Banjir Sumatera dan Batas Tafsir Manusia: Sebuah Refleksi Semiotika Otonom
Faisal Hamdan--
Oleh: Faisal Hamdan, Jurnalis/Independent Research Kajian Semiotika dan Media Digital
Beberapa bulan terakhir, di sepertiga malam, saya kerap duduk terdiam di teras rumah usai menunaikan ibadah, dalam keheningan yang oleh manusia disebut sebagai kontemplasi itu, gagasan semiotika otonom perlahan terbentuk. Saya mulai melihat bahwa pemaknaan tidak sepenuhnya lahir dari kebebasan manusia, melainkan memiliki sumber sekaligus batas yang ditetapkan oleh kondisi biologis dan ekologis, dari kegelisahan itu gagasan ini kemudian turun ke satu istilah yang saya sebut sebagai "ergonomik", sebuah keadaan dasar yang memaksa manusia menyesuaikan diri bahkan sebelum sempat menafsirkan.
Seiring waktu, pemikiran ini mengerucut dan menemukan bentuknya dalam tiga pilar utama, yakni produksi tanda, sirkulasi tanda, dan mutasi tanda, disini tanda tidak lagi dipahami semata sebagai simbol yang menunggu tafsir manusia, melainkan sebagai sesuatu yang diproduksi oleh struktur, disirkulasikan oleh kondisi, dan bermutasi melalui respons kehidupan
Refleksi ini saya tuliskan sebagai pengenalan awal atas gagasan semiotika otonom yang masih terus bertumbuh, namun semakin menemukan pijakannya ketika berhadapan dengan realitas ekologis yang tak lagi bisa diabaikan.
Pijakan itu terasa nyata saat saya membaca kembali peristiwa banjir yang berulang di Sumatera. Di sana, tanda biologis dan ekologis hadir begitu kuat dan tak memberi ruang negosiasi, banjir tidak menunggu penjelasan, tidak tunduk pada narasi, dan tidak memerlukan legitimasi, ia langsung bekerja.
Banjir di Sumatera bukan sekadar peristiwa hidrometeorologis, ia adalah tanda ekologis yang bekerja secara otonom. Air meluap tanpa pengirim pesan, merendam tanpa bahasa, dan memaksa manusia berhenti sejenak dari ilusi kendali. Maknanya tidak lahir dari perdebatan, melainkan dari pengalaman langsung, tubuh yang terancam, rumah yang hilang, dan ruang hidup yang runtuh.
Dalam kerangka semiotika otonom, banjir dapat dibaca sebagai hasil dari produksi tanda ekologis yang panjang. Hutan yang dibuka, lahan yang dialihfungsikan, daerah resapan yang dihilangkan, serta sungai yang dipersempit membentuk struktur yang secara perlahan memproduksi banjir. Ketika hujan turun, tanda itu kemudian disirkulasikan melalui aliran air, bergerak dari hulu ke hilir, menembus batas administratif, dan menjangkau kehidupan masyarakat tanpa pandang status sosial.
Namun dititik inilah tampak jelas titik buta semiotika klasik dan post-semiotika, semiotika klasik berhenti pada makna sebagai hasil tafsir manusia, sementara post-semiotika sibuk membaca jaringan wacana, kuasa, dan representasi. Keduanya kerap terlambat membaca momen ketika tanda tidak lagi menunggu tafsir, tetapi memaksa tindakan.
Fenomena viral dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan hal itu secara gamblang. Rekaman banjir yang menyapu permukiman, video warga yang terjebak arus, dan potongan visual kerusakan yang menyebar cepat di media sosial tidak sekadar menjadi simbol empati, ia menghasilkan tekanan nyata. Dalam hitungan hari, bahkan jam, pemerintah dipaksa merespons, kunjungan mendadak, perubahan kebijakan sementara, pembukaan kembali wacana penataan hulu, hingga peninjauan izin dan tata ruang.
Peristiwa viral ini bekerja tepat melalui tiga pilar semiotika otonom. Pertama, tanda diproduksi bukan oleh niat komunikasi, melainkan oleh peristiwa itu sendiri, kamera hanya merekam, tetapi yang bekerja adalah banjir sebagai realitas. Kedua, tanda disirkulasikan oleh algoritma, atensi publik, dan emosi kolektif, melampaui kendali satu institusi mana pun. Ketiga, tanda itu bermutasi, dari peristiwa ekologis menjadi krisis politik, dari penderitaan lokal menjadi tuntutan kebijakan nasional.
Di sinilah semiotika otonom mampu melihat apa yang luput dari pendekatan lama. Perubahan kebijakan tidak lagi digerakkan oleh argumen rasional semata, melainkan oleh tanda yang bekerja otonom melalui viralitas dan tekanan struktural. Banjir tidak hanya merusak ruang hidup, tetapi juga mengganggu stabilitas makna dan kekuasaan.
Dan disinilah, banjir terus bermutasi, ia mengubah pola hidup masyarakat, memaksa relokasi, menggeser cara bertani, dan mendefinisikan ulang konsep aman. Di sejumlah wilayah, aliran sungai berubah, sedimentasi menciptakan lanskap baru, dan ekosistem menata ulang dirinya sendiri, alam bergerak cepat dan konsisten, sementara kebijakan sering tertinggal dan bersifat reaktif.
Banjir Sumatera, memperlihatkan satu kenyataan yang sulit disangkal, manusia tidak selalu menjadi subjek utama penafsir. Dalam kondisi tertentu, manusialah yang sedang ditafsirkan oleh tanda-tanda alam, cara manusia membangun, menebang, dan mengelola ruang hidup dibaca oleh ekologi, lalu diterjemahkan kembali dalam bentuk air yang meluap dan tanah yang kehilangan daya tahan.
Jika semiotika klasik menekankan kebebasan tafsir, maka semiotika otonom menegaskan adanya batas pemaknaan. Ada tanda yang tidak bisa ditawar, tanda biologis dan ekologis bekerja sebelum bahasa, sebelum ideologi, bahkan sebelum kesadaran manusia sempat menyusul, banjir adalah salah satu contohnya.
Sumber:

