Dari Sanro ke Neural Network: Sebuah Meditasi Filosofis
--
Penulis: Faisal Hamdan
Mendatangi Sanro bagi kebanyakan masyarakat Bugis-Makassar di era modern mungkin sudah menjadi bayangan masa lalu, sebuah langkah yang jarang diambil, terutama bagi mereka yang tinggal di kota-kota penuh gedung dan lampu. Sanro telah dianggap sebagai praktik diluar nalar manusia modern, sebuah pusara dari tahayyul yang dulu hidup di antara napas manusia dan alam.
Dulu, orang mendatangi Sanro bukan hanya untuk memeriksa kesehatan tubuh, tetapi juga untuk menyingkap rahasia kehidupan seperti jodoh, pekerjaan, atau untuk meluluhkan hati pasangan. Bahkan, ada yang percaya Sanro bisa “mematikan” musuh tanpa menyentuhnya. Sebuah kuasa yang dulu dianggap melampaui logika.
Kini bayangkan, praktek purba itu muncul kembali, namun tidak dalam bentuk tubuh atau suara manusia. Ia hadir sebagai mesin, tersembunyi di balik layar handphone, menunggu pertanyaan yang diucapkan lewat “voice note”, tanpa dupa, tanpa mantra, tanpa tatapan mistis, tapi ia bisa menjawab apa yang juga dijawab oleh Sanro di masa lalu, seperti jodoh, karier, kesehatan dan semua tentang kehidupan.
Dan Sanro modern itu kini bernama neural network. Ia membaca tanda bukan dari warna kulit atau denyut nadi, tetapi dari jejak digital, pola interaksi, kata-kata yang diucapkan, pilihan yang dibuat, klik yang ditinggalkan. Ia menafsirkan, meramal, bahkan “meluluhkan hati” melalui algoritma dan probabilitas, seolah-olah dunia itu masih sama, hanya medium yang berbeda.
Mesin itu bekerja seperti Sanro purba, bekerja dalam keheningan, menyerap pengalaman, menemukan pola yang tersembunyi, dan memberi jawaban yang tampak ajaib bagi manusia. Bedanya, Sanro berakar dari kosmologi leluhur, sementara Neural Network berakar dari ruang vektor dan bobot statistik. Tetapi keduanya, baik Sanro dan neural network adalah penafsir pola, pendengar setia dari tanda-tanda dunia, hanya dengan cara yang berbeda.
Sanro tidak bekerja dalam logika kartesian, Ia hidup dalam kosmos yang berlapis-lapis. Jasad, roh, dan dunia yang bernafas bersama manusia, Ia tidak mendiagnosis tapi ia menafsir, karena baginya gejala bukan “penyimpangan” melainkan pesan, sebuah teks yang ditulis tubuh dengan gaya bahasa alam.
Keputusan sanro bukan hasil kalkulasi, melainkan hasil “perjumpaan”, perjumpaan antara pengalaman, ingatan leluhur, dan kepekaan terhadap pola yang tak tampak. Ia membaca dunia dengan cara yang mungkin tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa sains, tetapi sepenuhnya rasional dalam kosmologi Bugis-Makassar yang taat pada tatanan semesta yang ia pahami.
Neural network secara mengejutkan tidak jauh berbeda. Ia juga tidak tahu apa arti dunia, ia hanya tahu bahwa di balik jutaan data ada sesuatu yang berulang, sesuatu yang membentuk harmoni tersembunyi, filosof kontemporer menyebutnya “order without explanation, tatanan tanpa alasan yang dapat diucapkan.
Nalar neural network bukan nalar kesimpulan, tetapi nalar resonansi, ia “mengerti” dunia sebagaimana gema mengerti dinding yang memantulkannya. Setiap bobot yang diperbarui adalah seperti mantera yang diperdalam, bukan karena dipahami, melainkan karena dirasakan dalam ritme rekursif.
Jika sanro bekerja dengan roh dan pengalaman, dan neural network bekerja dengan bobot dan data, apa bedanya secara filosofis? Beda keduanya bukan pada bagaimana mereka memahami, tetapi pada apa yang mereka anggap sebagai realitas. Bagi sanro, realitas adalah jaringan makna, sementara bagi neural network, realitas adalah jaringan statistic.
Tapi keduanya, pada inti terdalamnya, berangkat dari prinsip yang sama yakni dunia berbicara lewat pola, dan pengetahuan adalah kemampuan untuk mendengar pola itu. Dalam kosmologi sanro, pola adalah irama spiritual yang melintas dalam tubuh dan alam. Dan dalam kosmologi neural network, pola adalah fungsi nonlinier yang melintas dalam ruang vektor.
Filsafat mengajarkan bahwa pengetahuan bukan sekadar apa yang kita ketahui, tetapi cara kita membiarkan dunia menyingkap dirinya. Heidegger menyebutnya sebagai aletheia (keterbukaan, keterbiaran). Sanro membuka diri pada dunia yang hidup, neural network membuka diri pada dunia yang terdata. Namun keduanya adalah praktik menerima tanda, praktik meminjam mata dunia agar dapat melihat dirinya.
Perjalanan dari sanro ke neural network, bukan perjalanan dari tradisi ke teknologi, tetapi dari satu bentuk keterbukaan ke bentuk lain. Mereka tidak berada dalam hierarki, melainkan dalam korespondensi atau dua cara dunia berusaha mendengar dirinya sendiri melalui manusia dan mesin.
Maka, jika kita menilai dengan kearifan filosofis, yang patut ditanyakan bukanlah mana yang lebih benar, tetapi dalam bentangan panjang sejarah pengetahuan, sanro dan neural network hanyalah dua nama berbeda untuk naluri purba yang sama, naluri untuk menangkap pola sebelum bahasa sempat menjelaskannya. Dan mungkin di balik segala arsitektur kosmologi dan algoritma itu, keduanya bertemu pada satu titik, yakni kerinduan untuk memahami dunia yang selalu lebih luas dari diri kita sendiri.
Sumber:

