Oleh: Dahlan Iskan <strong>INI</strong> kisah tentang John dan Paulus. Dari kolam besar ke ikan besar. Sama-sama dari sapi. John ambil kulitnya Paulus ambil dagingnya. Di bisnis John, apa pun merek-nya, Rp 800.000 ongkosnya. Termasuk bila merek itu Kate Spade New York, LV, pun Hermes. John menunjukkan ke saya tas wanita yang baru saja datang: Kate Spade. Yang tiga warna itu. Tas itu terkelupas. Harus diperbaiki. Istilah kerennya: harus di-make over. Agar jadi seperti baru kembali. Itulah bisnis John: John Anglo Leather. Yang Kamis dua pekan lalu ikut festival UMKM #KemenkeuSatu di Surabaya. Saya berkunjung ke semua gerai UMKM di festival itu. Termasuk ke JohnAnglo Leather. Bertemu bos besarnya: John. Tinggi. Gempal. Ganteng. Muda. Cocok bila ia punya nama John. Tapi itu nama bisnisnya. "Nama asli saya Agus Nanang Ichtiar," ujar John. "Saya Arek Suroboyo," tambahnya. Saya tidak peduli dengan nama aslinya itu. Saya tetap memanggilnya John. Itulah nama resmi artisnya. John memang punya pengalaman panjang di urusan kulit. John pernah 11 tahun bekerja di pabrik kulit ECCO milik perusahaan asing Swedia. Yang juga punya pabrik segala macam perlengkapan wanita berbasis kulit. John tahu cara memasak kulit. Tahu cara memilih kulit. Tahu bagaimana harus memperlakukan kulit. Masalahnya: John tidak ingin terus menjadi karyawan. Ia ingin berwiraswasta. Ia pun berani memproduksi tas dan sepatu kulit. Dengan kualitas tidak kalah dengan merek yang mahal-mahal itu. Ia membuka industri rumahan. Tentu tidak mudah jadi wiraswasta. Tapi setelah menekuni jalan sulit itu John menemukan celah yang dulunya tidak terlihat: make over. Pengusaha kadang baru menemukan celah ketika sudah menerjuni bisnis awal. Yang diinginkan: memproduksi tas. Yang ditemukan: make over. Itu jalan tak terduga di tengah perjalanan bisnisnya. Ternyata begitu banyak wanita yang sayang tas mahalnya. Tapi tas itu kadang mengalami kecelakaan. Maka John yang bisa menyelamatkannya. John pun masuk ke celah yang tersembunyi itu: make over. Pengalamannya yang panjang di ECCO membuat John tidak canggung membongkar tas mahal-mahal. Untuk diperbaiki. "Dalam melakukan make over kulit tas yang sudah terluka kita ganti. Persis sama," katanya. Kalau yang luka bagian depannya, yang belakang pun sekalian kita ganti. Agar kedua sisinya sama. Itu sebernarnya sama saja dengan membuat tas baru. Betul begitu? "Iya dan tidak," katanya. Ada unsur ''tidak'' - nya. Bagian dalam tas mahal itu tidak diganti. Tidak dibuang. Dipakai lagi sepenuhnya. Yang bentuknya seperti kain sutera lembut itu. Bagian dalam tas bisa dikembalikan seperti semula. Itu yang membuat tidak terasa kalau tas tersebut sudah di-make over. Apalagi logo mereknya juga dikembalikan di posisi aslinya. Pegangan tasnya memang diganti, tapi logam gantungan yang asli dipakai kembali. Di logam itu biasanya ada logo merek aslinya. Orang pun tidak tahu kalau pegangan tas itu sudah dibuat baru. John tentu juga bikin tas baru. Dengan merek JohnAnglo. Tidak hanya dari kulit sapi. Ia juga membuat tas yang bahannya dari kulit buaya. Croco. Juga yang dari kulit ular. Kalau saja tas-tas merek John Anglo itu tidak dipajang di kios UMKM bisa jadi dikira bikinan Florida atau Milano. John memilih kata ''Anglo'' memang dimaksudkan agar ejaannya mirip-mirip kata dalam bahasa Italia. Sekarang, tentang Paulus. Make over juga dilakukan Paulus. Di bidang lain. Dulunya Paulus juga bekerja di restoran terkemuka: Ultimo. Di kawasan wisata utama Bali. Itu restoran bintang lima. Masakan Eropa-Amerika. Saya belum pernah ke sana: takut pada harganya. Satu pizza saja Rp 750.000. Kalau makan dengan steak-nya bisa habis Rp 3 juta. Waktu terjadi Covid, resto itu tutup. Demikian juga resto bintang lima lainnya di seluruh pulau Dewata. Bali seperti mati. Pemilik resto itu pulang ke negaranya. Paulus juga harus pulang: ke Surabaya. Tanpa pekerjaan. Tanpa penghasilan. Yang ia miliki adalah keahlian. Ahli masak. Ahli membuat steak. Ahli memilih daging. Ahli membuat pizza. Ahli memilih keju berkualitas. Pulang ke Surabaya, Paulus pun survei. Ia pun tahu bahan baku untuk resto Ultimo bisa didapat di Surabaya. Ada importer daging dan keju jenis yang ia perlukan. Maka Paulus memutuskan: bikin restoran bintang lima di kaki lima di daerah elite Surabaya: CitraLand. Ia beli peralatan dapur yang memenuhi syarat untuk membuat steak dan pizza kelas bintang lima. Tidak perlu baru. Agar terjangkau. Ia pun beli bahan-bahan bangunan bekas. Ia atur dengan selera seni bahan bekas. Ini kaki lima tapi ada sekat dan sedikit atap. Ada meja dan kursi bekas. Dipoles dengan rasa seni. Saya diajak mantan (?) Presiden Persebaya, yang saya belum lupa namanya, makan di situ. Benar-benar makanan bintang lima. Rasa dan tekstur steaknya serasa makan steak di Texas. Tapi ini kaki lima. Dan pizza kejunya: seperti lagi makan di Milan. Dengan harga kaki lima. "Di resto tempat saya kerja dulu, pizza ini dijual Rp 750.000," ujar Paulus. "Di sini hanya Rp 45.000," tambahnya. Bahannya sama. Rasanya sama. Karir Paulus dimulai dari DJ. "Untuk bisa memimpin restoran dengan baik harus berawal dari DJ," katanya. Saya terbengong mendengar itu. Apa hubungan restoran dengan pengatur lagu di diskotek? Ternyata DJ yang ia maksud adalah pekerjaan cuci piring. "Kami, di dunia resto, menyebut pencuci piring itu DJ. Gerakannya kan sama," guraunya. Dari DJ, Paulus magang di dapur. Lalu belajar masak. Naik jadi chef. Terakhir jadi general manager dengan gaji di atas Rp 100 juta per bulan. Gara-gara covid kini Paulus jadi bos. Di kaki lima miliknya: Steak BRO!. Covid telah membuat orang berkantong kaki lima bisa makan steak bintang lima. (*)
John Anglo Bro
Senin 10-10-2022,08:10 WIB
Editor : admin
Kategori :