Oleh: Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, M.Si, Ketua DPP Partai Golkar (Kebijakan Politik Luar Negeri & Hubungan Internasional), Anggota Komisi 1, Komisi Pertahanan DPR RI 2004-2009
Ada satu kalimat dari Presiden Prabowo Subianto yang terus menggemuruh dalam ingatan saya—kalimat yang bukan hanya tajam, tapi juga menelanjangi kenyataan:
“Ketika perang nuklir pecah, negara pemilik nuklir memang akan hancur lebih dulu. Tapi kita juga akan mati—bedanya, matinya belakangan.”
Ini bukan sekadar kutipan. Ini peringatan dari tepi jurang sejarah. Hari ini dunia sedang duduk di atas bara, dan ada cukup bensin global untuk menyulut apokalips dalam waktu yang tidak terbayangkan.
Kita tengah berhadapan dengan ketegangan yang bahkan melebihi krisis-krisis geopolitik sebelumnya—dan kita tidak boleh berpura-pura aman hanya karena tidak memegang tombol peluncur.
Dunia Pernah Hampir Hancur Sekali, Dan Kini Lebih Berbahaya
Mari mundur ke Oktober 1962. Ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet berhadapan dalam Krisis Rudal Kuba, dunia menahan napas selama 13 hari.
Uni Soviet menempatkan rudal nuklir jarak menengah di Kuba—hanya 145 km dari daratan AS.
Amerika langsung merespons dengan blokade laut dan persiapan serangan militer penuh.
Pada puncaknya, kedua negara itu memiliki lebih dari 6.000 hulu ledak nuklir aktif—cukup untuk menghancurkan bumi berkali-kali lipat.
Namun, dunia diselamatkan oleh satu hal: komunikasi langsung antara dua pemimpin besar. John F. Kennedy dan Nikita Khrushchev—meskipun berbeda ideologi—masih punya ruang untuk saling mendengar. Di sanalah diplomasi menjadi benteng terakhir dari kiamat yang mengintai. Hanya melalui surat pribadi, bujuk rayu, dan sikap kenegarawanan, perang dunia ketiga berhasil dihindari.
Bandingkan dengan hari ini. Dunia memiliki lebih dari 13.400 hulu ledak nuklir. Tapi komunikasi antar pemimpin global lebih banyak diwarnai sindiran Twitter yang sekarang jadi platform politisi bernama X, ego nasionalistik, dan diplomasi yang dipertontonkan demi citra, bukan demi keselamatan. Kita telah kehilangan nalar damai, dan menggantinya dengan algoritma konflik.
Sebagian orang berkata: "Syukurlah Indonesia tidak punya bom nuklir." Tapi mari saya tegaskan: ketidakpunyaan itu bukan semata kelemahan. Justru di situlah letak kemuliaannya. Blessing in what is so called “limitation”.
Indonesia ada di jalan yang lebih suci—tidak mempersenjatai dirinya dengan pemusnah massal, melainkan dengan kredibilitas moral yang tak ternoda.
Apa gunanya punya bom jika sejarah mencatat tangan kita bersih dari darah bangsa lain? Selama 79 tahun merdeka, Indonesia tidak pernah menyerang, menjajah, atau mendikte bangsa lain.