Aroma “Isi Tas” di Pilgub
<strong>diswaysulsel.com, MAKASSAR </strong>- Potensi pelanggaran money politic atau politik uang sangat rawan terjadi di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulawesi Selatan 2024. Dalam perebutan dukungan parpol, pasangan Andi Sudirman Sulaiman dan Fatmawati Rusdi diduga telah menghabiskan ratusan Miliar untuk memborong rekomendasi partai sebagai kendaraan politik di Pilgub. Tak bisa dipungkiri, selain popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas, kandidat calon kepala daerah juga memiliki modal finansial atau yang sering diistilahkan “isi tas”. Istilah ini jadi begitu populer di tahun politik. Tak terkecuali pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 ini, khususnya Pilgub Sulsel. Wacana calon kandidat Pilgub Sulsel yang memiliki modal “isi tas” berlimpah, semakin menguatkan potensi terjadinya praktek money politic. Di mana tentunya, perilaku menjadikan uang sebagai tolok ukur keterpilihan ini dinilai sangat mencederai proses tahapan demokrasi. Ini juga diperkuat dengan pernyataan dari tim Dozer yang mengaku tidak akan ragu mengucurkan dana yang fantastis untuk memenangkan paslon Andi Sudirman - Fatmawati hingga ke pelosok Sulsel. Lantas, bagaimana tanggapan dari pakar politik dan lembaga pemerhati Pemilu soal isu “isi tas” ini? Bagaimana Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mensiasati pencegahan praktek politik uang seperti ini? Pakar Politik Universitas Hasanuddin (Unhas), Dr. Hasrullah mengatakan bahwa tingkat pragmatise pola pikir pemilih dalam hal ini adalah masyarakat Sulsel, menjadikan potensi terjadinya praktek politik uang ini semakin besar. “Saya merasa ini yang harus dilawan, tapi mau diapa zaman sudah berganti. Kalau dulu orang dikasih uang ditolak ya, sekarang tergantung orang mau kasih berapa. Padahal yang paling penting diperhatikan oleh masyarakat kita, pilihlah pemimpin yang punya kapasitas dan pengalaman menjalankan pemerintahan,” jelasnya kepada Harian Disway Sulsel, Senin 26 Agustus 2024. Menurut Hasrullah, pemilih saat ini sulit berkelit dari pemikiran pragmatis yang menjerumus ke praktek politik uang. Di mana pemikiran ini menjadi penghalang masyarakat dalam memilih kriteria pemimpin dari segi visi misi serta track recordnya. “Tapi saya masih punya harapan besar ya, kita harus berharap lapisannya dari melihat siapa tokoh ini, kalau tokoh tersebut punya kapastitas leadership, punya pengalaman di pemerintahan, kenapa tidak dipilih? Karena kalau kita mengambil money politic, jangan berharap ada kualitas di situ,” sebutnya. Lebih jauh, dia menilai soal pernyataan salah satu tim pendukung paslon Pilgub Sulsel yang menyatakan akan “meratakan” Sulsel dengan kemampuan jumlah uang yang fantastis merupakan pernyataan tidak bermoral dan mencederai demokrasi. “Orang seperti ini tidak pantas kita pilih, karena sejak awal sudah seperti itu,” kata Hasrullah. “Saya kira kalau cost politic itu tidak ada masalah, yang berbahaya itu money politic. Jadi tetap harus dilaporkan, Bawaslu harus bekerja dengan maksimal di setiap tingkatan. Kalau ada, harusnya dilaporkan bahwa ini menggunakan money politic secara massif,” sambungnya. Dengan hal itu, Hasrullah pun berharap bahwa baik pihak penyelenggara, peserta Pilkada, maupun sesama masyarakat untuk saling memberikan pendidikan politik yang positif. Terlebih kepada masyarakat, dia berpesan untuk tidak tergoda iming-iming rupiah, lalu menggadaikan nilai demokrasi dengan memilih paslon yang melakukan money politic. Senada, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Kawal Pemilu mengakui bahwa satu-satunya tren setiap tahun politik yang tidak berubah dan malah semakin terang-terangan dilakukan adalah praktek politik uang. “Money politik sedari dulu menjadi titik hitam di sejarah kepemiluan kita. Dari Pemilu ke Pemilu termasuk Pilkada trend dan modusnya berubah-ubah. Namun satu yang pasti semakin vulgar, pelaku money politik semakin tidak tahu malu, bahkan tidak takut Tuhan,” ujar Ketua Forum Informasi dan Komunikasi Organisasi Non Pemerintah (FIK Ornop), Samsang Syamsir, Senin 26 Agustus 2024. Hal ini kemudian, lanjut dia, berpengaruh buruk terhadap kehidupan sosial masyarakat. Karena seringnya masyarakat menganggap money politic bukan lagi dosa, sehingga setiap hajatan Pemilu money politic menjadi hal yang bahkan ditunggu-tunggu oleh masyarakat. “Kenapa itu terjadi? karena edukasi money politic tidak berbanding lurus dengan perilaku money politic. Ini tugas kita bersama, bukan hanya KPU dan Bawaslu, tetapi tanggung jawab kita bersama pemerintah dan kelompok masyarakat,” ungkap Samsang. “Yang perlu dievaluasi soal edukasi money politic adalah sasaran edukasi kita. Selama ini selalu ke masyarakat, tidak ke pelakunya yang notebene mereka adalah peserta pemilihan itu sendiri. Kalau di-breakdown lebih lanjut ujung-ujungnya ke partai politik pengusung yang biasa menjadi tim sukses,” tambahnya. Selanjutnya, kata Samsang, perlu juga adanya evaluasi soal sanksi hukum dan sanksi sosial untuk pelaku money politic ini. Apakah penegakannya sudah berjalan dengan baik, sudah berapa banyak kasus money politic yang dilaporkan, dan apakah berbanding lurus dengan kejadian di lapangan. “Rasanya tidak menurut saya. Sulit dibuktikan meski nyata kita lihat, nyata kita dengar dari keluarga dekat kita, teman dekat kita. Semua itu perlu dievaluasi. Nah. Parpol juga harus mengambil peran edukasi minimal ke kadernya, dan apakah itu sudah dilakukan,” ucapnya Kondisi ini, menurut dia, semakin diperparah ketika pemilik modal juga andil menjadi pelaku. Sehingga semakin rusak demokrasi kita. Kita seharusnya memassifkan edukasi money politic dan semua harus mengambil peran. Pengusaha, parpol, timses. Ayo kita perbaiki demokrasi kita. Kami OMS siap membangun kolaborasi untuk edukasi, mengawal penegakan hukum, dan lain-lain,” tutupnya. Senada, Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil mengungkapkan bahwa memang harus dibangun kesadaran kepada publik atau masyarakat bahwa praktek money politik itu sesuatu yang justru akan membahayakan mereka sendiri. “Dalam konteks Pilkada bisa membahayakan karena publik bisa mendapatkan ancaman sanksi pidana. Dalam konteks demokrasi, politik uang itu menggadaikan kedaulatan pemilih kepada kontestan,” sebut Fadli kepada Harian Disway Sulsel, Senin 26 Agustus 2024. Pemilih di saat mendapatkan uang pada proses pemilihan, kata dia, sama saja sudah menyerahkan haknya untuk dikontrol oleh orang yang kebutuhannya hanya untuk mendapatkan kekuasaan. Di mana seharusnya pemilih yang mengontrol para calon kepala daerah tersebut. “Pemilih telah kehilangan haknya untuk mengontrol dan melakukan pengawasan ketika uang itu sudah diberikan,” tukasnya. Praktek money politic ini masuk dalam isu strategis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang dirilis oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hal ini, kata Bawaslu harus menjadi perhatian bersama, terutama oleh penyelenggara Pemilu sebagai upaya membawa proses pelaksanaan pemilihan serentak 2024 yang lebih terbuka, jujur, dan adil. "Metode praktik politik uang yang semakin berkembang seperti penggunaan uang digital, kartu elektronik hingga barang kebutuhan sehari-hari. Pencegahan yang masif harus dilakukan oleh seluruh pihak," sebut Bawaslu dalam rilis IKP Pilkada 2024. Komisioner Bawaslu Sulsel, Saiful Jihad mengatakan bahwa pemetaan kerawanan pemilihan ini dipotret terhadap pelaksanaan Pemilu 2024 yang lalu. Serta, beberapa indikasi yang terjadi di lapangan dalam menghadapi pencalonan pada Pilkada tahun 2024 ini. "Sehingga merupakan potret terakhir dari kondisi yang ada, dengan melihat 4 dimensi (konteks), yaitu konteks sosial politik, pencalonan, kampanye dan pungut hitung," sebut Saiful Jihad. Saiful pun mengakui bahwa Sulsel sendiri, menjadi salah satu provinsi yang dianggap memiliki tingkat kerawanan tinggi terjadinya tindakan yang dianggap dapat mengancam kualitas demokrasi di pemilihan tahun 2024. "Waktu dekat, Sulsel juga akan melakukan launching Pemetaan Kerawanan tingkat provinsi," tandasnya. (REG/E)
Sumber: