DPRD Kota Makassar
PEMKOT MAKASSAR

Ambient Intelligence dan Masa Depan Kehendak Manusia

Ambient Intelligence dan Masa Depan Kehendak Manusia

Faisal Hamdan, jurnalis dan peneliti independen, menulis tentang bahasa anak dan budaya digital di era algoritma.-Dokumentasi pribadi-Dokumentasi pribadi

Oleh: Faisal Hamdan, Journalist/Independent Research


Seorang pria bernama Syahgita Putra duduk terpaku di bawah pendaran cahaya redup lampu yang menjulur panjang dari langit-langit. Ruangan itu terasa seperti ruang interogasi, bukan karena ada orang lain, melainkan karena pikirannya sendiri telah berubah menjadi penyidik.

Di sekelilingnya gelap, hanya cahaya tunggal itu yang membuat matanya masih mampu menatap ke depan. Di kepalanya, bayangan tanda-tanda berkelebat seperti penghakim yang tak pernah benar-benar hadir, tetapi selalu menuntut jawaban.

Pikirannya melayang pada sebuah museum imajiner, yakni museum tanda. Di sana, kebebasan untuk memilih makna dipajang seperti artefak kuno: Tombol, ikon, menu, antarmuka, setiap tanda masih membutuhkan niat untuk disentuh, setiap pilihan masih memerlukan jeda, setiap makna masih menunggu untuk ditafsirkan.

Namun museum itu runtuh seketika ketika layar ponselnya menyala.

Sebuah notifikasi muncul dari portal berita Times of India disertai foto seorang pria dengan kepercayaan diri khas eksekutif teknologi memenuhi layar. Setelannya rapi, kacamata bertengger presisi, dan ekspresi wajahnya seolah menyimpan keyakinan bahwa masa depan adalah sesuatu yang bisa digenggam, dijelaskan, dan dijual. Judul berita itu berbunyi, “Amazon’s Alexa chief predicts death of app experience on your smartphone.” Tertanggal 26 Desember 2025.
Syahgita langsung mengalihkan seluruh perhatiannya ke layar, rasa penasaran menyeret kesadarannya masuk ke dalam artikel, kalimat demi kalimat ia baca perlahan, dicerna satu per satu. Wajahnya serius, tetapi senyum tipis tidak sepenuhnya menghilang, senyum orang yang sadar bahwa yang sedang ia baca bukan sekadar berita teknologi, melainkan pernyataan ideologis.

Artikel itu memuat pernyataan Panos Panay, kepala divisi perangkat Amazon. Panay berbicara tentang masa depan tanpa aplikasi, tentang dunia di mana manusia tak lagi membuka ponsel, tak lagi menekan ikon, tak lagi mencari. Cukup bertanya, dan sistem akan menjawab, cukup hadir, dan lingkungan akan menyesuaikan diri. Bagi banyak pembaca, ini terdengar seperti kabar baik, bebas dari layar, bebas dari doom scrolling, bebas dari kelelahan digital.

Namun bagi pria itu, ada sesuatu yang terasa lebih sunyi dari sekadar kenyamanan, ia menyadari bahwa yang sedang diumumkan Panay bukan kematian aplikasi, melainkan kematian tanda perantara. Aplikasi selama ini adalah ambang, ia memaksa manusia untuk berhenti sejenak, memilih, dan menyadari tindakannya sendiri. Aplikasi adalah titik di mana kehendak manusia masih terlihat, dan dengan memilih menghapusnya, teknologi tidak lagi menunggu kehendak, ia melompati kehendak.

Di sinilah Semiotika Otonom mulai berbicara.

Dalam kerangka lama, tanda membutuhkan subjek, ia menunggu untuk ditafsirkan, ia hidup dalam relasi sosial. Namun dalam dunia yang dibayangkan Panay, tanda tidak lagi menunggu, ia bekerja lebih dulu, ia diproduksi oleh sistem, disirkulasikan oleh algoritma, dan dimutasi oleh pola penggunaan. Makna tidak lagi lahir dari dialog manusia dengan dunia, tetapi dari kalkulasi mesin terhadap kemungkinan tindakan manusia.

Artikel Times of India menyebut bahwa Panay membayangkan pengalaman ambient intelligence, sebuah teknologi yang menyatu dengan lingkungan, hadir tanpa antarmuka, tanpa layar, dan tanpa klik. Secara semiotik, ini bukan penghilangan medium, melainkan perubahan ontologi tanda, tanda tidak lagi tampil sebagai objek persepsi, melainkan sebagai kondisi ruang, ia tidak lagi dilihat, tetapi dialami, tidak lagi dipilih, tetapi dihidupi.

Pria itu menurunkan ponselnya sejenak, ia sadar, dalam dunia semacam itu, preferensi tidak lagi dipilih, tapi ia diproduksi. Apa yang disebut sebagai “kebutuhan” hanyalah hasil akumulasi paparan. Apa yang disebut sebagai “intuisi” hanyalah nama halus bagi kebiasaan yang dibentuk mesin. Panos Panay berbicara tentang kegembiraan. Tetapi kegembiraan macam apa yang tidak lagi memberi ruang untuk tersesat? Untuk salah memilih? Untuk menemukan sesuatu yang tidak dicari?

Dalam Semi otika Otonom, inilah puncaknya, ketika tanda sepenuhnya otonom dari kehendak manusia, ketika sistem tidak hanya membantu manusia memahami dunia, tetapi mengganti proses memahami itu sendiri. Manusia tidak lagi menjadi penafsir, melainkan terminal. Tempat tanda lewat, bekerja, lalu bergerak lagi.

Ia kembali menatap layar ponselnya, artikel itu masih terbuka dan foto Panay masih tersenyum tenang. Pria itu tahu, senyum itu bukan senyum individu, melainkan senyum sebuah sistem yang yakin bahwa manusia akan mengikuti, karena kenyamanan selalu lebih mudah diterima daripada kebebasan.

Lampu di atas kepalanya perlahan meredup, mengikuti pola waktu yang telah dipelajari sistem rumah pintarnya. Tanpa perintah, tanpa aplikasi, tanpa pertanyaan. di dunia yang dijanjikan Panos Panay, yang pertama kali mati bukanlah aplikasi, melainkan jarak antara manusia dan makna.

Ketika jarak itu hilang, tanda tidak lagi membutuhkan kita, dan ketika tanda tidak lagi membutuhkan manusia, kebebasan hanya tinggal kenangan di museum yang telah runtuh.(**)

Sumber: times of india