<!-- wp:paragraph --> <p>Oleh: Dahlan Iskan</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>SAYA tidak dijemput Robert Lai. Tanpa Robert, Bandara Changi terasa lebih sepi. Ia masih belum mau bertemu banyak orang. Demi sang istri –yang sangat rentan akan Covid-19.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Pun setelah Singapura dinyatakan merdeka dari pandemi. Orang-orang masih taat mengenakan masker. Atas kesadaran sendiri.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya berjalan di sepanjang Orchard Road. Malam hari. Juga keesokan paginya. Jarang sekali melihat orang yang tanpa masker. Padahal peraturan sudah memperbolehkan bebas masker di luar ruang.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Lalu-lintas di Singapura juga sudah hampir pulih. Sudah sekitar 80 persen. Mal-mal juga sudah di sekitar itu. Begitu banyak orang Indonesia: di jalan, di mal, di resto, di RS, dan di mana saja.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Banyak yang menyapa saya. Banyak juga yang diam-diam memotret saya: mengirimkannya ke keluarga saya –untuk dikirim ke saya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di Ayam Hainan, saya bertemu orang Malang. Di Far East. Sebelah Grand Hyatt itu. Saya keduluan dibayari. Semua meja di resto ini ngomongnya Indonesia.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di Paris Baguette ketemu orang Jakarta. Di mal 313 itu. Salah satunya menghampiri meja saya: hanya karena mendengar suara saya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di jalan saya ketemu orang Bangka yang kerja di Singtel. Ibaratnya, Singapura sudah seperti kita jajah sepenuhnya. Hidup Indonesia!</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Untuk memesan tempat di restoran sulitnya bukan main. Teman saya, campuran dari Medan-Jakarta-Surabaya, harus bayar deposito untuk pesan tempat di resto masakan Jepang. Di sebelah Marriott yang baru itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Jangan sampai tidak datang ya. Deposito bisa hilang," katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Keesokan harinya, teman lama di Singapura, pengusaha besar, mengajak makan siang. Mintanya jam 11.00. Ia sudah punya jadwal lain pukul 13.00.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Penuh.<br>Semua.<br>Di mana-mana.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Akhirnya kami baru bisa dapat waktu jam 14.00. Sekalian biar ia rapat dulu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Padahal belum ada turis dari Tiongkok. Belum ada juga yang dari Hong Kong. Atau Taiwan. Belum ada juga yang dari Jepang. Mereka, hari itu, belum boleh ke luar negeri.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sesekali kita jadi penjajah. Kalau pun tidak dari Indonesia penjajah lainnya adalah dari Vietnam. Pertanda ekonomi Vietnam juga masih bagus. Atau Thailand.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Betapa padatnya Singapura kalau empat negara tadi sudah boleh mengirim turis.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Berangkat ke Singapura saya naik kelas ekonomi. Pakai Singapore Airlines yang paket murah. Penuhnya bukan main. Padahal pesawatnya sudah yang berbadan lebar: A350.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Bandara Juanda sampai kewalahan: kekurangan tenaga. Dari tiga mesin scanner untuk memeriksa barang milik penumpang, hanya satu yang dijalankan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Yang lain tidak rusak. Hanya saja tidak ada yang mengoperasikan. Mereka telanjur mendapat pesangon. Akibat sepi berkepanjangan di kala bencana pandemi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di Singapura tentu saya juga menemui dr Ben Chua. Sudah tiga tahun tidak bertemu. Saya tidak ingin check-up. Saya tidak merasakan kekurangan apa pun. Ring yang ia pasang di tubuh saya baik-baik saja –rasanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Yakni ring sebanyak 670 buah itu. Yang pasang di sepanjang aorta saya: lebih setengah meter. Empat tahun lalu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sebelum Covid, dr Ben Chua memberi informasi: akan membangun klinik vascular sendiri. Yang lebih terjangkau. Sebagai ''protes'' atas mahalnya biaya pengobatan di Singapura. Saya memuji niatnya itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ketika klinik itu jadi, saya tidak bisa ke Singapura.<br>Pandemi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kalau pun saya sering meneleponnya, itu lantaran saya kena Covid-19. Awal tahun lalu. Di ledakan gelombang pertama: varian alpha.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya sendiri bisa sembuh cepat. Tanpa menghentikan obat penurun imunitas –yang harus saya minum seumur hidup. Sejak 16 tahun lalu. Sejak ganti hati dulu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Covid saya bisa berlalu. Tapi ada akibat ikutan: D-Dimer saya tinggi sekali. Sampai 5000. Padahal batas atasnya hanya 500.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Setelah dicoba berbagai obat, akhirnya bisa turun. Hanya sampai 2.500-an. Tidak ada lagi jalan lain. Tidak juga ada keluhan apa pun.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Terus bagaimana lagi cara menurunkannya?<br>"Gampang. Tidak usah lagi periksa ke lab, hahaha," ujar Mr Ben Chua.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sejak itu saya tidak tahu lagi berapa level D-Dimer saya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya juga tidak membicarakannya ketika bertemu dr Ben Chua Kamis lalu. Saya justru mengagumi penurunan berat badannya. Kok bisa menjadi begitu jauh lebih langsing.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Saya lakukan puasa intermittent. Juga mengurangi karbohidrat," katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Setidaknya sudah selama 2,5 tahun terakhir. "Berat badan saya turun 20 Kg. Masih harus turun lagi, kalau bisa 5 kg lagi," katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ia pun membuat teh. Di belakang meja praktiknya, memang ada teko kecil dan beberapa mangkuk kecil. Ia masukkan Chinese tea ke teko itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ia tuangkan air mendidih dari boiler kecil. Ia tuangkan air teh itu ke mangkuk-mangkuk kecil.<br>Istrinya ikut ngobrol. Tidak ikut minum.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sambil minum teh, saya minta cerita tentang kliniknya itu. Yang selama pandemi memiliki keunggulan: tidak perlu opname. Ia lakukan penanganan baru: satu hari selesai.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Ternyata orang senang. Selama pandemi, orang takut opname di RS," katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ngobrol selesai. Saya harus tahu diri. Jadwal Ben Chua ketat.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya pun pamit. Yang penting kini saya sudah tahu ke alamat mana kalau saya harus mencarinya.<br>"Punya waktu?" tanyanya. Tentu saya punya waktu. Harusnya saya yang bertanya begitu padanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Ada apa?" tanya saya balik.<br>"Kalau mau, saya lakukan MRI. Saya ingin lihat apakah Anda baik-baik saja," katanya.<br>"Hahaha… Mau!" jawab saya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mesin MRI itu disiapkan. Masih kelihatan baru. Dipasang dua tahun lalu. "Waktu itu, jenis ini, hanya ada 4 di dunia," katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Jenis alat itu semua dokter tahu: Philips Azurion 7 C20 FlexArm. Populer dengan nama hybrid operating theatre atau angiosuite. Di Amerika disebut Office Based Labs (OBLs) atau Office-Based Cath Lab.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya ''ditembak'' di alat itu. Langsung diajak melihat hasilnya: di layar komputer. "Bagus sekali. Gak usah khawatir," katanya. Ia pun menyerahkan flash disk ke saya. "Ini copy hasil RMI tadi," katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Hari itu empat acara beres. Setiap selesai acara, saya lapor ke Robert Lai. Teman-teman yang saya temui itu adalah juga temannya. Lebih tepatnya: semua itu teman Robert Lai.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Robert pun tahu, ketika saya masih ada sisa waktu 2 jam. Yang kosong acara. Maka Robert menelepon penjual durian: apakah punya Musangking di luar musim durian seperti ini.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Anda ke sana. Durian sudah siap. Saya sudah pesankan," tulis Robert di WA-nya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mau tidak mau, apakah pura-pura terpaksa, saya ke sana. Durian sudah dibayar. Sayang kalau tidak dimakan. Kebetulan ada dua teman asal Sichuan, Tiongkok, yang mau gabung di durian. Ia bekerja di Singapura.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mereka bercerita, orang-orang Tiongkok kini gila durian. Itu dibenarkan oleh penjual durian.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Durian terbaik Malaysia sekarang dikirim ke sana. Dengan harga lebih baik. Kami hanya dapat seperlimanya," ujar penjual durian itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Selesai makan durian, acara makan malam sudah menanti. Teman lain yang dari Singapura akan bergabung. Demikian juga yang asal Fujian. Total 7 orang.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Ini pasti seru," kata saya dalam hati.<br>Acara makan malam itu pasti panjang. Pasti akan ada ''upacara'' setelah makan. Tidak mudah berhenti. Khas mereka. Saya sudah hafal.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya pun bertanya pada tamu asal Sichuan itu: berapa persen orang Tiongkok yang kini suka durian. (*)</p> <!-- /wp:paragraph -->
????
Senin 16-05-2022,07:56 WIB
Editor : admin
Kategori :