Kanker Serviks di Indonesia

Kanker Serviks di Indonesia

<strong>Oleh: Brahmana Askandar</strong> <strong>SAMPAI SAAT INI</strong> kanker serviks masih merupakan kanker kedua terbanyak pada perempuan di Indonesia setelah kanker payudara. Sebaliknya, di negara maju, bahkan di negara tetangga kita, Singapura, kanker serviks tidak menjadi masalah kesehatan lagi. Sebab, angka kejadiannya terus menurun. Angka kejadian kanker serviks di Indonesia perlu perhatian karena seharusnya kanker serviks tidak boleh terjadi pada perempuan lantaran bisa dicegah. Di antara semua kanker, kanker serviks adalah kanker yang sempurna untuk bisa dicegah. Kok bisa? Ada beberapa alasan. Pertama, perjalanan serviks normal sampai menjadi kanker sangat jelas, tahap demi tahap dan membutuhkan waktu yang lama, lebih dari sepuluh tahun. Kedua, ada deteksi dini yang efektif dan sederhana, bukan dengan alat-alat canggih. Bisa dengan inspeksi serviks sederhana setelah dioleskan asam asetat, pap smear, atau tes deteksi virus HPV (human papillomavirus) di serviks. Ketiga, penyebabnya jelas, yakni virus HPV. Apalagi, saat ini ada vaksinnya. Deteksi dini dilakukan pada setiap perempuan yang sudah berhubungan seks. Pap smear dilakukan 1–3 tahun sekali. Bahkan, bila menggunakan tes HPV, cukup lima tahun sekali. Vaksin HPV diberikan kepada perempuan usia muda, terutama sebelum mulai aktivitas seksual. Paling baik diberikan saat usia 9–14 tahun, ketika respons imun tubuh sangat baik. Dengan demikian, bila diberikan pada rentang usia itu, cukup diberikan dua kali suntik. Tidak perlu tiga kali suntik seperti pada perempuan usia 15 tahun ke atas. Deteksi dini sangat penting. Pasalnya, bila terdeteksi masih dalam tahap prakanker (belum kanker), kesembuhannya 100 persen, tidak perlu angkat rahim, kemoterapi, ataupun radiasi. Cukup dengan tindakan sederhana, yakni laser, kauter, krioterapi, leep, dll. Di sinilah pentingnya perempuan menjalani deteksi dini, tidak menunggu keluhan, karena lesi prakanker tidak selalu disertai keluhan. Bila hasil deteksi dini menunjukkan abnormalitas, di negara maju dilakukan kolposkopi. Yaitu, serviks dilihat dengan kamera khusus disertai pembesaran. Dengan begitu, tampak jaringan pelapis serviks, lalu bisa dilakukan biopsi (cubitan untuk mengambil contoh jaringan serviks) untuk pengecekan sel-sel secara histopatologi. Alat kolposkopi tidak murah, berkisar ratusan juta rupiah. Perlu diingat, pemeriksaan kolposkopi bukan skrining pertama, tapi dilakukan bila hasil pap smear abnormal. Skrining pertama tetap inspeksi visual dengan asam asetat, pap smear, atau tes HPV. Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) melalui satgas lesi prakanker yang dikomandoi Prof Laila Nuranna dan tim mengembangkan apa yang disebut telekonsultasi tes IVA yang didokumentasikan (teleDoIVA). Prosedurnya sederhana. Serviks difoto dengan kamera smartphone dan dianalisis. Prosedur teleDoIVA bisa dilakukan berbagai tenaga kesehatan, bidan, dokter umum, spesialis, dan konsultan. Untuk di faskes primer, hasil jepretan serviks bisa didiskusikan dengan pakar dokter SpOG konsultan onkologi ginekologi melalui aplikasi chat, mediskusikan kemungkinan diagnosisnya apa, harus dirujuk atau tidak, perlu penanganan bagaimana, dll. Semua tetap dilakukan secara anonim untuk menjaga privasi. TeleDoIVA jauh lebih murah daripada kolposkopi. Saat ini sedang dilakukan penelitian lanjutan teleDoIVA dan rencananya dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi. Kini teleDoIVA sudah diakui WHO, masuk di buku-buku WHO. Bahkan, judulnya bisa membuat Indonesia bangga, paling tidak ada nama Indonesia di buku WHO tersebut. Judul artikel di buku WHO membuat kita bangga: Teledoiva: An Innovation to Tackle Cervical Cancer in Indonesia. Judul buku WHO tersebut adalah Shifthing Paradigm in Frontline NCD Service in Southeast Asian Region. Contoh inovasi-inovasi asli Indonesia yang layak mendapat apresiasi. Tidak berhenti di sana, dr Patiyus Agustiansyah dan tim dari Palembang juga mengembangkan aplikasi yang disebut dengan Teleotiva. Suatu metode di mana foto serviks diambil melalui aplikasi di smartphone agar hasilnya lebih presisi. Jepretan serviks menggunakan aplikasi itu akan lebih presisi, dituntun grid di dalam pengambilan foto. Hasil jepretan serviks bisa didiskusikan dengan para pakar. Ke depan, semoga tidak ada lagi kasus baru kanker serviks. Apalagi, vaksinasi HPV sudah menjadi program nasional dan gratis bagi anak kelas V dan VI SD. Selain itu, kita perlu edukasi masif mengenai pentingnya melakukan skrining atau deteksi dini kanker serviks. Edukasi-edukasi sejak SMA mungkin diperlukan. Penelitian inovatif asli Indonesia juga perlu ditingkatkan dan diadopsi menjadi bagian dari program eliminasi kanker serviks. (<strong>Brahmana Askandar</strong>)

Sumber: