Refleksivitas Studi Magister Manajemen di STIEM Bongaya
KETGAM: Sejumlah mahasiswa RPL 47 Magister Manajemen Program Pascasarjana STIEM Bongaya di sela-sela kegiatan akademik di Kampus STIEM Bongaya, Jl. Letjen Pol. A. Mappaodang, Kota Makassar.--
OLEH: Amri Nur Rahmat (Alumni RPL 47 Program Pascasarjana STIEM Bongaya)
SAYA pernah merasa bahwa kesempatan meraih gelar magister sudah berlalu. Rutinitas kerja, tanggung jawab keluarga dan kesibukan sehari-hari seolah menjadi tembok besar yang sukar dilalui. Namun perjalanan studi di STIEM Bongaya perlahan membuktikan bahwa batas itu sesungguhnya hanya ada dalam pikiran.
Sabtu sore, 20 September 2025, di ruang sidang Pascasarjana STIEM Bongaya, Makassar, sebuah kalimat terucap:
“Saya akan menyapa nama saudara peneliti dengan lengkap beserta gelar akademik yang sudah resmi melekat, saudara Amri Nur Rahmat, S.Pd., M.M.”
Prof. Dr. Moh. Akob, Direktur Pascasarjana, menutup ujian tutup saya dengan suara tenang namun penuh wibawa. Kalimat sederhana itu menyimpan makna yang begitu dalam. Seketika, seluruh perjalanan studi dengan segala dinamika berkelebat dalam ingatan. Untuk pertama kalinya, nama saya terdengar lengkap dengan tambahan gelar Magister Manajemen, gelar yang dulu terasa jauh, kini benar-benar resmi melekat.
Sidang ujian tutup dimulai pukul 16.27 WITA dan berlangsung sekitar satu setengah jam. Suasana ruang sidang terasa serius namun hangat, dihadiri para dosen yang selama ini mengiringi dan membimbing saya: pembimbing Prof. Dr. Jannati Tangngisalu dan Dr. Syamsul Alam, penguji Prof. Dr. Syamsul Ridjal dan Dr. Yana Fajriah, serta Prof. Dr. Moh. Akob yang memimpin yudisium. Setiap pertanyaan dan komentar mereka saya terima bukan sebagai beban, melainkan sebagai rangkaian pembelajaran intelektual yang memperkaya perspektif.
Namun pengakuan akademik itu tidak hadir begitu saja. Ada jalan yang harus ditempuh, dengan berbagai tantangan nyata sejak awal. Setiap Jumat dan Sabtu, ketika banyak orang memilih beristirahat bersama keluarga, kami para mahasiswa RPL 47 justru tenggelam dalam perkuliahan. Dua sesi setiap hari, dari sore hingga malam, dijalani dengan penuh antusias. Ada yang hadir langsung di kampus, ada pula yang mengikuti daring. Tidak mudah, namun justru di situlah ujian sesungguhnya: menjaga energi, waktu dan fokus antara dunia profesional dan dunia akademik.
Kelas RPL 47 adalah sebuah mosaik pengalaman dan profesi. Di dalamnya ada ASN dari berbagai instansi, pegawai BUMN, pengusaha, politisi, hingga jurnalis seperti saya. Latar belakang kami berbeda, pengalaman pun beragam, tetapi tujuan kami sama: menuntaskan studi magister dengan bermartabat. Dari dosen maupun teman sekelas, saya belajar banyak, tidak sekadar teori, melainkan juga sudut pandang baru yang memperluas horizon pemahaman.
Tantangan terbesar muncul di semester akhir, ketika penelitian tesis dimulai. Lelah, kebuntuan ide dan godaan untuk menunda sering menghampiri. Hampir semua rekan sekelas merasakan hal yang sama. Namun dorongan dari para pembimbing, semangat dari Ketua Prodi Dr. Yana Fajriah, serta saling menyemangati di antara kami menjadi energi yang menjaga langkah. Perjalanan ini memang tanggung jawab pribadi, tetapi saya tidak pernah benar-benar sendirian.
Ketika nama saya akhirnya dipanggil dengan gelar baru di belakangnya, ada rasa lega dan syukur yang tak terbantahkan. Momen itu bukan sekadar seremoni akademik, melainkan penegasan bahwa jalur RPL di STIEM Bongaya bukan jalan pintas, melainkan jalan konsistensi. Bagi kami yang tetap aktif bekerja, jalur ini membuktikan bahwa pendidikan tinggi dapat diraih tanpa harus meninggalkan profesi atau pengabdian di tempat kerja.
Saya menulis ini bukan semata untuk merayakan pencapaian pribadi, tetapi juga untuk menyampaikan pesan kepada siapa saja yang masih ragu atau menunda keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Saya pun pernah skeptis. Namun keraguan itu kini terjawab dengan bukti nyata: studi di STIEM Bongaya bukan sekadar mengejar gelar, tetapi sebuah perjalanan intelektual yang menuntut komitmen, kesabaran dan kemampuan mengaitkan teori dengan praktik.
Bersama RPL 47, saya menemukan bahwa belajar di usia dewasa membawa makna berbeda. Kami bukan lagi mahasiswa yang hanya mengejar nilai, tetapi pembelajar yang ingin mengaitkan penelitian dengan kenyataan, kelas dengan kehidupan dan teori dengan praktik profesional. Hal inilah yang membuat setiap langkah perjalanan studi begitu berharga.
Kini garis akhir itu tiba. Namun sejatinya, ini adalah awal dari babak baru. Gelar magister hanyalah pintu masuk untuk melangkah lebih jauh: mengaplikasikan ilmu, membangun karya dan berkontribusi lebih besar. Dan setiap kali mengingat momen ketika nama saya dipanggil lengkap dengan gelar akademik, saya tahu ada kepuasan yang abadi: konsistensi dan komitmen itu akhirnya menjadi bukti nyata.
Suatu hari nanti, giliran Anda duduk di ruang sidang itu, mendengar nama lengkap Anda dipanggil dengan gelar yang lahir dari kerja keras, ketekunan dan komitmen Anda sendiri. Karena sejatinya, pendidikan bukan tentang usia atau keadaan, melainkan tentang keberanian untuk melangkah.(*)
Sumber:

