Dilema Alat Kontrasepsi di Sekolah

Selasa 20-08-2024,07:00 WIB
Oleh: Muhammad Fadly

<strong>Oleh:  Hisnindarsyah, Dokter Spesialis</strong> KEHAMILAN remaja, aborsi ilegal, dan peningkatan kasus penyakit menular seksual masih menjadi masalah serius di Indonesia. Berbagai upaya promotif dan preventif kesehatan reproduksi remaja telah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu regulasi terbaru yang menarik perhatian adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 Pasal 103 ayat 4. Pasal itu menegaskan pentingnya kesehatan reproduksi remaja dengan memprioritaskan edukasi dan pelayanan yang holistik, termasuk penyediaan alat kontrasepsi di sekolah. Ketidakjelasan tujuan pasal 103 ayat 4 tentang penyediaan alat kontrasepsi di sekolah itu telah memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat. Pertanyaannya, ”Apakah kebijakan itu merupakan langkah maju dalam upaya melindungi kesehatan reproduksi remaja? Ataukah justru akan memicu masalah sosial yang lebih besar, yakni pelegalan seks bebas di kalangan remaja, misalnya?” KESEHATAN REPRODUKSI SEBAGAI HAK ASASI Kesehatan reproduksi remaja adalah aspek krusial, tetapi masih kurang mendapat perhatian jika dibandingkan dengan isu kesehatan lainnya. Padahal, kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan remaja sering kali menjadi masalah serius. Remaja yang terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak aman juga berisiko tinggi terkena PMS (penyakit menular seksual) seperti gonore, klamidia, herpes, dan HIV/AIDS. Kesehatan reproduksi yang baik juga berhubungan erat dengan kesejahteraan mental dan emosional remaja. Isu terkait kesehatan reproduksi, misalnya, kehamilan tidak diinginkan dan PMS, dapat mengakibatkan stres, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya. Memahami pentingnya kesehatan reproduksi pada remaja adalah langkah fundamental untuk memastikan perkembangan fisik, mental, dan sosial yang sehat. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 Pasal 103 ayat 4 menyatakan bahwa setiap individu berhak mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas. Oleh karena itu, dengan diterbitkannya kebijakan tersebut, para siswa dan siswi di sekolah bisa mendapatkan askes kesehatan reproduksi secara inklusif, komprehensif, dan holistik. Hal itu selaras dengan terpenuhinya hak asasi remaja terkait kesehatan reproduksi. Norma moralitas yang berbeda di masyarakat sering kali menciptakan tantangan dalam implementasi kebijakan kesehatan reproduksi. Pasal 103 Ayat 4 PP Nomor 28 Tahun 2024 memprioritaskan penyediaan layanan yang inklusif dan berbasis bukti. Namun, hal tersebut juga memicu perdebatan tentang bagaimana moralitas seharusnya memengaruhi kebijakan itu. Dibukanya askes pendidikan seksualitas dan penyediaan  alat kontrasepsi di sekolah menjadi titik perdebatan karena dianggap dapat  mendorong perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan standar moral bangsa Indonesia. Misalnya, tercipta peluang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Namun, di sisi lain, kebijakan yang tertuang dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 pasal 103 tersebut merupakan langkah penting untuk mencegah penyakit, mengurangi angka kematian, dan meningkatkan kesehatan reproduksi remaja secara keseluruhan. Tidak dapat ditampik bahwa angka perilaku seks bebas di luar pernikahan yang terjadi di kalangan remaja cukup mengkhawatirkan. Itulah yang diungkap Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 (dilakukan per lima tahun), bahwa sekitar 2 persen remaja wanita usia 15–24 tahun dan 8 persen remaja pria di usia yang sama mengaku telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah dan 11 persen di antaranya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Di antara wanita dan pria yang telah melakukan hubungan seksual pranikah 59 persen wanita dan 74 persen pria melaporkan mulai berhubungan seksual kali pertama pada umur 15–19 tahun. KESEIMBANGAN KESEHATAN DAN MORALITAS Untuk menyeimbangkan antara kesehatan reproduksi dan moralitas, pendekatan yang inklusif dan sensitif terhadap keragaman nilai tetap harus diutamakan. Pertama, penting untuk memahami bahwa moralitas bersifat subjektif dan bervariasi antara individu dan komunitas. Oleh karena itu, kebijakan kesehatan reproduksi harus mempertimbangkan keragaman itu dan berupaya untuk memberikan pelayanan yang adil dan tidak diskriminatif. Kedua, penting untuk menerapkan pendidikan kesehatan reproduksi yang tidak hanya berbasis pada informasi medis, tetapi juga menghormati nilai-nilai lokal dan budaya. Itu berarti, penyuluhan tentang kesehatan reproduksi harus disampaikan dengan cara yang arif terhadap konteks budaya dan norma-norma masyarakat, sambil tetap memastikan bahwa informasi yang diberikan akurat dan bermanfaat. Misalnya, pemberian alat kontrasepsi hanya bisa diberikan kepada siswa yang sudah menikah. Ketiga, dialog antara pembuat kebijakan, tenaga medis, dan masyarakat perlu dilakukan secara berkelanjutan, untuk mengidentifikasi dan mengatasi kekhawatiran terkait moralitas tanpa mengabaikan pentingnya akses terhadap pelayanan kesehatan. Dengan cara itu, kebijakan dapat disusun dengan mempertimbangkan kepentingan dan nilai-nilai semua pihak, sekaligus memastikan bahwa hak individu untuk mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas tetap terjamin. Dengan demikian, sangat penting untuk diperjelas kembali oleh pemerintah, bagaimana implementasi dari pasal 103 ayat 4 tentang penyediaan alat kontrasepsi di sekolah. Penyediaan alat kontrasepsi itu ditujukan kepada siapa? Juga, bagaimana prosedur operasional standarnya dari pemberian alat kontrasepsi bagi siswa-siswi di sekolah. Pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif akan memberikan remaja informasi yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan yang sehat dan berbasis informasi. Dengan memahami konsekuensi dari aktivitas seksual serta mengetahui pilihan-pilihan pencegahan yang ada, remaja lebih mampu membuat keputusan yang lebih baik tentang kesehatan mereka. Untuk mencapai keseimbangan yang adil antara kesehatan dan moralitas, penting bagi semua pihak terlibat untuk berkomunikasi secara terbuka dan bekerja sama dalam menciptakan kebijakan yang tidak hanya efektif secara medis, tetapi juga sensitif terhadap nilai-nilai budaya dan moral masyarakat. Dengan pendekatan yang inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan bersama, kita dapat mencapai tujuan kesehatan reproduksi yang baik, tanpa harus bertabrakan dengan nilai moral yang ada di tengah lingkungan masyarakat. Sebagai penutup, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 Pasal 103 ayat 4 mencerminkan kemajuan penting dalam upaya meningkatkan kesehatan reproduksi remaja di Indonesia. Namun, pelaksanaannya tidak lepas dari tantangan, terutama terkait dengan isu moralitas. Kesehatan reproduksi adalah hak dasar yang harus dipertahankan dan diperjuangkan, tetapi cara implementasinya harus mempertimbangkan keragaman nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler