Dokter Pasien

Dokter Pasien

<!-- wp:paragraph --> <p>Oleh: Dahlan Iskan</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>diswaysulsel.com -- PASIEN itu marah. Ia pergi ke toko senjata: membeli senjata semi otomatis AR-15.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tiga jam kemudian ia sudah sampai di rumah sakit –tempatnya dioperasi sebulan yang lalu. Ia juga membawa pistol yang ia beli 3 hari sebelum membeli AR-15.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ia masuk ke rumah sakit itu: Dor! Amanda Glenn terjerembap. Dia tenaga medis di ruang depan rumah sakit. Tewas.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Pasien itu masuk ke ruang pemeriksaan. Nama si pasien: Michael Louis. Di ruang itu ada dr Priston Phillips, super spesialis ortopedi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dor! Dokter Phillips roboh. Meninggal dunia. Dor! Dokter Stephanie Husen terjerembap. Dia juga super spesialis ortopedi. Kulit putih. Penuh darah wanita. Tewas.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mendengar bunyi tembakan di dekatnya, William Love, seorang pengantar pasien, menutup pintu lorong. Agar jangan ada orang masuk ke arena penembakan. Dor! Love meninggal dunia di dekat pintu itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Istri Love selamat. Hari itu Love mengantar istri berobat. Ia telah menyelamatkan sang istri dengan nyawanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Adegan ala cowboy itu terjadi di RS Warren Clinic, di lantai 2 gedung Natalie Building Hospital. Di kota Tusla –kota terbesar kedua di negara bagian Oklahoma –tetangga utara Texas. Kemarin malam WIB.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya sudah lama tidak ke Tusla. Tidak bisa membayangkan di sebelah mana RS itu. Sewaktu ke Oklahoma terakhir saya tidak mampir Tusla. Saya langsung ke Amarrilo, Texas.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Penembakan masal terus terjadi susul-menyusul di Amerika. Kejadian di Tusla ini hanya seminggu setelah penembakan masal di Uvalde, Texas: 19 siswa SD tewas oleh remaja bersenjata, Salvador Ramos. Ditambah dua orang guru di situ.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Motif penembakan di RS Tusla ini, menurut harian Oklahoma, pasien tidak puas. Si pasien kecewa pada dr Phillips. Sakitnya tidak sembuh –sakit tulang belakang.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Louis menjalani operasi tulang belakang sebulan lalu. Yang mengoperasi dr Phillips –ahli ortopedi terkemuka di Oklahoma. Kulit hitam. Ia juga aktivis kemanusiaan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ia selalu jadi panitia peringatan pembunuhan masal terhadap orang kulit hitam di Tusla. Ia juga tergabung dalam dokter olahraga ternama.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Louis juga kulit hitam. Baru dua minggu lalu Louis boleh meninggalkan rumah sakit. Itu berarti dua minggu pula Louis rawat inap pasca operasi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Louis mengeluh sakitnya tidak sembuh. Itu terbaca dari surat tertulis yang ditemukan di pakaiannya. Hari itu ia pakai jaket besar.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ia datang ke RS dengan penuh kesadaran: ingin membunuh dr Phillips. Ia telah berkali-kali menyampaikan keluhannya itu. Tidak kunjung sembuh. Ia tidak sabar. Baru dua minggu. Ia ambil jalan pintas.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kurang dari tiga menit setelah penembakkan pertama, polisi sudah tiba di rumah sakit. Bahkan polisi masih sempat mendengar bunyi tembakan terakhir: tembakan bunuh diri Louis.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Pasien tembak dokter seperti itu mengingatkan kejadian setahun lalu: seorang pasien datang ke klinik membawa bom. Dan senjata. Lima nakes wanita di ruang depan ia tembak. Satu meninggal, empat kritis.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Pelakunya, Gregory Ulrich, 68 tahun. Ia sudah divonis dewan juri kemarin pagi WIB. Gregory dinyatakan bersalah. Tinggal hakim memutuskan bentuk hukumannya: kemungkinan seumur hidup.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Pasien itu ngamuk juga akibat penyakit di tulang belakang. Awalnya Gregory jatuh dari scaffolding. Yakni saat bekerja. Itu tahun 1977. Ketika Gregory baru berumur 22 tahun.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ketika ke dokter, Gregory sudah diingatkan: kalau tidak dituntaskan dengan baik, ia akan mengalami kelumpuhan di masa tua. Akan terus berada di kursi roda.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Gregory merasa tidak separah itu. Ia pun hidup seperti orang normal. Ternyata dokter benar. Kian berumur Gregory kian menderita: tulang belakangnya sakit.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sudah terlambat. Masih bisa dioperasi tapi tidak berhasil.<br>Gregory mengaku sudah mendatangi 50 ahli tulang belakang. Tidak teratasi. Ia selalu kesakitan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Satu-satunya jalan keluar: ia harus minum obat yang mengandung narkotika. Penghilang rasa sakit.