Pertaruhan Terakhir Independensi Mahkamah Konstitusi
![Pertaruhan Terakhir Independensi Mahkamah Konstitusi](https://sulsel.disway.id/uploads/WhatsApp-Image-2024-04-21-at-21.08.31-jpeg.webp)
<strong>Oleh: Muhammad Fauzi B. Tokan</strong> PERHELATAN pemilihan umum telah selesai dilaksanakan diseluruh Indonesia pada tanggal 14 Februari 2024, dalam perhelatalan tersebut, seluruh masyarakat Indonesia terlibat langsung mengunakan hak pilihnya pada pesta demokrasi tahun 2024, setidaknya melibatkan partisipasi dari warga negara dalam siklus demokrasi. Dalam pelaksanaan tersebut, sempat beredar di sosial media mengenai kejadian salah input suara, salah input data, pengelembungan suara yang terjadi di TPS di berbagai daerah, informasi tersebut dibenarkan oleh penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU RI. Pelaksanaan pemilu kemarin termasuk yang paling mewah apabila dilihat dari penyelenggaraan pemilihan umum di luar negeri. Kenapa demikian, karena diselenggarakan serentak diseluruh Indonesia untuk memilih Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Calon DPR RI, Calon DPD, Calon DPRD Provinsi dan Kab/Kota, walaupun dalam perhelatan tersebut, banyak daerah melakukan Pemungutan Suara Ulang dikarenakan pelaksanaannya tidak sesuai dengan mekanisme yang ditentukan dalam Pasal 372 UU Pemilu. Disamping itu berbagai informasi yang juga beredar, penyelenggaraan pemilihan umum mendapatkan banyak kejanggalan mengenai kecurangan dan sempat menjadi perdebatan hangat dari berbagai kalangan. Perdebatan tersebut, mengenai mobilisasi massa yang terorganisir yang dilakukan oleh pejabat yang memegang kendali terhadap penyelenggaraan negara dengan menyalahgunakan kewenangannya serta menabrak aturan-aturan yang menjadi dasar dalam melaksanakan tindakannya, bantuan sosial yang membludak menjelang tahapan pemilu, pengarahan PJS Kepala Daerah, pengarahan TNI dan POLRI serta pengarahan perangkat desa untuk memilih salah satu pasangan calon. Sehingga isu kecuragan pemilu, muncul bahkan sebelum pemilihan umum dilaksanakan, akan tetapi banyak gelagat-gelagat muncul dengan narasinya, dari orang yang punya kepentingan atau dari sokongan yang sudah gelar karpet merah untuk jatahnya di istana atau sekedar mencari aman dalam tanda kutip “biar tidak ditangkap oleh KPK” yang secara gamblang mengatakan "Jikalau memang pemilhan umum ada yang merasa dicurangi, silahkan saja mengugat di Mahkamah Konstitusi.” Dengan narasi tersebut, bola panas pemilihan umum terkhususnya pilpres kemudian digulirkan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang berwenang, memeriksa dan memutuskan hasil pemiliham umum pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final sebagaimana tersirat dalam Pasal 24 C ayat 1 UUD NRI Tahun 1945. Seperti yang kita ketahui bahwa, tanggal 20 Maret 2024, KPU telah menetapakan hasil pemilihan umum secara nasional dengan Keputusan KPU RI Nomor 360 Tahun 2024 yang menetapkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai pemenang kontestasi pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden tahun 2024 dengan meraih 58,6 % suara, pasangan Anies-Muhaimin meraih 24,9 % suara dan pasangan Ganjar-Mahfud meraih 16,5 % suara. Pertaruhan Terakhir Independensi MK Dari penetapan oleh KPU RI, babak lanjutan Pilpres kembali diselenggarakan, akan tetapi penyeleggaraan kali ini melalui lembaga peradilan yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, beberapa bulan terakhir sebelum memasuki tahapan pemilihan umum 2024, Mahkamah Konstitusi mendapat banyak sorotan, terlebih pada saat pengujian subtansi Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umun terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Dalam pengujian UU Pemilu tersebut, terdapat hal yang janggal, yang mana beberapa permohonan yang diputus di hari yang sama yaitu pada Senin, 16 Oktober 2023 mengenai uji subtansi ketentuan Pasal 169 huruf q yang mengatur batas usia capres dan cawapres, namun ada satu putusan yang mencuri perhatian publik yaitu putusan 90/PUU-XXI/2023 dimana Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan seorang pemohon yang berbekal (legal standing) sebagai pengagum Gibran. Hal tersebut terkesan aneh, karena dari beberapa permohonan, secara tegas MK menolak permohonan tersebut, namun tiba pada pembacaan putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK kali ini inkonsistensi dengan mengabulkan permohonan. Hal tersebut memicu pertanyaan besar terhadap MK. Apakah independensi MK sedang dilucuti kekuasaan? Karena putusan 90 memberikan karpet merah untuk Gibran anak seorang presiden maju mendampingi Prabowo sebagai paslon dalam perhelatan pilpres 2024. Dengan dikabulkan permohonan tersebut, membawa bacaan kuat ditengah-tengah masyarakat akan terjadinya tatanan dinasti politik baru di Indonesia. Dinasti politik ini, sangat tidak sehat apabila disandingkan dengan sistem politik kita, yang secara filosofis menempatkan demokrasi sebagai pengejawatahan terhadap kedaulatan bernegara. Hal ini membuat MK mendapat banyak sorotan karena dinilai melemahnya independensi MK yang diakibatkan intervensi kekuasaan terkait konfigurasi putusan 90 untuk pencalonan Gibran. Peristiwa ini sangat jauh dari cita lahirnya MK pada awal era reformasi, yang dibentuk sebagai The Guardian Of Constitution dengan cita agar menjaga tidak terjadi lagi pelanggaran terhadap konstitusi yang pernah terjadi di era Orde Baru, sehingga dengan sendirinya apabila MK diintervensi tentunya akan membawa preseden buruk ditubuh MK yang bertampak pada merosotnya tingkat kepercayaan publik yang membuat hancur reputasi MK. Merosotnya marwah MK sebagai pelindung konstitusi, ditandai dengan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menjatuhkan sanksi etik terhadap salah satu hakim konstitusi yaitu Anwar Usman (Paman Gibran) yang tidak profesional, karena disinyalir melakukan pelanggaran etik berat dengan membawa konflik kepentingan dalam putusan MK 90 tersebut. Tidak hanya sampai disitu, jauh sebelum memasuki tahapan pemiihan umum, MK kembali di sorot terkait pemberhentian Hakim MK yang dinilai inkonstitusional, Hakim MK yang sengaja mengganti subtansi putusan dalam uji materil UU serta pergantian hakim MK yang berlatarbelakang seorang politisi dalam masa kampanye pemilu 2024. Lebih lanjut, hari ini independensi MK kembali dipertaruhkan melalui permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan oleh pasangan capres dan cawapres Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud pada sengketa Pilpres, yang diharapkan mampu mengembalikan marwah MK ditengah dilema masyarakat terhadap ketakutan MK kembali diintervensi oleh kekuasaan dengan menelanjangi jubah hakim MK. Intergritas MK kali ini harus dipulihkah, dengan cara memutuskan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum terkhususnya Pilpres, dengan memenuhi rasa keadilan yang utuh sebagai penunjang dalam menyehatkan demokrasi bangsa kedepannya, untuk itu MK perlu memastikan kembali, agar tidak adanya konflik kepentingan dalam PHPU terkhususnya pilpres. <strong>Urgensitas Putusan MK</strong> Penyehatan demokrasi pasca pemilihan umum kemarin, menjadi suatu perhatian bagi hakim konstitusi dalam memutus perkara PHPU terkhususnya pilpres, putusan MK nanti menjadi penentu bukan hanya sebatas petanda terselesaikannya pemilihan umum 2024 akan tetapi demi menyelematkan demokrasi yang sedang dibajak oleh kekuasaan. Putusan MK ini menjadi penting, karena MK harus menggali fakta-fakta yang fundamen dan esensial dalam penyelenggaraan pemilu, secara kontekstual dan tidak terjebak pada angka semata. Dalam penyelesaian sengkata PHPU di MK menjadi perwujudtan dari keadilan pemilu yang telah tersirat dalam UU Pemilu, sehingga para pencari keadilan di MK menempuh jalan konstitusional untuk mengunkap kecurangan didepan 9 hakim MK yang sangat mulia mengenai penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian penyelesaian sengketa PHPU di MK menjadi momentum yang sangat krusial untuk mengembalikan kepercayaan publik dengan memutus seadil-adilnya. Tentunya masyarakat indonesia sangat menantikan putusan MK di tanggal 22 April 2024 sebagai pertaruhan terakhir independensi MK, apakah sejarah baru yang dikemas dalam kanvas demokrasi indonesia ataukah dinasti politik baru yang berkepanjangan.
Sumber: