Makassar Bukan Alagados

Makassar Bukan Alagados

<strong>Oleh: Irwandi</strong> KITA sudah tentunya mengenal brazil, salah suatu negara dengan prodak domestic bruto (PDB) tertinggi setelah iran atau mungkin kita mengenalnya dengan negara pesepak bola handal yang berhasil meraih lima bintang dalam ajang piala dunia, yang juga menhasilkan banyak pemain bintang. Tapi kali ini mungkin kita harus melihat dari suatu kacamata yang berbeda. Kali ini dari el Salvador, yang mempunyai suatu perkampungan bernama alagados. Suatu sisi kota itu, adalah tempat pembuangan sampah yang utama kota Salvador. Sampah sampah itu di buang ke dalam teluk, dan menjadi dataran baru. Informasi ini saya dapatkan dari karya peter ludwing berger yang berjudul piramida kurban manusia, baginya sendiri sampah merupakan suatu faktor ekonomi dan ekologis yang penting dalam masyarakat itu. Suatu perumpamaan yang juga mungkin fakta, bahawa para politisi menjanjikan lebih banyak lagi sampah sebagai alat tukar untuk mendapatkan suara mereka. Berger juga menceritakan ada satu tulisan yang terpampang pada mobil pengangkut sampah, kurang lebih begini bunyinya. Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang sehat. Tetapi bagaimana mungkin orang bisa berpegangan pada harapan itu, sementara, orang masi tinggal di atas tumpukan sampah, dimana penyakit, dan kemiskinan, merobek selubung selubung kehidupan masyarakat. Hal itu seperti merindukan purnama di suatu negeri yang tidak ada malam. Dapat di terawang, bahwa pada kenyataannya setiap kebijakan politik, juga idelogi, selalu mengorbankan yang di sebut berger sebagai biaya manusiawi. Suatu harga yang tak dapat di bayar dengan ribuan pabrik roti. Seluruh hak hak manusia bukankah harus di hargai. Tapi sayang sekali, terkadang hanya dengan alasan ekonomi dan dan pembangunan yang merupakan suatu gelombang besar modernisasi merasuki hampir di setiap kehidupan kita. Ide yang kontradiksi sering di produksi yang terkadang mengorbankan dan merugikan berbagai macam pihak semua itu di pegang teguh tanpa ada rasa bersalah. Masyarakat kita saat ini, adalah serupa dengan yang paling sering di bicarakan oleh baurdillard yaitu masyarakat konsumtif Tetapi sebaliknya berger agak sedikit menolak itu. Dengan ungkapan yang saya ingat, berger mengatakan bahwa manusia tak hidup hanya dengan roti. Bahwa manusia berhak hidup dalam suatu dunia yang bermakna. Dan menghargai hak hak itu adalah keharusan yang merupakan kebijaksanaan politik. Bahwa masyarakat juga berhak hidup dengan kultur kultur yang di wariskan oleh para tetuah tetuah mereka, juga berhak hidup dalam ritus ritus agama yang memberikan makna akan hidup mereka. Tapi sayang sekali, suatu daerah manakah yang mampu mempertahankan semua kemurnian itu, dan membendung derasnya arus globalisasi dan modernisasi. keduanya merasuki hampir di seluruh kehidupan kita dengan berbagaimacam cara. Sekiranya cara yang paling keras adalah urbanisasi dan toknologi ekonomi. Dalam hampir setiap diskusi tentang perkembangan kehidupan kita sekarang, saya selalu memberikan tanggapan kepada teman teman, bahwa, jangan terlalu jauh melihat masalah ketimpangan. Bukankah kita kita ini saja, mengalami dilema. Sangat sedrhana untuk menganalogikan itu. jika anda adalah seorang pembaca buku, manakah yang menjadi pilihan anda antara buku kertas atau buku elektronik. Jika pertanyaan itu di ajukan ke seseorang, dan ia lebih memilih buku kertas dengan berbagai macam alasan. Tetapi apakah ia sadar bahwa setiap kertas di produksi dari pohon, lalu apakah dalam hal ini kita akan mengiyakan produksi kertas secara besar besaran untuk peradaban kita, sementara di sisi lain kita menolak proyek deforestasi yang massif yang berhasil menggusr ribuan hektar hutan dengan pohon pohonnya. Itulah kontradiksi yang paling sederhana yang di tawarkan dalam masyarakat kita. Tetapi di setiap antara kita, adalah pragmatis. memanfaatkan semuanya dengan kepentingan kita masing masing. Kita mungkin harus Kembali ke problem ekonomi, dan ekologis, juga di dalamnya politik berperan penting untuk menentukan bagaimana dan dengan jalan manakah yang paling bijaksan yang harus kita tempuh, apakah ingin memberantas kemiskinan atau penyakit, yang kesemuaannya itu pasti menelan korban korban baru. Kita sudah tentunya tidak menginginkan kejadian yang sama seperti yang pernah di alami soviet di masa kepimimpinan stalin. Di mana stalin memaksakan kolektivisasi pertanian yang akhirnya memakan korban jiwa yang begitu banyak, sekitar duajuta jiwa mati karena kelaparan, sudah tentunya dua juta jiwa adalah angka yang tidak sedikit. Atau seperti bencana wabah yang mengancam dunia dengan korbnan ribuan juta jiwa. Makassar adalah kota metro politan yang kemudian menjadi kota terbesar di Indonesia timur. Masalah urbanisasi dan perkembangan teknologi yang mendukug perekonomian. Hal yang akan di timbulkan dari dua masalah di atas, kenapa hal itu menjadi masalah, karena urbanisasi dan teknologi ekonomi akan mengakibat satu kerusakan lingkungan yang cukup parah, dari bertebarannya sampah di mana mana yang tidak bisa lagi di control oleh pemerintah. Sudah tentunya kita tidak ingin makassar menjadi seperti alagados, tetapi tak dapat lain Ketika kita melihat realitas yang terjadi. Di antara indahnya Pantai losari dengan masjid 99 kubanya juga CPI nya, ada daerah seperti di salah satu tempat di antang, yang menjadi tempat pembuangan sampah utama kota makssar. yang mengakibatkan terjadinya pencemaran udara dan kerusakan lingkungan. Tetapi Sebagian Masyarakat di sana, menjadikan sampah sebagai salah satu penghasilan yang menunjang kebutuhan sehari hari mereka. Sehingga seperti yang kita telah bahas di bagian terdahulu pada daerah alagados. Bahwa sampah juga merupakan faktor pendukung ekonomi Masyarakat yang ada di sekitarnya. Untuk mengatasi semua masalah yang terjadi, di mana Kesehatan massyarakat harus di lindungi dan menjadi kewajiban pemerintah, untung dapat menyeimbangkan semuanya, juga sekiranya harus mengembangkan satu teknologi baru yang bisa mengatasi problem yang di hasilkan dari sampah sampah itu sendiri. Sebab sampah sampah itu harus di daur ulang secara terus menerus, karena pada hakikatnya hasil dari daruan sampah akan menjadi sampah Kembali jika nilai manfaatnya menurun.

Sumber: