Merdeka Kepundungan

<!-- wp:paragraph --> <p>_{Oleh: Dahlan Iskan}</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p><strong>TERIMA</strong> kasih Farel. Kecil-kecil Anda sudah bisa mengguncang istana. Penampilanmu, meski kali ini agak kaku, bisa melupakan sejenak pada Ferdy Sambo.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Seluruh Banyuwangi bangga padamu. Juga seluruh Istana Merdeka, Jakarta. Mudah-mudahan Ferdy Sambo juga sempat melihatmu beraksi di halaman Istana. Dan ia bersyukur ada kamu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya tahu kamu –meski kamu tidak tahu saya. Cucu-cucuku tertawa-tawa melihatmu di YouTube. Lalu cari-cari kamu di unggahan lain. Pasti bukan kamu sendiri yang mengunggah itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mungkin orang yang sambil lalu lagi nonton kamu ngamen di pinggir jalan: ayahmu yang masih begitu muda menggendong pengeras suara. Kamu sendiri menyanyi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sambil bergoyang riang. Tanganmu memegang mik yang kabelnya menancap di gendongan ayahmu. Gendongan itu memancarkan musik karaoke. Kamu tinggal mengisinya dengan lagu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tiap hari kamu menyusuri jalan-jalan di kecamatan Srono –40 menit di selatan kota Banyuwangi. Saya dengar kamu juga berjalan sampai kecamatan Genteng. Kecamatan tetangga yang kotanya sedikit lebih besar.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sampai malam-malam. Tapi kamu tetap sekolah. Karena itu kamu tidak pernah ngamen sampai kota Banyuwangi. Kamu pilih tetap harus sekolah. Tahun ini kamu tamat SD di desamu, Kepundungan, Srono.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Lalu, Merdeka!</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Loncatan itu terjadi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kemarin kamu tidak di pinggir jalan Srono lagi. Kamu di Istana! Di suatu puncak acara kenegaraan yang dulu-dulu sangat sakral. Dari awal sampai akhir.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Istana tahu: popularitasmu luar biasa. Salah satu videomu ditonton 27 juta orang. Satunya lagi 20 juta. Padahal baru sebulan tayang.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Suaramu bagus. Tinggi. Khas. Punya karakter. Saya berdoa kualitas suaramu terjaga sampai dewasa. Banyak penyanyi cilik yang hebat, lalu tenggelam di masa dewasa. Joshua salah satunya. Bukan Yosuanya Sambo –yang baru top setelah kematiannya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tapi ada juga penyanyi cilik yang bertahan. Seperti Sherina.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Masa depan terbuka lebar bagimu. Kini. Begitu banyak menteri ikut berjoget di sekelilingmu kemarin. Bahkan pun Presiden Jokowi sendiri.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya hanya tidak cocok dengan pakaianmu –entah siapa yang memilihkan itu. Tapi saya lihat banyak juga yang senang dengan pilihan itu. Terserah saja.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dari Srono kamu langsung meroket menjadi bintang nasional. Tapi kamu tidak grogi. Kerasnya alam pinggir jalan sepanjang waktu rupanya telah mematangkan jiwamu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kian tahun upacara peringatan hari kemerdekaan di Istana memang kian menarik. Kelompok musiknya juga kian kolosal dan menghibur. Pakaian daerahnya kian beragam. Pakaian daerah telah begitu mendominasi Istana –sejak Pak Jokowi menjadi Presiden Indonesia.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Memang ada yang menggerutu. Istana telah berubah menjadi kurang berwibawa. Sudah jadi arena joget. Tapi rakyat rasanya suka. Pak Jokowi memang jagoan dalam hal mengakomodasikan apa yang disukai rakyat. Lalu dijadikan media komunikasi politiknya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Toh bagian upacara yang sakral tidak dihilangkan. Joget itu terasa ''mengganggu'' kesakralan hanya karena menjadi bagian dari upacara.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Artinya, setelah hura-hura itu upacara resmi baru ditutup. Mungkin memang perlu dipikirkan untuk menutup upacara resmi itu dulu. Baru bagian keduanya pesta rakyat dan kesenian.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tamu-tamu yang datang juga kian banyak yang mengenakan pakaian daerah. Nyaris semua. Rasanya Pak Jokowi telah membuat sejarah baru di sini. Pak Jokowi telah menularkan itu ke seluruh istana.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Yang belum ketularan adalah anggota DPR/MPR. Pak Jokowi konsisten mengenakan pakaian daerah saat berpidato kenegaraan di DPR.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Yakni setiap tanggal 16 Agustus. Sampai tahun ke 8 ini belum ada satu pun anggota DPR yang berubah: mengenakan pakaian daerah dari dapil yang diwakilinya. Atau saya yang kurang melihatnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Farel, Merdeka!<br>(*)</p> <!-- /wp:paragraph -->