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tapi, belakangan, dokter tidak mau lagi membuatkan resep narkotika. Sudah berlebihan. Rasa sakit pun kumat lagi. Berkepanjangan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Maka Gregory membeli pipa. Ia membuat bom. Tiga buah.<br>Pagi itu, ia naik bus kota menuju Allina Health Clinic. Lokasinya sekitar 50 Km di utara kota Minneapolis, Minnesota.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya bisa membayangkan kawasan ini. Saya sering ke Minneapolis – St. Paul. Ada komunitas besar Vietnam di dekat situ. Juga ada Mall of America –yang terbesar di dunia.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Turun dari bus kota, Gregory menenteng tas. Juga menyandang senjata. Ia pun masuk ke lobi klinik tersebut: Dor! Dor! Dor!</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tiga nakes di bagian depan klinik itu tersungkur. Lalu Gregory masuk ke dalam: Dor! Dor! Dor!</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dua nakes lagi roboh. Bersimbah darah. Yang satu meninggal. Gregory lantas meledakkan bom pipa pertama. Kaca-kaca rontok. Lalu bom kedua. Lebih rontok lagi. Bom ketiga tidak bisa meledak.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Inilah catatan waktunya:<br>Jam 10.52 Gregory turun dari bus.<br>Jam 10.54 sudah ada telepon masuk ke 911. Dari banyak penelepon.<br>Jam 10.58 satu telepon lagi masuk ke 911. Yang menelepon mengaku bernama Gregory.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ia minta agar dikirim banyak ambulans. Ia juga minta agar dirinya ditangkap.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Selesai menelepon, Gregory tengkurap di lantai. Ia menunggu polisi datang untuk menangkapnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di pengadilan Gregory mengaku hanya ingin bikin sensasi. Agar menarik perhatian. Ia mengaku tidak punya niat membunuh.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Apa yang ia harapkan dari sensasinya itu?<br>"Agar dokter ikut merasakan penderitaan orang yang sakit tulang belakang," katanya kepada hakim. Tujuan akhir Gregory: agar dokter mau terus memberikan resep narkotika kepada penderita sakit tulang belakang.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Menjadi tua itu sakit sekali. Apalagi punya masalah di tulang belakang," ujar Gregory.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya bisa merasakan sakitnya Gregory. Saya pernah kecetit seperti itu. Lebih 40 tahun lalu. Ketika saya masih bisa bekerja 18 jam sehari. Demi memajukan media yang Anda sudah tahu itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya terkena masalah jam 4 pagi. Ketika baru saja bangun tidur di lantai ruang kerja –mulai tidur jam 02.00 bangun jam 04.00.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya langsung ke meja komputer. Saya ingin menyalakan stavolt di bawah meja. Saya raih tombol itu. Dengan membengkokkan punggung.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dor! Saya menjerit. Sakit sekali. Saya tidak bisa berdiri. Setengah jam saya menangis. Seorang diri. Di ruang kerja kantor yang sudah sepi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya coba turun dari kursi. Ingin berbaring di lantai. Tidak bisa. Sakit sekali. Lalu saya jatuhkan badan saya ke lantai.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dengan rasa sakit yang sampai keluar air mata. Saya berhasil telentang. Terasa agak enakan. Lalu mencoba miring. Gagal. Tidak tahan. Sakit sekali.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya pun gagal menyiapkan materi rapat jam 7 pagi hari itu. Padahal peserta rapat itu para pimpinan bank cabang Surabaya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Pelan-pelan saya berusaha menuju ruang rapat. Dengan penuh kesakitan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dari ruang kerja ke ruang rapat itu perlu waktu dua jam. Tiap satu langkah berhenti. Sambil pegangan tembok. Tidak ada yang melihat.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Jam 6.30 saya sudah duduk di meja pimpinan rapat. Saya tidak bisa menyambut tamu di pintu masuk –seperti biasanya. Saya duduk saja di ruang rapat. Menunggu tamu di situ.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya ramah-ramahkan wajah saya. Saya simpan sakit itu di dalam penderitaan. Rapat pun selesai. Tanpa ada yang tahu siksaan itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Begitu tamu-tamu pulang, saya minta diantar ke rumah sakit. Yang terdekat: RS RKZ. Di situ saya ditraksi. Bahu saya diikat di tempat tidur.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Telapak kaki saya juga diikat. Tempat tidur itu bisa dipanjangkan secara elektronik. Bagian tengah tubuh saya ditarik ke atas dan ke bawah.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Seminggu saya menjalani terapi itu. Setiap hari. Mulai enakan. Lalu saya mencoba main sepak bola. Besoknya sakit itu kumat lagi. Lalu diterapi lagi. Sehat.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sampai sekarang. Tidak pernah kumat lagi –dan tidak pernah main sepak bola lagi. Dan tidak ada toko senjata di Surabaya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tidak terungkap apakah keinginan membuat sensasi Gregory tersebut juga akibat konsumsi narkotika yang panjang. (*)</p> <!-- /wp:paragraph -->

Sumber: