Pemkot Makassar

356 Tahun Sulawesi Selatan, Dari Perjanjian Boengaya hingga Kebangkitan Sebagai Identitas Bangsa

356 Tahun Sulawesi Selatan,  Dari Perjanjian Boengaya hingga Kebangkitan Sebagai Identitas Bangsa

--

Oleh : Muhammad Arsyi Jailolo (Ketua Bidang Hubungan Internasional PB HMI)

 

Perubahan zaman dan kebiasaan tata kehidupan masyarakat suatu wilayah selalu dipengaruhi dengan adanya beberapa proses perubahan yang baru. Sulawesi selatan dengan tepat pada hari ini berusia 356 tahun, bukan sebuah usia yang muda, namun memperjelas entitas dan identitas daripada sebuah suku dan bangsa yang dalam dalam jajaran kemajemukan Bangsa Indonesia. 

Sejarah Awal

Tepat 356 tahun yang lalu 19 oktober 1669, namun dari proses pengambilan hari lahirnya Sulawesi Selatan, tak terlepas dari berbagai hal penggabungan beberapa peristiwa sejarah di jazirah selatan Sulawesi dan nasional Indonesia.

Tanggal 19 mengacu pada tanggal 19 agustus 1945, peristiwa kesadaran yang dibangun dari Sulawesi Selatan yang hadir di Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Jakarta.

Bulan oktober mengacu pada peristiwa 15 oktober 1945, dimana seluruh raja kawasan Sulawesi Selatan sepakat mendukung dr. Sam Ratulangi menjadi Gubernur Sulawesi pertama, serta oktober 1674 mengacu pada rekonsiliasi Raja-Raja dan Sultan se-Sulawesi Selatan yang terlibat pada perang Makassar dalam melawan VOC Belanda, pasca runtuhnya Benteng Somba OPU.

Tahun 1669 mengacu pada peristiwa 2 tahun pasca Perang Makassar 1666-1669, yang pada akhirnya melahirkan identitas baru Sulawesi Selatan, ditandainya ditandatanginya Perjanjian Boengaya (perjanjian tertua bangsa eropa di Asia Tenggara) Antara Sultan Hasanuddin dengan Cornelis Speelman dari VOC. Sehingga 19 oktober 1669 menjadi suatu pergolakan momentum sejarah antara Sulawesi Selatan dan Indonesia. 

Perang Makassar  dan Efek Perjanjian Boengaya 

Sebagai penulis peristiwa pasca Perang Makassar 1669 dan juga penandatanganan Perjanjian Boengaya, bukanlah sebuah bentuk kekalahan dalam mempertahankan kedaulatan. Namun I Malombassi Daeng Mattawang Muhammad Baqir Sultan Hasanuddin melakukan sebuah langkah pilihan yang berat.

Identitas Sulawesi Selatan mulai terbentuk ketika La Patau Matanna Tikka Sultan Adzimuddin Idris Raja Bone atau Mangkau Bone ke 16 dan juga Ponakan dari Arung Palakka Sultan Sa'aduddin, melakukan sebuah konsolidasi penyatuan Raja-Raja se Sulawesi Selatan, pasca Perang Makassar berakhir di 1669, dengan tujuan kembali memperbaiki tatanan Politik para penguasa di Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan.

Sebagai Identitas Besar Bangsa Indonesia 

Sebagai penulis, saya menilai Sulawesi Selatan tidak hanya berusia 356 tahun, namun lebih daripada itu kita memiliki peradaban Leang-leang dan juga terutama peradaban literasi, huruf aksara dan tatanan kehidupan yang sangat Jelas dalam Kitab I La Galigo.

Hingga abad munculnya negara-negara di Sulawesi Selatan, khususnya Bugis, Makassar, Luwu, Toraja, dan Mandar di Sulawesi Barat. Terdapat tiga identitas negara besar di Sulawesi Selatan dengan simbolik kepemimpinan. Pajung Ri Luwu, Mangkau'e Ri Bone, dan Sombayya Ri Gowa. 

Mulai dari kepercayaan Dewata'e hingga masuknya Islam, pengenalan peradaban barat, karena banyaknya wilayah pelabuhan bandar niaga di Sulsel sejak zaman dahulu.

Somba Opu, paotere, teluk Bone, Siang (pangkep), dan wilayah Wajo, menjadi sebuah tempat persinggahan bagi seluruh pedagang, pelancong negara asing, baik eropa, majapahit, sriwijaya, dan lain-lain.

Pasca 1669, Belanda melalui VOC membangun sebuah peradaban baru di Sulawesi Selatan, dengan mengambil alih Benteng Ujung Pandang dan mengubahnya menjadi Fort Rotherdam sebagai kantor pusat pemerintahannya hingga terbentuk negara Hindia Belanda oleh Kerajaan Belanda. Terbentuknya Kota Makassar dan melemahnya kerajaan Tallo di utara Makassar, menjadi awal pergeseran tata peradaban dari Lokal menuju westerninasi.

Sumber: