DISWAY SULSEL – Hakim tunggal Pengadilan Negeri Makassar mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Hamsul HS, SE. Dalam sidang putusan yang digelar pada Selasa, 30 September 2025, hakim menyatakan penetapan tersangka Hamsul dalam kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak sah.
“Sudah diputus, amar putusannya mengabulkan permohonan praperadilan. Penetapan tersangkanya dinyatakan tidak sah,” kata Humas Pengadilan Negeri Makassar, Wahyudi Said.
Putusan ini membatalkan Surat Ketetapan Penetapan Tersangka Nomor S.Tap/118/VIII/RES.1.24/2025/Ditreskrimum tertanggal 25 Agustus 2025. Dalam surat itu, Hamsul ditetapkan sebagai tersangka TPPU dengan tindak pidana asal Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penipuan dan penggelapan.
Kasubdit IV Renakta Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sulawesi Selatan, Komisaris Polisi Zaki, menyatakan pihaknya menghormati putusan hakim. “Putusan praperadilan tersangka Hamsul dinyatakan diterima pengadilan. Langkah berikutnya, kami segera lakukan gelar perkara,” ujarnya.
Menurut Zaki, penanganan terhadap tersangka lain, Zulfikar, tetap berlanjut. “Kalau Zulfikar, semua sudah lengkap. Barang buktinya sudah disita. Paling kami akan gelarkan bersama Pak Kabag Wasidik,” katanya.
Adapun untuk Hamsul, penyidik akan menunggu hasil gelar perkara lanjutan. “Kami akan gelar dulu, kalau perlu gelar khusus nanti saya minta petunjuk. Berkas tetap kami kirim ke kejaksaan. Putusan hakim memang menyatakan penetapan tersangka tidak sah, tapi bukti aliran dana ada semua. Nantinya jaksa yang memutuskan. Kami tetap berupaya, harus optimistis,” kata Zaki.
Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, Kadir Wokanubun, menekankan putusan praperadilan tidak membatalkan pokok perkara pidana, melainkan hanya menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka.
“Hakim praperadilan tidak pernah masuk ke substansi tindak pidana. Putusan ini hanya menyatakan bahwa prosedur penetapan tersangka terhadap Hamsul tidak sah secara hukum. Itu artinya ada langkah formil yang belum dipenuhi oleh penyidik,” ujarnya.
Kadir menyebut putusan itu seharusnya dijadikan bahan koreksi oleh aparat kepolisian. “Praperadilan adalah mekanisme kontrol agar penyidik tidak sewenang-wenang. Kalau hakim bilang tidak sah, itu bukan berarti perkaranya hilang, melainkan ada prosedur yang harus dibenahi. Ini kesempatan bagi Polda Sulsel untuk memperbaiki diri, memperkuat bukti, dan memastikan semua langkah sesuai KUHAP maupun aturan internal Polri,” katanya.
Ia menegaskan bahwa perbaikan prosedur menjadi kunci agar kasus TPPU tetap berjalan. “Kalau penyidik melengkapi alat bukti dan prosedurnya sesuai hukum acara, penetapan tersangka bisa dilakukan kembali. Jadi jangan dimaknai bahwa kasus ini otomatis berhenti,” kata Kadir.
Pandangan serupa disampaikan akademisi Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar, Jermias Rarsina. Menurutnya, putusan praperadilan hanya menghentikan tahapan tertentu, bukan menutup seluruh penyidikan.
“Tahapan yang diuji praperadilan itu dihentikan. Kekurangan yang menjadi catatan hakim harus dilengkapi. Kalau sudah sesuai, penetapan tersangka bisa dilakukan lagi,” ujarnya.
Jermias menjelaskan, berdasarkan teori pembuktian, penetapan tersangka harus memenuhi tiga syarat utama. Pertama, adanya minimum dua alat bukti. Kedua, alat bukti harus diperoleh secara sah sesuai hukum acara pidana. Ketiga, bukti itu harus relevan dengan tindak pidana yang disangkakan. “Kalau syarat itu dipenuhi, penetapan tersangka sah secara hukum,” katanya.
Ia menambahkan, TPPU adalah tindak pidana lanjutan yang selalu mengikuti tindak pidana asal (predicate crime). “Perkara TPPU tetap bisa dibuka kembali karena predicate crime, yaitu penipuan dan penggelapan, sudah terbukti. Hanya saja ada syarat tertentu yang belum dipenuhi penyidik. Itulah yang membuat penetapan tersangka tidak sah,” kata Jermias.
Menurutnya, jalan keluar kasus ini ada pada perbaikan prosedur. “Kalau sudah lengkap, penetapan tersangka bisa diajukan kembali. Kejahatan TPPU tidak akan tertutup karena selalu mengikuti kejahatan asal. Intinya, penyidik harus menyesuaikan langkahnya dengan putusan hakim praperadilan,” ujarnya.