<strong>Oleh: Biyanto, Guru Besar UIN Sunan Ampel</strong> MANTAN senator Amerika Serikat dan penggagas yayasan beasiswa Fulbright, James William Fulbright (1905–1995), pernah menyatakan, the education is a slow movement, but powerful force. Ungkapan itu bermakna bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Meski bergerak lambat, investasi melalui pendidikan memiliki daya dobrak yang luar biasa dahsyat. Pernyataan Fulbright layak direnungkan karena ada begitu banyak harapan yang dialamatkan kepada dunia pendidikan. Institusi pendidikan diharapkan mampu berkontribusi dalam penyelesaian berbagai persoalan bangsa. Sejujurnya, harus diakui bahwa banyak persoalan yang dihadapi bangsa. Sebagai contoh, sendi-sendi kehidupan berbangsa terus digerogoti virus korupsi dalam berbagai ekspresi. Dampaknya, negeri tercinta menjadi rapuh dan nyaris kehilangan kepercayaan publik. Publik lantas bertanya-tanya, apa sumbangsih lembaga pendidikan untuk mengatasi persoalan korupsi yang begitu akut? Apalagi, jika diamati, ternyata mereka yang terlibat kasus korupsi juga berasal dari kalangan terpelajar. Bahkan, sebagian mereka adalah lulusan pendidikan tinggi bergelar doktor dan profesor. Pertanyaan selanjutnya, apa yang salah dengan institusi pendidikan kita? Mengapa lembaga pendidikan banyak ”menernak” koruptor? Terma ”menernak koruptor” pernah dikemukakan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Senada dengan Mahfud, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyatakan bahwa 86 persen pelaku korupsi itu berpendidikan tinggi. Data tersebut merupakan ironi bagi dunia pendidikan. Padahal, lembaga pendidikan dengan semua sumber daya yang dimiliki seharusnya menghasilkan sebanyak-banyaknya insan berintegritas sekaligus pahlawan gerakan antikorupsi. Pada konteks itulah, berbagai elemen masyarakat menganggap penting untuk memberikan materi pendidikan antikorupsi, mulai pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi. Berbagai program dicanangkan. Salah satunya adalah program Kantin Kejujuran. Sayang, program itu gagal karena sekolah sasaran program tersebut mengalami kebangkrutan. PENDIDIKAN DAN BUDAYA KEWARGAAN Persoalan budaya kewargaan (civic culture) seperti toleransi dan keramahtamahan yang selama ini menjadi identitas bangsa juga tergerus seiring munculnya insiden intoleransi dan radikalisme di tengah-tengah masyarakat. Sebagian elemen bangsa menyimpulkan bahwa budaya kewargaan yang tergerus itu disebabkan kalangan terdidik tidak lagi memperoleh pendidikan Pancasila. Tuntutan untuk memasukkan Pancasila dalam kurikulum pendidikan pun terus didengungkan. Nilai-nilai Pancasila penting diajarkan untuk menggugah kesadaran berbangsa dan bernegara di kalangan kaum muda. Bermula dari kesadaran itulah, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencanangkan pentingnya mewujudkan profil pelajar Pancasila. Profil pelajar Pancasila tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020–2024. Profil pelajar Pancasila digambarkan sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Karakter pelajar Pancasila adalah beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Berbagai insiden seperti kekerasan seksual, perundungan, intoleransi, tawuran antar pelajar, narkoba, perdagangan manusia, dan tindakan asusila lainnya layaknya sebuah ironi karena justru terjadi di dunia pendidikan dan melibatkan kalangan terpelajar. Pertanyaannya, rentetan berita negatif itukah hasil pendidikan yang telah menyedot anggaran negara hingga mencapai 20 persen? Bahkan, di sejumlah pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota, alokasi anggaran pendidikan melampaui angka 20 persen. Anggaran jumbo tersebut tentu tidak sepadan jika dibandingkan dengan capaian pendidikan nasional. Rasanya semua elemen bangsa bersepakat jika dikatakan bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Dalam peta jalan pendidikan nasional, kita juga berkomitmen untuk mewujudkan generasi emas 2045. Ketika itu, negeri ini genap berusia satu abad. Dengan kata lain, pada 2045 kita merayakan seratus tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan kondisi dunia pendidikan nasional yang masih berlepotan dengan banyak ”noda” itu, rasanya cita-cita mewujudkan generasi emas harus diperjuangkan lebih keras. Pemerintah tentu tidak bisa sendiri mewujudkan cita-cita mulia tersebut. Pasti dibutuhkan kemitraan strategis yang melibatkan semua elemen bangsa. Pendidikan nasional juga diharapkan mampu melahirkan generasi emas yang berkarakter keindonesiaan. Untuk itu, peserta didik penting dikenalkan ideologi negara, identitas nasional, dan keanekaragaman budaya daerah. Pendidikan juga dipandang sebagai media yang strategis untuk menyembuhkan berbagai penyakit sosial. Bahkan, di tengah kampanye untuk mewujudkan lingkungan bersih, sehat, dan hijau, lembaga pendidikan dinilai sangat strategis untuk mengembangkan pendidikan berwawasan lingkungan. Karena itulah, disusun kurikulum lingkungan hidup dengan harapan akan terlahir kader lingkungan yang andal. STRATEGI INTERNALISASI NILAI-NILAI Sebagai institusi yang diharapkan begitu banyak elemen bangsa, penyelenggara dan pegiat pendidikan harus menemukan strategi yang tepat untuk mengajarkan materi yang menjadi kebutuhan masyarakat. Paling tidak, ada dua strategi yang dapat dilakukan. Pertama, menyiapkan kurikulum sesuai dengan profil lulusan yang dikehendaki. Dengan begitu banyak harapan yang diinginkan masyarakat, dapat dibayangkan betapa gemuk struktur kurikulum dalam satuan pendidikan. Padahal, saat ini kurikulum pendidikan nasional sudah overload karena begitu banyak mata pelajaran. Kedua, melalui strategi penyisipan materi pendidikan berupa nilai-nilai yang menjadi kebutuhan masyarakat. Strategi penyisipan materi pendidikan itu terasa paling memungkinkan. Melalui strategi penyisipan, penyampaian materi pendidikan akan lebih fleksibel. Hal itu berarti tidak harus ada tambahan mata pelajaran baru. Strategi kedua tersebut sejalan dengan semangat yang dikembangkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Kemendikbudristek menekankan pentingnya perampingan kurikulum sehingga ada beberapa mata pelajaran yang diintegrasikan. Dengan strategi penyisipan itu, para pendidik dapat berkreasi untuk menyusun sebanyak-banyaknya modul yang relevan. Misalnya, materi pendidikan antikorupsi, lingkungan hidup, civic culture, keselamatan berlalu lintas, pendidikan seks dan kesehatan reproduksi, serta pencegahan virus HIV/AIDS. Selanjutnya, modul itu dijadikan sebagai salah satu sumber belajar. Yang perlu diingat, pendidikan berbagai materi yang dibutuhkan itu tidak boleh sekadar transfer pengetahuan. Yang jauh lebih penting dari sistem pendidikan adalah menumbuhkan afeksi peserta didik sehingga mewujud dalam perilaku kehidupan sehari-hari (living education). Selain melalui penyisipan materi pelajaran, ada satu variabel yang terasa hilang dari proses pembelajaran, yaitu keteladanan. Berbagai ironi yang terjadi di dunia pendidikan itu jika dicari penyebabnya adalah tiadanya keteladanan. Keteladanan mutlak dibutuhkan untuk membentuk pribadi berintegritas dan berakhlak mulia. Pada konteks itulah setiap orang yang memiliki keprihatinan terhadap nasib generasi mendatang wajib menghadirkan keteladanan di rumah, sekolah, dan lingkungan sosial. (<strong>Biyanto</strong>)
Masa Depan Pendidikan Indonesia
Rabu 14-08-2024,07:00 WIB
Oleh: Muhammad Fadly
Kategori :