Kodok Pasuruan

Minggu 04-06-2023,15:24 WIB
Reporter : Muhammad Fadly
Editor : Muhammad Fadly

<strong>Oleh: Dahlan Iskan</strong> <strong>ADA</strong> Elingpiade di Kota Pasuruan. Hari Minggu lalu. Lebih dari 1.000 anak SD/SMP berkumpul di lapangan depan GOR Untung Suropati. Mereka dolanan –bermain-main gaya sebelum ada mainan modern. Saya pun lupa: pernah bisa bikin kodok-kodokan dari sarung. Waktu kecil. Saya pernah menulis tentang sarung sebagai pakaian yang paling fleksibel. Mulai bisa untuk salat, angkut kacang tanah, sampai untuk menghilangkan rasa lapar. Yakni dengan cara mengikatkan sarung ke perut. Kuat-kuat. Saya lupa menyebut bahwa sarung juga bisa jadi kodok. Elingpiade ini membuat saya eling (ingat) kemampuan lama itu: membuat sarung jadi katak. Pembukaan Elingpiade ini ditandai dengan mainan pula. Semua siswa diberi mainan ''kitiran berisik'': kincir bergagang. Putaran kincir itu bisa menggerakkan pemukul gendang kecil. Menimbulkan bunyi berisik. Lebih dari 1.000 siswa yang hadir dikomando. Komando pertama: mainkan hompimpah. Komando kedua: mainkan kitiran berisik. Tidak ada pidato. Wali Kota Pasuruan Gus Ipul tidak mau pidato. Sekjen PB NU itu pilih membuka Elingpiade dengan cara ikut dolanan. Maka sang wali kota, wakilnya, kepala dinas pendidikan, tim senam saya, kembali menjadi anak-anak. Maka menggemalah kalimat bersama ini: "hompimpah alaihom gambreng" disusul dengan bunyi ribuan kitiran berisik dari berbagai sudut lapangan itu. Ternyata semua menikmati permainan ini. Yang tua pun jadi sulit dikendalikan. Mereka tidak mau berhenti mengayun-ayunkan kincir berisik di tangan mereka. Maka lahirlah bunyi serentak seperti suara berjuta gareng-pung. Maka jadilah acara pembukaan Elingpiade ini liar. Itu pertanda tujuan acara ini berhasil: bisa membuat anak-anak lupa gadget. Mereka asyik dengan kitiran gareng pung. Penggagas acara ini adalah Irfandi dan Ridho Saiful. Berkolaborasi dengan Harian Disway dan Pemkot Pasuruan. Irfandi pendiri gerakan ''Lali Gadget''. Asal Mojokerto. Ia mendirikan kampung mainan di desanya. Tujuannya: agar anak bisa meninggalkan gadget biar pun sesaat. Di Kampung Lali Gadget itu disediakan banyak mainan tradisional. Juga diajari cara bermain. Lali artinya lupa. Saya pun sudah banyak yang lupa permainan masa kecil. Misalnya ketika para siswa di Pasuruan itu diminta membuat lingkaran-lingkaran kecil. Satu lingkaran lima siswa. Mereka lalu diminta menghadap ke luar lingkaran. Lima siswa itu diminta mengaitkan kaki-kaki mereka yang ditekuk ke belakang. Lalu, dengan satu kaki, mereka berloncat-loncat sambil melakukan gerakan berputar. Serunya bukan main. Penuh gelak tawa. Penuh kebersamaan. Kalau mereka egois lingkaran itu bubar. Kalah. Gadget membuat anak individualis. Mainan lama ini membuat anak bekerja sama. Sekolah yang mengirim grup dolanan ke Elingpiade diwajibkan membawa sarung. Ada 12 permainan yang menggunakan sarung. Salah satunya tidak pernah saya lakukan di masa kecil: sarung sebagai kapal. Dengan sarung itu mereka seolah sedang di atas sebuah kapal. Lalu berlomba mencapai finis dengan berjalan seolah sedang terayun ombak. Mungkin ini asalnya dari anak-anak di daerah pesisir. Saya dari pedalaman. Kali pertama melihat laut setelah tamat Aliyah (SMA). Sekali melihat langsung mengarunginya: merantau ke Samarinda. Lalu Elingpiade ini mengingatkan saya ke ''kodok sarung'' tadi. Nama permainannya estafet kodok. Sudah 60 tahun saya tidak melihat permainan ini. Tapi begitu melihat mereka mengubah sarung menjadi kodok, saya pun langsung bisa melakukannya: sarung dihampar di lantai, digulung dari dua sisinya. Gulungan dari kiri dan kanan bertemu di tengah. Lalu dilipat dua. Empat buncu sarung pun ditarik. Jadilah kodok-kodokan. Semacam kodok yang besar berkaki empat. Zaman itu bentuk tersebut seperti kodok beneran: dalam imajinasi. Imaji anak-anak memang harus dibangun. Agar bisa memiliki kemampuan membayangkan apa saja. Termasuk membayangkan masa depan mereka. Permainan yang berbentuk sesuai dengan aslinya membuat pikiran anak menjadi dangkal. Ia seperti orang membaca pamlet. Tidak dalam seperti membaca puisi. Setelah kodoknya jadi, siswa diminta berbaris. Satu SD satu baris. Tiap baris 10 siswa. Siswa yang paling depan membawa kodok itu. Yang di belakangnya merunduk memegang pantat yang di depannya. Jadilah seperti ular panjang. SD yang lain melakukan hal yang sama di barisan sebelahnya. Mereka berlomba. SD mana yang juara. Setelah peluit berbunyi, yang paling depan itu menyerahkan kodok ke siswa di belakangnya. Cara menyerahkannya harus lewat selangkangan. Sambil agak menungging. Begitu berhasil menyerahkan kodok itu, ia lari ke paling belakang. Menempel di temannya yang paling belakang. Begitulah kodok secara estafet diserahkan lewat selangkangan ke siswa di belakangnya. Yang paling cepat mencapai finis merekalah juaranya. Mainan apa yang paling diminati di kampung Lali Gadget? "Egrang," ujar Irfandi. Di sana disediakan egrang setinggi hampir 2 meter. Banyak sekali yang mencoba bisa beregrang. Yakni berjalanan dengan ''sandal'' bambu sepanjang 2 meter itu. Anda yang ingin merasa ukuran tubuh Anda tinggi sering-seringlah beregrang. Kalau di Olimpiade olahraga diawali dengan janji atlet, di Elingpiade ini diawali dengan Proklamasi Dolanan. Irfandi membacakan teks proklamasi itu. Siswa yang jadi peserta Elingpiade menirukannya: <strong>Proklamasi Bangsa Bermain</strong> "Kami bangsa bermain, dengan ini menyatakan kemerdekaan Negeri Keragaman Republik Dolanan" "Hal-hal yang mengenai alat mainan, lokasi bermain, siapa pemainnya, akan diselenggarakan dengan kegembiraan, dalam waktu seasyik-asyiknya dan dalam tempo yang selonggar-longgarnya". (<strong>Dahlan Iskan</strong>)

Tags :
Kategori :

Terkait