Pendidikan Pemilih Berkelanjutan: Upaya Mewujudkan Meaningful Participation

Komisioner KPU Gowa, Dr Suardi Mansing --
Oleh : Dr. Suardi Mansing, S.Pd.I., M.Pd.I. Komisioner KPU Gowa (Ketua Divisi Sosdiklih, Parmas, & SDM)
Pemilihan umum (pemilu) merupakan pilar utama demokrasi yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menentukan arah kepemimpinan dan kebijakan negara. Namun, keberhasilan pemilu tidak hanya diukur dari tingginya angka partisipasi pemilih, melainkan juga dari kualitas partisipasi tersebut.
Di sinilah konsep meaningful participation atau partisipasi bermakna menjadi relevan. Partisipasi bermakna mengacu pada keterlibatan masyarakat yang tidak sekadar hadir dan mencoblos di tempat pemungutan suara (TPS), tetapi juga memahami, mengkritisi, dan memberikan kontribusi substantif dalam proses demokrasi, baik saat pemilu maupun pemilihan (Pilkada).
Meaningful participation dalam konteks pemilu maupun pemilihan, dapat dipahami sebagai keterlibatan warga negara yang aktif, informatif, dan reflektif dalam seluruh tahapan proses elektoral. Konsep ini melampaui partisipasi pasif yang hanya mengandalkan kehadiran fisik di tempat pemungutan suara.
Partisipasi bermakna mencakup beberapa dimensi penting, seperti pemahaman terhadap isu-isu politik dan kebijakan publik, kemampuan untuk membuat pilihan yang rasional berdasarkan informasi yang akurat, keterlibatan dalam diskusi publik dan deliberasi politik, serta pengawasan terhadap proses pemilu dan kinerja para pemimpin terpilih.
Dalam praktiknya, meaningful participation mensyaratkan adanya literasi politik yang memadai di kalangan masyarakat, minimal pemilih tidak hanya mengetahui siapa kandidat yang akan dipilih, tetapi juga memahami visi, misi, track record, dan program kerja yang ditawarkan.
Lebih jauh lagi, pemilih yang berpartisipasi secara bermakna mampu menganalisis kesesuaian antara janji kampanye dengan kebutuhan riil masyarakat, relevansi antara ruang kewenangan jabatan dengan janji kampanye, serta memprediksi dampak dari pilihan politik yang diambil, minimal memprediksi implikasinya terhadap pekerjaan atau aktivitas kesehariannya.
Meskipun ideal, meaningful participation tentu menghadapi berbagai tantangan dalam upaya atau proses implementasinya. Salah satu tantangan utamanya adalah rendahnya tingkat literasi politik masyarakat Indonesia saat ini.
Hal itu disebabkan karena masih banyaknya pemilih yang tidak memiliki akses terhadap informasi politik yang berkualitas, atau bahkan justru terpapar oleh disinformasi dan hoaks yang menyesatkan.
Selain itu, yang tidak bisa dipungkiri juga bahwa kondisi tersebut semakin diperparah oleh masih maraknya politik uang dan transaksional yang menggerus esensi demokrasi dengan mereduksi pemilu menjadi sekadar ruang pertukaran suara dengan materi.
Tantangan lainnya adalah ketimpangan akses terhadap ruang partisipasi politik. Kelompok marginal seperti perempuan, masyarakat adat, penyandang disabilitas, dan komunitas di daerah atau wilayah terpencil, termasuk yang jauh dari pusat ruang-ruang publik seperti pedesaan, seringkali menghadapi hambatan struktural dan kultural yang membatasi keterlibatan mereka dalam proses politik.
Padahal, nilai inklusivitas merupakan prasyarat bagi terciptanya meaningful participation yang sejati, sesuai prinsip pendidikan pemilih yang digalakkan oleh KPU.
Selain itu, ruang partisipasi politik yang autentik oleh aktor politik masih terlihat sempit karena masyarakat masih menjadi objek mobilisasi massa saja ketika pemilu.
Untuk mewujudkan meaningful participation dalam pemilu, diperlukan upaya sistematis dari KPU dengan bantuan berbagai pihak. Tajuk program pendidikan pemilih berkelanjutan sebagai upaya sistematis itu, secara praktikal diwujudkan melalui: pertama, "KPU Mengajar" dengan memprioritas pendidikan politik melalui jalur formal di sekolah.
Sumber: