Jejak Emas, Luka Bumi Dampak Pertambangan terhadap Iklim dan Lingkungan di Luwu

Potret banjir bandang yang melanda Kabupaten Luwu 2024 lalu, diduga diakibatkan pembukaan lahan tambang emas. Foto: ist--
DISWAY, SULSEL - Jelang Hari Bumi 2025 jatuh pada Selasa, 22 April 2025. Aktivis Lingkungan Hidup, Ketua LSM Forum Komunitas Hijau, Ahmad Yusran mengulik spiritual ekologi masyarakat tentang kilau emas dan luka bumi terhadap perubahan iklim di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan yang menyimpan kekayaan alam luar biasa, termasuk sumber daya tambang emas.
Menurut Yusran, seiring dengan meningkatnya aktivitas pertambangan, baik legal maupun ilegal, muncul pula luka ekologis yang menganga merusak alam, memicu krisis iklim, dan mengguncang kehidupan masyarakat lokal melalui sejumlah aspek.
Ledakan Pertambangan dan Ancaman Tersembunyi
Wilayah-wilayah seperti Latimojong, Bastem, dan Rongkong kini menjadi titik panas pertambangan emas. Banyak operasi tambang berlangsung tanpa izin resmi, mengabaikan prinsip keberlanjutan, dan luput dari pengawasan lingkungan. Hutan dibabat, bukit digali, dan sungai tercemar dalam kejaran keuntungan jangka pendek.
Deforestasi dan Degradasi Ekosistem
Hutan tropis Luwu yang dahulu menjadi benteng karbon dan sumber kehidupan bagi flora-fauna kini terkoyak. Alih fungsi hutan untuk pertambangan menyebabkan deforestasi yang mempercepat krisis iklim. Fragmentasi habitat juga mengancam keanekaragaman hayati dan memperburuk bencana ekologis seperti banjir dan longsor.
Pencemaran dan Krisis Air
Penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida dalam proses pemurnian emas telah mencemari sungai-sungai utama. Limbah tambang yang dibuang sembarangan menyebabkan kerusakan kualitas air, mematikan biota sungai, dan membahayakan kesehatan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada air bersih.
"Bahkan Luwu yang dahulu menjadi benteng karbon dan sumber kehidupan bagi flora-fauna kini terkoyak. Alih fungsi hutan untuk pertambangan menyebabkan deforestasi yang mempercepat krisis iklim. Fragmentasi habitat juga mengancam keanekaragaman hayati dan memperburuk bencana ekologis seperti banjir dan longsor,"kata Ahmad Yusran Minggu (20/42025).
Penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida dalam proses pemurnian emas telah mencemari sungai-sungai utama. Limbah tambang yang dibuang sembarangan menyebabkan kerusakan kualitas air, mematikan biota sungai, dan membahayakan kesehatan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada air bersih.
Jejak Karbon Tambang Emas
Tak banyak yang menyadari bahwa aktivitas tambang emas sangat intensif karbon. Dari penggunaan alat berat berbahan bakar diesel hingga penghancuran vegetasi penyerap karbon, seluruh proses menambah emisi gas rumah kaca. Ini menjadikan pertambangan sebagai salah satu kontributor tersembunyi dalam krisis iklim global.
Di tengah gemuruh alat berat dan kilau emas, masyarakat lokal justru merasakan getir. Lahan pertanian hilang, akses ke air bersih terganggu, dan ketegangan sosial meningkat. Banyak warga, khususnya masyarakat adat, terpaksa kehilangan ruang hidup yang telah mereka jaga secara turun-temurun.
Menurut Yusran, para pihak butuh langkah tegas dan kolaboratif. Pemerintah harus menindak tambang ilegal dan meninjau ulang izin-izin eksploitasi yang merugikan ekosistem. Audit lingkungan perlu dilakukan secara berkala, disertai pemulihan lahan pasca-tambang. Masyarakat lokal harus dilibatkan sebagai penjaga dan pengelola sumber daya.
Sumber: