Dari Liwetan Hingga Dialog Lintas Agama : INTI Sulsel dan PCNU Rajut Harmoni

Selasa 08-04-2025,18:32 WIB
Reporter : Alfath
Editor : Anto Pattah

DISWAY, MAKASSAR — Suasana hangat dan penuh kekeluargaan menyelimuti kafe dan restoran Pier 52 by Makassar Golden Hotel, Jum’at 28 Maret 2025 lalu. Sejumlah tokoh lintas agama, akademisi, dan pemuda dari berbagai latar belakang berkumpul dalam sebuah acara yang tak sekadar buka puasa bersama, melainkan silaturahmi kebangsaan yang sarat makna dan pesan toleransi.

Di tengah meja panjang beralas daun pisang, aneka lauk tersaji: ayam, ikan, tempe, sambal, hingga nasi yang menggunung di tengah. Liwetan — tradisi makan bersama dengan duduk lesehan dan berbagi dari satu sumber — menjadi simbol persatuan yang sederhana namun mengena. Tak ada sekat. Tak ada jarak. Semua setara dalam mengambil dan berbagi.

"Liwetan ini bukan hanya tradisi makan. Ini simbol filosofis bahwa kita berasal dari sumber yang sama. Semua mengambil dari tempat yang sama, duduk sama rendah, berdampingan tanpa membeda-bedakan," ujar Rudi Gunawan, Wakil Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Sulsel, selepas acara.

Acara ini digelar atas kerja sama INTI Sulsel dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Makassar. Bertema "Jejak Islam di Tiongkok dan Pengaruhnya terhadap Peradaban", kegiatan ini dirancang tak hanya untuk mengisi waktu jelang berbuka puasa kala itu, tetapi juga menyemai pemahaman lintas budaya dan agama.

Novi Basuki selaku Peneliti Kajian Islam Tiongkok dan Dewan Pakar dari Perhimpunan INTI, tampil sebagai narasumber. Lewat paparannya, ia membuka cakrawala peserta tentang sejarah panjang Islam di Tiongkok yang kerap luput dari narasi utama.

"Tionghoa tidak identik dengan komunis, komunis belum tentu ateis, dan ateis belum tentu tidak beretika. Islam di Tiongkok tetap terpelihara sejak 1949 meski negeri itu diperintah partai komunis," tutur Novi. Ia juga mengingatkan bahwa stigma negatif terhadap Tionghoa di Indonesia masih tertanam kuat akibat konstruksi pendidikan sejak tahun 60-an.

"Isu anti-Cina ini perlu kita kikis. Kita harus belajar melihat setiap bangsa dari sisi positifnya. Tiongkok pun punya banyak hal baik yang bisa kita pelajari. Kita harus jadi bangsa yang terbuka dan menyukai perbedaan," tegasnya.

Tak hanya diskusi intelektual, acara ini juga menghadirkan tokoh-tokoh penting seperti Dr. KH. Saprillah Syahrir (Wakil Ketua PWNU Sulsel), Usman Sofian (Ketua PCNU Kota Makassar), AGH. Abd. Mutthalib Abdullah (Rais Syuriyah PCNU Makassar), Ilham Arief Sirajuddin (mantan Wali Kota Makassar), serta perwakilan FKUB, PGIW, Densus 88, dan Yayasan Moderasi Beragama.

Ketua PCNU Makassar, Usman Sofian, menyampaikan bahwa puasa seharusnya bukan hanya tentang kesalehan pribadi, tetapi juga momentum memperkuat jembatan sosial.

"Kami ingin membangun harmoni kebangsaan secara nyata. Dengan mengundang tokoh lintas agama, harapannya kerukunan ini tidak berhenti di acara, tapi terus tumbuh di tengah masyarakat," katanya.

Suasana yang terbangun sepanjang acara terasa hangat. Tawa ringan di sela diskusi, senyum ramah saat menyendok nasi, dan sapaan akrab lintas keyakinan menjadi pemandangan yang menguatkan pesan: bahwa di meja yang sama, kita bisa berbeda tapi tetap bersaudara.

Rudi Gunawan yang juga Ketua Panitia menegaskan bahwa silaturahmi ini bukan akhir, melainkan awal dari lebih banyak dialog dan kolaborasi.

"Kita menjalin kerja sama antarumat beragama agar makin kokoh. Lewat liwetan ini, kita diajarkan bahwa hidup rukun bisa dimulai dari hal-hal sederhana," ujarnya.

Silaturahmi kebangsaan malam itu menorehkan harapan — bahwa toleransi bukan wacana elitis, melainkan pengalaman sehari-hari yang bisa dimulai dari semangkuk nasi, sejumput sambal, dan kehangatan kebersamaan. (FATH)

Kategori :