dan tidak netral pada pemilu. Maka, produk masyarakat selanjutnya juga akan seperti itu, masyarakat tidak mungkin menyuap aparat jika aparatnya tidak terbiasa menerima suap, begitu juga dengan sebaliknya aparat penegak hukum tidak akan menerima suap jika menolak dengan keras kasus suap, dan masyarakat tentunya enggan untuk menyuap. Namun, kita tidak menemukan budaya hukum yang sehat yang dijalankan para legal structure. <strong>Etika Sebagai Presiden</strong> Gagal sebagai presiden, Presiden hari ini memainkan permainannya bak panggung sandiwara yang ceritanya mudah sekali berubah, sikap bifurkasi presiden seyogyanya tidak ditunjukkan pada publik, tentunya ini mampu menggiring opini masyarakat terhadap pemilu yang akan datang, masyarakat hari ini harus lebih cermat dan jeli lagi melihat isu politik yang terjadi, bahwa wajah demokrasi telah terkikis akibat animo kekuasaan presiden yang sangat mendalam. Masyarakat hari ini banyak mendapat agitasi penuh kebohongan, inkonsisten presiden tentu akan dinilai sebagai upaya pemenangan paslon tertentu dan pada momen-momen seperti inilah yang bisa merusak ekosistem demokrasi dan sistem kerukunan masyarakat, kebohongan ini tidak layak ditunjukkan, sebab berpotensi akan terulang dan pemimpin-pemimpin pelanjut akan mengadopsi pelbagai kebohongan pragmatis dan manuver-manuver politik praktis. Kongkalikong telah terjadi di istana negara, menteri-menteri dan seluruh aparatur negara dikerahkan demi kekuasaan, maka disinilah kita melihat bahwa kepemimpinan presiden Jokowi telah gagal menjaga kerukunan rakyat dan tidak mampu memberikan trust-kolektif untuk masyarakat Indonesia. Seperti yang Frans Kafka katakan “Aku merasa malu pada diriku sendiri saat aku menyadari bahwa kehidupan ini adalah sebuah pesta topeng; sedangkan aku menghadirinya dengan wajahku yang sebenarnya.” 1 dakede presiden memimpin bangsa ini yang diawal kita memberikan harapan penuh demi kemajuan bangsa Indonesia, presiden yang kita pandang dengan tampilan bermasyarakat dirusak akibat nafsu naga dalam dirinya, yang susah kenyang dan sangat mudah lapar akan kekuasaan.
Sumber: