Bocil Kematian dan Bahasa yang Lahir Tanpa Ibu di Era YouTube
Faisal Hamdan, jurnalis dan peneliti independen, menulis tentang bahasa anak dan budaya digital di era algoritma.-Dokumentasi pribadi-Dokumentasi pribadi
Oleh: Faisal Hamdan, Journalist/Independent Research
Fenomena bahasa anak di era YouTube dan game digital kini semakin sering muncul dalam kehidupan sehari-hari, bahkan di ruang keluarga.
Pagi itu, di sebuah teras rumah berlantaikan marmer, aku melihat segerombolan anak usia dini duduk berjejeran. Satu, dua, tiga, empat anak seingatku, duduk terpaku menatap layar handphone dengan wajah tegang.
Mata mereka nyaris tak berkedip, jari-jari kecil bergerak cepat, seolah hidup mereka untuk sementara dipinjam oleh layar yang berada tepat dihadapan mereka.
Sesekali teriakan pecah.“tembak, ada musuh di belakang!”. Lalu disusul jeritan anak lainnya, “aduh, saya meninggoi!”.
Kata meninggoi seketika berbekas di kepalaku, ia terdengar asing. Tidak sepenuhnya salah, dan tidak juga menjadi benar, kata itu seperti kata yang terpeleset dari bahasa, jatuh di celah antara lidah anak dan gema suara dari layar.
Rasa penasaranku memaksaku bertanya, “Apa itu meninggoi?” Seorang anak lain menjawab pelan, wajahnya tertunduk malu, “Meninggal.” Ia tersenyum tipis, senyum anak yang tahu ia sedang mengucapkan sesuatu yang ganjil, tetapi belum tahu mengapa itu ganjil.
Aku tertawa kecil, lalu bertanya lagi, “Bahasa dari mana itu?”, “Dari YouTube,” jawabnya singkat.
Jika kita meminjam kacamata semiotika klasik, jawaban itu seharusnya mustahil. Dalam pandangan struktural, bahasa lahir dari konvensi sosial yang stabil.
Sebuah kata hidup karena disepakati, diwariskan, dan dijaga oleh komunitas. Kata membutuhkan sejarah, dan sejarah membutuhkan manusia yang sadar sedang berbicara. Sementara Meninggoi tidak memiliki semua itu, ia tidak punya akar, tidak punya silsilah, dan tidak pernah disepakati oleh siapa pun.
Namun semiotika pragmatis akan berkata lain, kata ini masih bisa dimengerti sebagai hasil tafsir. Anak-anak menafsirkan pengalaman “mati” dalam permainan digital, lalu membentuk penanda yang menurut mereka cukup mewakili peristiwa itu.
Maknanya bekerja, meski bentuknya menyimpang, dalam kerangka ini, meninggoi masih sah sebagai proses semiosis.
Tetapi keganjilan itu belum selesai, anak-anak kembali serius bermain, tidak ada jeda refleksi, tidak ada rasa bersalah, kematian telah diucapkan dan segera dilupakan.
Tak lama kemudian, suara lain meledak lebih keras, lebih panik. “Wih, hati-hati! Ada bocil kematian!” Aku terdiam. Bocil kematian. Dua kata yang secara logika bahasa nyaris tak masuk akal, bocah dan kematian dirangkai tanpa jarak, tanpa ngeri, tanpa beban.
Ia diucapkan sambil tertawa, sambil terus bermain, sambil menembak layar, tidak ada kesedihan, tidak ada keheningan. Yang ada hanya kewaspadaan teknis, musuh berbahaya muncul dalam permainan.
Di titik ini, semiotika post-struktural mulai berbisik, bahasa tidak lagi sepenuhnya bergantung pada institusi, tradisi, atau ideologi besar.
Tanda bisa hidup tanpa narator, tanpa pengasuh budaya, yang menentukan bukan benar atau salah, melainkan apakah tanda itu berfungsi dalam sistem makna yang sedang berjalan.
Namun bahkan post-semiotika pun belum cukup menjelaskan apa yang terjadi di teras rumah itu, karena meninggoi dan bocil kematian bukan sekadar tafsir bebas, mereka tidak lahir dari kesadaran budaya, melainkan dari pengulangan.
Dari suara yang terlalu sering terdengar, dari kematian yang terlalu sering muncul di layar hingga kehilangan daya guncangnya.
Tidak ada niat mencipta bahasa, yang ada hanya bahasa yang tersisa sebagai residu tontonan dan di sinilah kita memasuki wilayah semiotika otonom.
Dalam semangat ini, tanda tidak lagi menunggu manusia sebagai pengirim, ia bekerja sendiri, mengikuti logika sistem.
Bahasa tidak lahir dari pengalaman hidup, tetapi dari arsitektur media yang terus beroperasi tanpa henti.
Pertama, produksi tanda.
Meninggoi dan bocil kematian tidak diciptakan oleh anak-anak, mereka diproduksi oleh ekosistem konten, video, gim, dialog digital, dan algoritma yang mengulang apa yang paling sering ditonton. Anak-anak hanya menjadi medium tempat tanda itu muncul ke permukaan.
Kedua, sirkulasi tanda.
Kata-kata ini menyebar tanpa kamus, tanpa guru, tanpa koreksi, yang membuatnya hidup bukan legitimasi, melainkan frekuensi, yang sering terdengar menjadi wajar, yang wajar berhenti dipertanyakan.
Ketiga, mutasi tanda.
Inilah yang paling sunyi sekaligus paling berbahaya, kematian berubah makna, ia tidak lagi final, tidak lagi berat, tidak lagi sakral, ia menjadi peristiwa permainan, jeda singkat sebelum layar menyala kembali. Bahasa menyesuaikan diri, dan pengalaman eksistensial ikut berubah.
Meninggoi adalah kematian yang kehilangan upacara, Bocil kematian adalah kekerasan yang kehilangan kengeriannya.
Anak-anak itu tidak bersalah, mereka hanya hidup di dunia yang lebih dulu mengubah kematian menjadi hiburan, lalu menyerahkan bahasanya kepada sistem yang tidak pernah diminta bertanggung jawab atas makna.
Di teras rumah itu, aku menyadari sesuatu yang menusuk, bahasa sedang tumbuh tanpa orang tua, tanpa ibu yang mengajarinya kapan sebuah kata terlalu berat untuk diucapkan sambil tertawa.
Tanpa ayah yang mengajarinya bahwa ada peristiwa yang seharusnya membuat kita diam.
Dan mungkin, yang paling menyayat bukanlah kenyataan bahwa anak-anak hari ini berkata meninggoi atau bocil kematian.
Tapi adanya kemungkinan bahwa suatu hari nanti, ketika kematian sungguh datang ke hidup mereka, bahasa tidak lagi cukup dewasa untuk menolong mereka memahaminya. Karena ketika bahasa kehilangan ibunya, manusia sering kali kehilangan cara untuk berduka.(**)
Sumber: observasi penulis

