Waspada! Money Politic Pilkada Sinjai

Sabtu 19-10-2024,22:35 WIB
Reporter : Muhammad Seilessy
Editor : Muhammad Seilessy

<strong>DISWAY, MAKASSAR –</strong> Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 tinggal sebulan lagi, para kontestan semakin intens bermanuver dalam meraih simpati warga. Termasuk di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan (Sulsel), di daerah ini sebanyak empat pasangan calon (paslon) siap berlaga dan berebut dukungan sekitar 200 ribuan warga setempat. Keempat paslon itu yakni, Ratnawati Arif-Andi Mahyanto Mazda (RAMAH), Andi Kartini Ottong–Muzakkir (BERAKARMI), Muzayyin Arif-Andi Ikhsan Hamid (MAIKI) dan Nursanti-Lukman H Arsal (SANTUN). Namun sayang, ada yang patut diwaspadai dalam kontestasi di Pilkada Sinjai, yakni masih dibayangi dan berpotensi adanya praktek politik uang atau money politic demi meraih simpati dan dukungan warga. Hal itu tergambar dalam hasil survei yang dilakukan PT General Survei Indonesia (GSI) pada 1-10 Oktober 2024, terkait politik uang yang berpotensi terjadi di Pilkada Sinjai. "Hasil survei menunjukkan ada 72,5% warga Sinjai yang bersedia menerima uang, berapapun jumlahnya, dengan variasi nilai dari Rp50 ribu hingga Rp250 ribu," beber Direktur Riset PT. GSI, Muhammad Ridwan dalam diskusi politik bersama komunitas wartawan politik Sulsel, di Baji Kafe, Sabtu (19/10/2024). Menurut Ridwan, sebanyak 45,1% responden mengaku menerima uang/barang dan memilih calon pemberi, sementara 24,6% menolak. Sedangkan 15,7% menerima uang/barang namun belum tentu memilih, dan 14,8% tidak tahu. “Untuk preferensi barang, 76,9% memilih sembako, sementara pilihan lainnya termasuk mukenah/jilbab, sarung, dan suvenir kecil,” ungkapnya. Karena itu, masyarakat dan pemilih diingatkan untuk mewaspadai dampak hukum dari praktik politik uang, baik yang memberi maupun menerima, seperti amplop atau barang yang dapat memengaruhi pilihan. Diskusi tersebut bertema “Pilkada Sinjai, Bisakah Tanpa Money Politik?” yang dihadiri pakar tata kelola pemilu Unhas, Dr Andi Lukman Irwan. Dia menegaskan pentingnya perhatian pemilih terhadap larangan ini. Menurutnya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mengatur dengan ketat soal politik uang. “Siapa pun yang menerima uang atau bingkisan yang memengaruhi pilihannya, dapat diancam hukuman pidana dan denda,” ungkap Lukman. Andi Lukman juga menegaskan bahwa kandidat yang menggunakan politik uang menunjukkan kurangnya ide dan kemampuan untuk membangun daerah, serta tidak mampu menawarkan program yang relevan bagi masyarakat. “Kandidat yang melakukan politik uang biasanya memiliki hubungan sosial yang lemah dengan pemilihnya. Inilah saatnya masyarakat memilih kandidat yang memiliki visi dan program pembangunan yang jelas,” terangnya. Akademisi Khair Khalis Syurkati, yang juga menjadi pemicara, turut mengingatkan bahwa hukuman bagi pelaku politik uang kini lebih berat. Jika sebelumnya dianggap pelanggaran dengan ancaman satu tahun penjara, kini dianggap sebagai kejahatan pemilu dengan ancaman minimal satu tahun dan denda Rp100 juta. “Jangan sampai demi Rp100 ribu atau Rp150 ribu, Anda harus berhadapan dengan penjara,” ujarnya. Khair menyarankan tiga langkah utama untuk mengatasi politik uang: penguatan aturan dan penegakan hukum, edukasi politik masyarakat, serta peran media massa. (*) Berdasarkan survei PT General Survey Indonesia (GSI) terkait politik uang di Pilkada Sinjai pada 1-10 Oktober, 45,1% responden mengaku menerima uang/barang dan memilih calon tersebut, sementara 24,6% menolak. Sedangkan 15,7% menerima uang/barang namun belum tentu memilih, dan 14,8% tidak tahu. Hasil survei menunjukkan ada 72,5% warga yang bersedia menerima uang, berapapun jumlahnya, dengan variasi nilai dari Rp50 ribu hingga Rp250 ribu. “Untuk preferensi barang, 76,9% memilih sembako, sementara pilihan lainnya termasuk mukenah/jilbab, sarung, dan suvenir kecil,” beber Direktur Riset PT. GSI, Muhammad Ridwan. Sementara itu, hingga 2024, tercatat 429 pejabat negara, termasuk gubernur, bupati, dan wali kota, terjerat kasus korupsi dan diproses oleh KPK. Dari jumlah tersebut, 22 adalah gubernur dan 148 adalah bupati atau wali kota. Korupsi yang melibatkan kepala daerah biasanya terkait dengan suap dalam pengadaan barang dan jasa, serta jual beli jabatan. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait