Indikasi Kuat Skema Power Wheeling Didorong Masuk dalam UU EBET
<strong>diswaysulsel.com, JAKARTA </strong>- Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bertekad mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dan menargetkan RUU ini disahkan sebelum masa pemerintahan Jokowi berakhir. “Namun, ada indikasi kuat bahwa agenda skema power wheeling (PW) yang kontroversial sedang didorong untuk dimasukkan ke dalam UU ini,” kata Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara pada diskusi bertajuk “Tolak Penerapan Skema Power Wheeling Dalam RUU EBET” yang digelar di Jakarta, Selasa (03/9). Seperti diketahui, power wheeling merupakan sistem yang memungkinkan penyedia energi swasta menjual listrik menggunakan jaringan transmisi milik negara. “Skema ini dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa sektor energi strategis harus dikuasai negara. Sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa sektor ketenagalistrikan tidak boleh diserahkan ke mekanisme pasar bebas, melainkan harus dikelola oleh BUMN atau PLN,” paparnya. Lebih jauh Marwan menambahkan, bahwa implementasi skema power wheeling dapat merugikan keuangan negara dan BUMN, serta membebani rakyat dengan tarif listrik yang lebih tinggi. Hal ini akibat skema power wheeling memungkinkan swasta mengambil pelanggan premium PLN, mengurangi pendapatan PLN dan meningkatkan beban subsidi energi di APBN. “Selain itu, skema ini berpotensi menambah beban biaya operasional PLN dan mendorong tarif listrik lebih tinggi bagi masyarakat,” tegas Marwan. Ia juga mengingatkan Pemerintah dan DPR bahwa skema power wheeling, jika diterapkan akan melanggar konstitusi dan prinsip keadilan sosial. “Prabowo, sebagai presiden terpilih, diharapkan mampu menghentikan agenda oligarki ini dan memastikan bahwa UU EBET tidak menyimpang dari kepentingan rakyat,” pungkasnya. Sementara praktisi kelistrikan, Riki Ibrahim menjelaskan tentang manfaat dan mudaratnya power wheeling, untuk Indonesia yang harga Listrik Energi Terbarukannya akan berbeda dengan harga listrik yang ditentukan oleh Pemerintah. “Dan hal itu akan menghilangkan kesempatan pihak PLN menjual listriknya kepada pihak pembeli sebagai konsumen. Apalagi pihak pembeli berada dalam wilayah usaha PLN. Layak untuk PLN yang menjual listriknya dan bukan pihak lain,” katanya. Menurut Riki, power wheeling diperkenankan hanya untuk pembangkit/penjual energi terbarukan (ET) dan pihak pembelinya itu dalam satu badan usaha sehingga “tidak terjadi pasar bebas”. “Jangan sampai power wheeling malahan memicu terjadinya ‘power trading’ dalam wilayah usaha PLN. Terkecuali, tidak ada PLN pada kawasan pihak pembeli listriknya itu, maka pihak pembangkit/penjual ET dapat menjual kepada pihak pembelinya,” paparnya. Secara alamiah, lanjut Dirut GeoDipa Energi 2016-2022 ini, PLN akan memprioritaskan pembangkitan sendiri (atau IPP yang sudah kontrak TOP dengan PLN) dan memprioritaskan kepada konsumennya sendiri. Power wheeling bukan prioritas bagi sistem operasi pihak PLN, dan pelaku power wheeling sewaktu-waktu dapat diputus. “Selain itu, biaya kerusakan pada sistem jaringan dan distribusi PLN juga akan menjadi pengurangan pemasukan PLN kepada Negara dan bahkan memungkinkan melonjaknya angka PMN untuk menjadikan sistem Grid dan Distribusi PLN lebih canggih di seluruh Indonesia,” tutup anggota Dewan Pengawas METI periode 2022-2025 ini. (*)
Sumber: