<strong>Oleh: Dahlan Iskan</strong> <p style="font-weight: 400;">HARI ini genap tiga bulan konflik besar Hamas-Israel. Belum ada tanda-tanda berakhir.</p> <p style="font-weight: 400;">Begitu kuatkah Hamas? Sampai mampu bertahan dari gempuran dahsyat pasukan Israel –yang didukung Amerika?</p> <p style="font-weight: 400;">Pun sampai sekarang Israel belum mampu membebaskan warganya yang ditahan Hamas? Begitu hebatkah Hamas mempertahankan diri? Termasuk dalam merahasiakan tempat penahanan para sandera itu?</p> <p style="font-weight: 400;">Tidak mudah menyembunyikan mereka. Jumlahnya 103 orang. Tentara semua. Bagaimana Hamas bisa menyekap begitu banyak tentara Israel. Hanya dalam satu serangan tanggal 7 Oktober.</p> <p style="font-weight: 400;">Atau, jangan-jangan sebaliknya.</p> <p style="font-weight: 400;">Begitu menurun kah kemampuan tentara Israel? Sampai belum bisa membebaskan sandera? Mengapa pasukan elite Israel tidak tampak seperti saat membebaskan sandera di Afrika?</p> <p style="font-weight: 400;">Pun reputasi intelijennya yang begitu tinggi: Mossad. Begitu melemah kah intelijen Israel? Sampai di tanggal 7 Oktober lalu kebobolan serangan dadakan dari Hamas yang begitu besar?</p> <p style="font-weight: 400;">Saya ke MER-C kemarin. Yang kantornya berlantai lima di Jalan Kramat Lontar Jakarta. Saya bertemu dengan ketua presidiumnya: dokter Sarbini Abdul Murad. Biasa dipanggil dokter Ben.</p> <p style="font-weight: 400;">Hampir dua jam kami ngobrol soal Palestina, Hamas, dan Rumah Sakit Indonesia yang dibangun MER-C di Gaza.</p> <p style="font-weight: 400;">Rumah sakit itu kini kosong. Semua dokter dan perawatnya mengungsi. Rumah sakit itu rusak diserang Israel. Kena hantaman mortir dan sebangsanya.</p> <p style="font-weight: 400;">Pun dua relawan MER-C yang mencoba bertahan di <em>basement</em> RS Indonesia. Mereka adalah Reza Aldila Kurniawan dan Fikri Rafiul Haq.</p> <p style="font-weight: 400;">Reza asal Singkawang, Kalbar. Sudah 8 tahun di Gaza. Fikri asal Ciulengsi, Bogor. Dari pesantren Al Fatah. Keduanya juga mengungsi ke selatan.</p> <p style="font-weight: 400;">Setelah semua orang mengungsi, RS kosong. Israel memang memberi ultimatum: semua orang Palestina harus mengungsi ke selatan. Gaza tengah dan utara akan digempur senjata.</p> <p style="font-weight: 400;">"Kami memang minta, kalau merekan semua mengungsi, dua orang itu, harus ikut mengungsi," ujar dr Ben.</p> <p style="font-weight: 400;">MER-C didirikan lima orang aktivis –empat di antaranya dokter. Termasuk dokter Jose Rizal dari UI dan dokter Ben dari Unsyiah. Dokter Jose Rizal, asal Sumbar, meninggal dunia beberapa tahun lalu.</p> <p style="font-weight: 400;">Awalnya mereka adalah relawan yang terjun sebagai tenaga medis dalam konflik Ambon. Mereka umumnya para dokter lulusan Universitas Indonesia.</p> <p style="font-weight: 400;">Setelah konflik teratasi, mereka membuat wadah itu: MER-C. Di tahun 1999. Anda sudah tahu, MER-C: singkatan dari Medical Emergency Rescue Committee. "Kenapa ada tanda penghubung sebelum huruf C?"</p> <p style="font-weight: 400;">"Itu agar kelihatan keren saja," ujar dr Ben lantas tersenyum. Pun ketika diucapkan, MER-C terdengar seperti nama mobil mewah. "Sebenarnya ada usul nama-nama lain tapi kami sepakati yang MER-C," tambahnya.</p> <p style="font-weight: 400;">Dari Ambon mereka mendapat keahlian penanganan medis di tempat yang gawat. Maka ketika terjadi Tsunami di Aceh (2004) MER-C juga terjun ke sana.</p> <p style="font-weight: 400;">Dokter Ben sendiri orang Aceh. Lahir di Bireuen. Setamat SMAN 2 Banda Aceh ia masuk fakultas kedokteran Universitas Syiah Kuala. Lulus tahun 1998. Lalu merantau ke Jakarta.</p> <p style="font-weight: 400;">Ayahnya pegawai kantor pajak di Aceh. Tapi sang ayah tidak pernah menjadikan pajak sebagai mata air kekayaan. Sang ayah pilih jadi air mata: sampai pensiun tidak punya rumah untuk keluarga.</p> <p style="font-weight: 400;">Sang ayah <em>husnul khatimah</em>. Ia syahid: meninggal sebagai korban tsunami. Pun salah satu kakak dan keponakan kecilnya.</p> <p style="font-weight: 400;">Waktu itu ayah-ibu dan kakak dr Ben sempat lari dikejar tsunami. Pun si kecil, anak sang kakak, berhasil digendong. Mereka menuju masjid di desa itu. Masjid berlantai dua.</p> <p style="font-weight: 400;">Sang ibu lari sambil menggendong si kecil –umur 2 tahun. Diikuti kakak Ben, ayah si kecil. Sampai di masjid mereka akan naik ke lantai atas. Sebelum naik tangga, sang ibu menyerahkan gendongan itu ke ayah si kecil. Takut jatuh.</p> <p style="font-weight: 400;">Sang ibu berhasil naik tangga. Selamat. Sampai di lantai dua. Tapi si kecil yang digendong bapaknya tersapu tsunami.</p> <p style="font-weight: 400;">Bagaimana dengan ayah dokter Ben? Sebelum sampai masjid sang ayah ingat sesuatu: rumah belum dikunci. Ia balik ke rumah. Tidak kembali lagi.</p> <p style="font-weight: 400;">Sehari setelah tsunami, dokter Ben sudah tiba di Aceh. Sebagai MER-C. Juga sebagai anak yang kehilangan ayahnya.</p> <p style="font-weight: 400;">Ketika Palestina terus menderita, MER-C mendiskusikannya. Apa yang bisa diperbuat untuk Palestina. "Kami melihat konflik Israel-Palestina ini tidak akan selesai. Sampai akhir zaman," ujar dr Ben. "Karena itu bentuk bantuan yang kita berikan harus pula yang bersifat jangka panjang," tambahnya.</p> <p style="font-weight: 400;">Begitulah latar belakangnya: muncul ide membangun rumah sakit Indonesia di Gaza. <b><strong>(Dahlan Iskan)</strong></b></p>
Gaza Ben
Minggu 07-01-2024,05:16 WIB
Editor : Muhammad Fadly
Kategori :